Selasa, 23 Maret 2010

Esai Pawon Ultah ke-3

Saya dan Komunitas Pawon Sastra di Solo

Ingatan-ingatan ini terkadang melintas di benak saya, hampir tak tertuliskan, untung malam itu, malam Tahun ke-3 Keajaiban Pawon akhir Februari 2010, Kabut alias Bandung Mawardi meminta kami untuk menulis jejak-jejak aktivitas sastra di Solo. Saya tak tahu secara pasti model tulisan apa yang diinginkan esais itu dan batasannya, namun seperti yang biasa saya tuliskan, saya mulai menulis apa saja yang berseliweran di benak dan selanjutnya saya tambah dan kurangi di sana-sini dengan asumsi –bagian yang membahas- sejarah Pawon itu perlu dan penting untuk sastra Solo.
Saya tiba di Solo pertengahan tahun 2005. Mengikuti istri yang diterima menjadi dosen di UNS. Sebelumnya saya di Jogja, dan kadang-kadang di Jakarta. Beraktivitas sebagai aktivis dan melakukan kerja-kerja temporer untuk menutup keuangan. Di Solo, hampir tak ada kegiatan yang saya lakukan kecuali membaca, berkebun, dan menulis.
Kegiatan menulis sebelumnya telah saya lakoni namun tidak intens. Saat itu, saya menulis lebih didorong oleh situasi eksternal aktivitas saya ketika menjadi aktivis mahasiswa, jejak-jejak pikiran saya dimuat melalui beberapa artikel Koran Bernas, dan sebuah opini di Buku McDonaldisasi Pendidikan Tinggi (Kanisius; 2002). Selain artikel sebenarnya saya menulis sejumlah puisi, namun semuanya gagal di media, tak satupun yang pernah dimuat koran. Saat itu karena di Jogja saya rajin mengirim ke Kedaulatan Rakyat (KR) –selang beberapa tahun saya mendapat kabar redaksi koran ini bertipe koncoisme, saya tak tahu benar-tidaknya berita itu. Karena gagal puisi-puisi itu semuanya tak terurus, dan kini telah lenyap dan memberi kesan kuat di kepala bahwa saya tak bisa menulis puisi dengan baik.
Lulus kuliah, dan bolak-balik Jogja-Jakarta dengan nasib tak bertambah maju mendorong saya untuk memantapkan diri tinggal di Solo, dan memulai aktivitas menulis lagi. Saya belajar menulis cerpen. Sendirian. Ketika istri ngantor, saya selalu mencari tempat yang tenang, salah satunya saat itu saya sering berlama-lama di Masjid Nurul Huda UNS untuk membaca dan menulis. Hasil tulisan kemudian saya ketik ulang di komputer rumah. Saat itu saya tinggal di komplek perumahan dan malu jika siang di rumah, sedang istri ngantor setiap hari. Setiap siang selalu saya keluar, dan kembali ketika waktu cukup pantas untuk dibilang pulang ngantor.
Berbulan-bulan cerpen saya tidak dimuat, akhirnya berhasil juga, pada akhir tahun 2005 sebuah cerpen di muat Koran Seputar Indonesia. Masa itu koran Seputar Indonesia masih relatif baru, dan melalui koran inilah saya mengenal nama Yudhi Herwibowo, penulis Solo yang mengelola Komunitas Sketsa Kata. Cerpennya juga dimuat koran ini beberapa minggu kemudian. Karena tak ada teman dalam menulis akhirnya saya coba menelusuri alamat penulis ini. Saya cari di Google, dan menemukan alamatnya, berikut partner komunitasnya saat itu, Bumi Manusia.
Saya menemukan dia di sebuah rumah usaha percetakan dengan meja penuh kartu nama dan cetakan undangan. Kami mengobrol, mungkin sekitar setengah jam. Saya menemukan pribadi yang pekerja keras dan tak banyak bicara, dan dia meninggalkan sebuah kalimat yang selalu saya ingat hingga sekarang terhadap penulis yang selalu menunggu karyanya dimuat: ”Menulis terus lupakan! Menulislah karya lagi.”
Beberapa waktu kemudian. Saya dismsnya untuk mengikuti workshop menulis novel di Taman Budaya Surakarta (TBS), saya diberi diskon 50%. Saya ikut, dan bertambah teman yang saya kenal. Kemudian saya mengunjungi Kabut Insitut di gerainya di pojok perempatan Sekarpace Solo, mengenal pribadi-pribadi di dalamnya: Bandung Mawardi, Ridho al-Qhodri, dan seingat saya juga bertemu Joko Sumantri di sana. Kami mengobrol singkat. Salah seorang diantaranya Kabut yang nampak lusuh, gondrong, dan perokok berat kini menjadi esais terkemuka negeri ini dengan penampilan yang rapi, kalem, dan tak merokok. Ia bermetamorfosis dari Kabut menjadi Bandung Mawardi. Ridho yang nyaris berlomba dengannya kini seperti mandheg nampak mengambil jalan lain dengan menempuh studi S2 di UGM. Sedangkan Joko Sumantri yang jago menulis opini dan sering dimuat media massa -juga sesekali cerpen- kini telah beralih domisili di Jakarta.
Tak lama kemudian, sehabis workshop itu, saya disms Joko Sumantri untuk datang di Wisma Seni TBS, acaranya apa, tanyaku, ngobrol-ngobrol, katanya. Isinya apa, kira-kira, lanjutku. Lalu kami berbalasan sms, dan terakhir ada smsnya saat itu yang paling kuingat: kita akan menjadi sejarah sastra di Solo nantinya, begitu kira-kira. Kabarnya sms undangan dari Joko itu adalah tindaklanjut dari perbincangan kecil sebelumnya dengan Bandung Mawardi dan Ridho tentang pergerakan sastra di Solo bagian barat dan timur dan upaya mengkonsolidasikannya.
Saya datang di undangan itu bersama -seingat saya ada: Wijang J. Riyanto (divisi sastra TBS-Taman Budaya Jawa Tengah), Bandung Mawardi, Ridho al Qhodri, Poetri Hati Ningsih, Jo Pakagula, Joko Sumantri, dan Yunanto Sutyastomo. Setelah beberapa lama, Joko Sumantri menelepon Yudhi Herwibowo yang ternyata tidak bisa datang. Kami mulai berdiskusi menggagas terbitan buletin sastra di Solo. Joko Sumantri sempat menyinggung sejumlah buletin di Solo yang telah gulung tikar dan tak tahan lama. Kami ditengah rasa pesimis yang ada membahas lahirnya buletin, dan menyimpulkan kenapa tidak mencoba, begitu kira-kira. Ada beberapa nama yang diusulkan: Halte, Stasiun, Beranda, Pawon, dan lain-lain. Akhirnya Pawon yang dipilih karena kami rasa pas saat itu. Pawon yang bermakna dapur adalah tempat memasak yang menghasilkan makanan. Tempat berproses untuk menghasilkan karya. Hari itulah Pawonsastra lahir, Minggu di Bulan Desember.
Hari-hari setelah itu –sebagai sekretaris redaksi dan terutama karena kondisi yang mengarahkan- saya sering menyertai Joko Sumantri, koordinator Pawon untuk mengantarnya ke percetakan, mengambil Pawon yang sudah jadi, dan mewawancarai sang profil. Tugas utama saya kemudian adalah pembuatan profil. Sampai di edisi yang tidak ada profilnya (saya lupa), setidaknya saya telah mewawancarai dan memprofilkan sekitar 15 penulis, hampir semua kecuali Dwicipta adalah perempuan, diantaranya: Abidah el Khalieqy, Evi Idawati, Ratih Kumala, dan Sanie B Koencoro.
Hari-hari penuh kegembiraan berkomunitas, hingga bertambah banyaklah teman yang saya kenal. Bersama Joko Sumantri orang yang memiliki energi luar biasa memajukan sastra, saya lebih mengerti hal-hal lain. Karena dia pula buku kumpulan cerpen saya bertajuk Jejak Sunyi bisa diterbitkan dengan sistem jual putus. Joko Sumantri juga memberi peran tertentu pada saya yang saya kira bisa saya handle, dan hal-hal seperti itulah, juga karakternya yang kuat menjadi kenangan yang sulit terlupakan.
Pawon dalam perjalanannya terbit teratur setiap bulan dengan kerjasama yang baik dari anggotanya. Pegiat Pawon yang ajeg: Bandung Mawardi mengisi esai juga Ridho al Qhodri dan Haris Firdaus, Yudhi Herwibowo dengan cerita bersambungnya, saya dengan sang profil, Yunanto Sutyastomo dengan kolomnya, Anton WP, Wijang, Poetri, Indah, dan teman-teman luar untuk cerpen, puisi, dll.
Saya bertambah semangat mengikuti dan mengisi berbagai acara yang didesain Pawon dengan Rumah Sastranya: lounching Pawon setiap bulan, Kursus Menulis Fiksi (KMF), lini penerbitan sastra seribu yang murah ”seharga es teh” (Penerbit Gerilya Peradaban) sampai yang paling terakhir: Kemah Sastra.
KMF berhasil dilaksanakan beberapa kali dengan jumlah peserta yang lumayan banyak. Penerbit Gerilya Peradaban yang bertujuan memasyarakatkan sastra dengan jalan menerbitkan karya-karya sastra yang murah sehingga mudah dijangkau masyarakat luas -seharga seribuan rupiah- telah menghasilkan sejumlah karya yang bermutu. Karya yang paling bisa disebut adalah antologi Cinta Pertama yang disponsori Indah Darmastuti dan antologi cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma. Sedangkan Kemah Sastra berhasil mendatangkan peserta hingga cukup merata dari seluruh pulau Jawa beserta materi dan pengisinya yang cukup berkualitas.
Kegiatan lain -banyak sekali aktivitas yang kami lakukan, boleh dibilang hampir tiap minggu kami bertemu. Juga berdiskusi. Hanya sedikit bedah karya, dan tak lupa kami pernah melakukan proyek penulisan cerita anak yang ditawarkan teman lama yang bekerja sama dengan Penerbit Sahabat di Klaten. Kami melakukan pekerjaan menulis cepat hingga menghasilkan banyak buku, sayang honor yang kami peroleh tak sesuai harapan. Dalam proyek ini juga terlibat penulis Abednego Afriadi, dia dan saya mengelola blog Aryobegal.
Masa-masa itu saya bersemangat menulis dan sedikit cerpen bisa dinikmati pembaca di sejumlah media dan ada yang memenangi sayembara. Saya terus mengikuti arus besar Pawon, juga menyenanginya, walau kadang ada rasa ingin jauh juga darinya. Rasa yang tak berhubungan dengan aktivitas Pawon sebagai komunitas. Ada atmosfir yang kurang menyenangkan, begitu kira-kira.
Pas kondisi seperti itu -setelah cukup lama saya beraktivitas di bidang sastra- saya bertemu dengan kakak kelas kuliah saya di Jogja. Kami berbincang singkat, dan tak lama kemudian saya melakukan pekerjaan survei untuk membantu kantornya. Karena pekerjaan dan atmosfir itu saya tak terlalu intens di Pawon tapi tetap datang sesekali.
Pawon kemudian berganti koordinator dengan berbagai berita mengagetkan yang masuk ke telinga saya. Ada yang kecewa, juga mungkin sakit hati, tapi yang jelas tulisan ini tidak akan membahas hal itu karena posisi saya yang tidak cukup mengerti secara jernih dan berimbang sebab pada masa-masa itu saya mulai jarang di Pawon dan pas pergantian itu saya tak bisa hadir karena anak kedua saya opname di RS. Sejumlah orang mendatangi saya berbicara mengenai kondisi Pawon yang runyam. Saya tak bisa berbuat apa-apa, dan membiarkan semua berjalan dengan sendirinya.
Peristiwa yang tak biasa itu membuat saya makin tak aktif di komunitas sastra. Saya terus menggeluti pekerjaan survei dan melupakan aktivitas sastra untuk mengumpulkan uang guna membangun rumah -alhamdulillah sekarang rumah itu telah jadi dan saya tempati. Saya ingat, waktu itu saya berada di luar pagar Pawon dan buletin lain, Alis, yang saya dengar didirikan pengurusnya untuk mengantisipasi jika Pawon tak berproduksi agar masih bisa memenuhi kewajiban pada pelanggan yang telah membayar di muka. Alis dikirimkan pada pelanggan jika Pawon tak terbit, mungkin begitu maksudnya. Ternyata Pawon terus berproduksi, Alis juga, sama-sama terbit tiap bulan. Kota Solo memiliki dua buletin sastra yang cukup baik. Sebuah sejarah yang mungkin sulit terulangi.
Berbulan-bulan kemudian, saya hanya berseliweran saja di komunitas sastra Pawon dan Alis. Datang atas nama diundang. Seingat saya, beberapa bulan kemudian Pawon lebih bersifat tematis. Pawon terus terbit dengan model yang baru sedangkan Alis sepertinya dihentikan terbitannya sehabis edisi keempat -antologi cerpen Seputar Pusar yang cukup wah. Antologi ini diisi oleh 20 penulis diantaranya: Sunlie Thomas Alexander, Antoni C.K, Andri Saptono, Han Gagas, dll.
Lalu meledaklah hp saya, hampir setiap hari saya mendapat kabar bahwa Bandung Mawardi yang sebelumnya pernah memenangi sayembara esai DKJ 2008 tulian-tulisannya gencar nampang di media dari media massa yang paling raksasa seperti Kompas, yang regional seperti Suara Merdeka dan Joglosemar hingga yang lokal Solopos. Luar biasa pencapaian esais ini. Dia melejit meninggalkan dengan telak teman-temannya yang lebih dulu nongol sesekali di media.
Kabar luar biasa juga dilakukan oleh Yudhi Herwibowo, teman yang sebelumnya menghasilkan bejibun banyaknya karya gokil dan remaja mulai merambah sastra yang lebih serius, akhirnya karya-karyanya lahir dengan cemerlang: Menuju Rumah Cinta-Mu, Perjalanan Menuju Cahaya, dan terakhir novel sejarah yang amat prestisius ”Pandaya Sriwijaya” yang diterbitkan Bentang. Saya membaca ketiga novel ini dan yang terbaik adalah Pandaya Sriwijaya, novelnya yang paling tebal.
Tak hanya itu penulis senior dan memiliki pembaca yang mapan, Sanie B. Kuncoro, menghujani pembaca dengan empat bukunya yang terbit tak berselang terlalu lama. Tiga dari empat bukunya yang memukau adalah Kekasih Gelap, Mayan, dan Garis Perempuan. Walaupun sepertinya Sanie lebih menyukai novel Garis Perempuan yang begitu lama ia telorkan itu tapi Mayan-lah bukunya yang meledak di pasaran menjadi best seller dan dibincangkan dimana-mana.
Catatan penting lainnya adalah pertumbuhan dan perkembangan anggota Pawon yang lain. Kita amat menunggu novel-novel berikutnya dari Indah Darmastuti, setelah Kepompong (Penerbit Jalasutra), dan novelet Pulung di Femina. Atau puisi khasnya Poetri Hati Ningsih, juga berkembangnya daya tulis Fanny Chotimah, dan awak Pawon yang datang belakangan. Termasuk murid-muridnya Bandung Mawardi yang rajin bertemu dan para peserta workshop menulis yang diadakan Pawon. Beberapa diantaranya karyanya telah dimuat media massa. Merekalah yang bakal meledakkan hape dan kuping saya dengan berita yang makin membanggakan. Tak lupa yang perlu disebut adalah mantan koordinator Pawon, Yunanto Sutyastomo yang bertambah sibuk mengelola Balai Sudjatmoko dengan acara-acaranya yang berguna selama ini, nampaknya begitu terlena di sana.
Sedangkan saya sendiri masih sabar menunggu novel saya (Tembang Tolak Bala/Reog) dan buku Sang Penjelajah Dunia terbit. Kadang-kadang menulis cerpen, dan berupaya menghasilkan novel lagi dan buku pengetahuan populer yang menarik. Yang jelas, saya berupaya untuk kembali cukup aktif di Pawon apalagi selalu mendapat suntikan semangat dari koordinator Pawon sekarang, Yudhi Herwibowo.
Selama tiga tahun ini dalam berbagai aktivitas sastra Pawon dan partner nampak sejumlah penulis luar yang hadir seperti Afrizal Malna, Triyanto Triwikromo, Raudhal Tanjung Banua, Abidah el Khalieqy, Ratih Kumala, Saut Situmorang, Sunlie Thomas Alexander, Indrian Koto, Tjahjono Widijanto, Beni Setia, Dwicipta, Kusprihyanto Namma, berbagai komunitas sastra seperti Lumbung Aksara (Marwanto, dkk) dan Thariqat Sapu Jagat (Miftah, dkk), beberapa penulis Bandung, dan kota-kota lain di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jakarta. Pawon menjalin kerjasama dengan Taman Budaya Jawa Tengah/TBS dalam melakukan kegiatan-kegiatan sastra seperti workshop menulis, lounching Littera, dll. Pawon juga bergandengan tangan dengan Balai Sudjatmoko dalam melakukan berbagai aktivitas membaca dan menulis, seminar, diskusi, dan workshop. Selama tiga tahun Pawon berdiri secara langsung maupun tak langsung telah banyak mengambil peran dan berupaya terus melahirkan penulis-penulis muda yang potensial.
Orang Pawon datang dan pergi. Bandung Mawardi bergiat di Bale Sastra Kecapi dan Jurnal Tempe Bosok, Anton WP berkarya di seberang pulau dan Joko Sumantri hidup di ibu kota tapi mereka juga kembali dalam berbagai bentuk: kehadiran fisik, telekomunikasi, juga pikiran apalagi sekarang ada jejaring sosial facebook yang memudahkan untuk berinteraksi. Jadi selalu ada tempat kembali di Pawon.
Perubahan selalu tak terhindarkan dulu buletin pawon dijual dengan harga murah sekarang dibagikan secara gratis di setiap acara-acara sastra di Solo. Harga produksi tidak sedikit tapi Pawon terbukti bisa bertahan selama tiga tahun menyumbangkan apa yang dia punya untuk sastra.
Saya yakin Pawon makin berkembang maju, dengan ide-ide segar yang makin membuat banyak orang bungah. Rumah baca dan taman bacaan gratis, kursus menulis, dan kegiatan lain yang membudayakan membaca dan menulis. Mending membaca ketimbang tidak membaca dan mending menulis ketimbang tidak menulis. Begitu ungkap Bandung Mawardi.

Han Gagas, 24 Maret 2010.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

ternyata tak sesinis dugaanku ketika kalian menuliskan tentang kenangan manis itu...
...
http://atmokanjeng.wordpress.com/

Yudhi Herwibowo mengatakan...

bravooo brooo... hehe