Rabu, 31 Maret 2010

Susuk Kekebalan (Republika, 28 Maret 2010)

Susuk Kekebalan
Cerpen Han Gagas

Hatiku gamang saat kaki menjejak pematang dan menyusuri setapak. Gelap turun sempurna memerangkap semua rumah dan pepohonan. Bulan, walau separo, cahayanya berhasil membuat bayang-bayang pohon memanjang dan membesar, dan angin menjadikannya bergoyang-goyang. Di depan, nampak sebuah rumah limasan kabur disinari lampu senthir, membiaskan sinar suram. Lengang.
Karso menggamit pundakku saat tiba di pelataran. Lalu kami menaiki undhak-undhakan. Berhenti sejenak, mengatur napas. Ia mengetuk pintu pelan-pelan. Suaranya menghunus sunyi malam.
Sepi. Tak ada jawaban.
Siang tadi, Karso mengajakku membeli kembang tujuh rupa di Pasar Legi dan jarum emas di Toko Koh Yan, sebagai piranti kekebalan.
"Kau tahu sendiri, kawan-kawan terjagal ajal. Tak ada jalan lain, kita harus pasang susuk pada Eyang Warok !"
Kata-kata Karso memupuk kecemasanku. Memencarkan cairan takut ke penjuru pikiranku.
Pintu masih terjalin rapat. Karso mengetuknya lagi. Lebih keras.
Sekarang keadaan memang berubah drastis. Semua orang sangat berhati-hati bahkan terhadap kerabat dan tetangga sendiri. Kabar terbunuhnya para jenderal di Jakarta itu menyulut bara api hingga di pelosok desa ini. Menghancurkan perasaan damai, menukarnya dengan pembunuhan keji anggota BRP . Aku yang hanya simpatisan dan senggakan kabarnya juga masuk daftar.
Suara tokek mengagetkan lamunanku. Pintu masih membatu. Karso mengetuknya lagi, lebih keras, lebih kerap. Suaranya tersela langkah kaki pelan mendekat. Karso menghentikan ketukannya.
"Siapa?" Terdengar suara perempuan.
"Saya, Eyang Putri. Karso dari Tambakbayan."
"O, Karso, dengan siapa?"
"Hargo, Eyang Putri. Murid Kyai Basir," tambah Karso.
Aku tak tahu kenapa guru ngajiku itu harus disebut, mungkin karena Kyai Basir adalah orang NU yang tersohor dan bisa diterima semua kalangan.
Selot pintu ditarik, daunnya membuka separo, menampakkan seraut rupa perempuan tua terkurung ruangan gelap, tanpa cahaya.
"Masuk!"
"Terima kasih, Eyang Putri."
Kami melangkah masuk. Selot didorong, pintu menutup kembali. Mataku terpicing karena gelap. Hanya menangkap sosok Eyang Putri bergerak ke ruang belakang. Hatiku lebih tenang karena sudah berada di dalam.
Namun gelap memercikkan lagi api kecemasanku. Syukurlah, tak lama, sepotong cahaya memberkas di gedheg dan senthong . Diikuti langkah kaki mendekat, membuat berkas itu makin benderang.
Sosok laki-laki kurus, muncul dari pintu sambil membawa lampu ting bersuluh kecil. Berjalan kukuh, makin lama nampak wajah perseginya yang brewok. Ia, Eyang Warok Wulunggeni.
Hatiku langsung bergetar! Bagaimana tidak, berita kesaktiannya begitu menancap di benakku. Kabarnya, pada jaman perang, berkat Aji Pulosani dan Jimat Wesi Kuning, semua senapan Belanda tak mampu menembus tubuhnya dan hanya membuat tulangnya benjol-benjol karena pelor yang terpental. Dulu sewaktu aku kecil, pernah melihat aksinya mbarong di atap rumah, memanjat pohon kelapa dan turun meluncur dengan kepala menghadap bawah. Aksi yang tak masuk akal.
"Duduk, Nak!"
"Nuwun, Eyang."
Kami duduk di kursi kayu, menghadap meja panjang. Eyang Warok menaikkan lampu dan mencantolkannya pada sebuah pengait di tiang rumah. Sinar temaram menyapu seluruh ruangan, menyinari barong macan di atas almari tua dan seperangkat perlengkapan reog yang tertata di sudut ruangan. Sepasang kepala rusa diawetkan tergantung pada gebyok ukiran jati. Bayangan tanduknya memanjang berkejaran, menimpa jaring laba-laba yang terkoyak.
Eyang Warok berjalan mendekat lalu duduk di depan kami. Memandangku dan Karso bergantian. Hatiku berdesir!
Karso segera mengulurkan bawaan dan tangan Eyang Warok menerimanya dengan lekas. Di usianya yang berkisar delapan puluh tahun nampak kulit tangannya masih liat. Bungkusan daun pisang itu dibuka. Tangannya memilah-milah, lalu ditutupnya dengan menusukkan batang lidi. Ganti bungkus kertas yang dibuka, menghitung jumlah jarum emas, lalu ditutup.
"Tunggu sebentar…" ucap Eyang Warok sambil berdiri.
Ia berjalan ke belakang. Lampu ting bersinar lembut menyentuh punggungnya. Bayangan tubuh kurusnya memanjang hingga mengenai gedheg rumah. Lalu bayangan itu menghilang ke dalam senthong.
Karso diam. Matanya mengatup. Senyap kembali memerangkap. Gendang telingaku memeka. Udara terasa beku. Hening.
Ruang belakang terdengar menderakkan suara. Eyang Putri keluar membawa nampan berisi sepasang cangkir. Aroma kopi panas dan kental melayang, menari hingga rongga hidung, membangkitkan seleraku. Bau kopi khas hasil tumbukan sendiri.
"Silakan diminum…"
"Terima kasih, Eyang Putri."
Eyang Putri kembali ke belakang. Langkahnya pelan, ujung jarik yang dikenakannya menyentuh lantai tanah. Menggesek seperti ular.
Karso menyeruput kopinya. Aku mengikuti. Benar-benar racikan yang pas. Mantap. Aku jadi ingat, Eyang Putri semasa gadisnya pernah membuka warung kopi. Kabarnya, ia juga seorang warok, walau perempuan. Ketika berjualan wedang kopi hingga larut malam, ia pernah digoda seorang lelaki nakal. Saat si lelaki minta api untuk rokoknya, ia mengambil begitu saja bara panas dengan tangannya lalu disorongkan pada lelaki itu. Sontak merah padam muka lelaki iseng itu, dan tanpa permisi ia langsung lari terbirit-birit.
Pintu senthong berderit menyentak pikiranku. Eyang Warok membawa nampan berisi sepasang gelas dan lepek. Kembang tujuh rupa yang kami bawa tadi, sekarang telah bercampur dalam air di gelas. Di lepek, dua irisan uwi bersisihan, konon semua susuk bersemayam padanya. Ia kembali duduk. Wajahnya nampak merapuh. Kerut-merut muka perseginya lebih kentara karena tersepuh keringat tipis. Konon kabarnya, berhubungan dengan ilmu gaib menyita banyak energi.
"Silakan dihabiskan!"
Eyang Warok menyorongkan lepek dan gelas ke depan kami. Tiba-tiba benakku disergap wejangan agar berhati-hati pada hal-hal sirik. Jauhi ilmu santet, Jaran Goyang, dan kebal. Aku gamang, namun ingatan tentang kematian Kang Pur, Parikesit, Sasmita, dan Tejo lebih kuat menancap dan menggulung wejangan itu.
Karso mengambil uwi dengan jepitan jempol dan jari telunjuknya. Kepalanya mendongak dan layaknya minum pil ia dorong uwi itu ke tenggorokannya. Lalu meraih gelas, dan menenggaknya hingga habis. Karso menepuk pahaku, menebalkan nyaliku. Kegamanganku menyurut. Aku tak mau mati ketika anak-anakku masih kecil. Aku meraih uwi dan segera menelannya, lalu meminum habis air kembang. Tandas sudah. Hanya menyisakan ampas yang tersangkut di rongga mulut dan bonggol kembang di dasar gelas.
Konon uwi dan air kembang itu untuk melancarkan susuk ke posisi masing-masing. Kata Karso, sepasang susuk akan menetap di kedua alis mata agar kewibawaan merasuk dan kepala tahan pukul, dua pergelangan tangan agar kekuatan memukul berlipat, dada agar kebal senjata, pinggang agar tulang punggung membaja, dan dengkul supaya kuat menendang.
Tiba-tiba muncul sepasang kelelawar terbang mengitari limasan lalu hinggap di atas barong macan. "Hati-hati!" suara berat Eyang Warok mengagetkanku. Ia langsung berdiri dan bergegas ke pintu. Udara terasa panas.
Aku mendengar derap langkah mendekat. Eyang Putri tiba-tiba sudah ada di depanku, ia segera mematikan suluh lampu, gelap kembali menyergap. Suara kelelawar berdericit ke seantero ruangan. Perasaan aneh dan ngeri menyelimutiku.
"Kalian larilah lewat pintu belakang lalu susuri setapak di dalam hutan! Kalian pasti selamat," suara Eyang Putri berirama cepat.
"Tidak, Eyang Putri. Kami di sini saja," kata Karso.
Aku diam, lebih karena dikuasai keterkejutan. Kaki-kaki menderap makin keras, dan terdengar gemuruh di pelataran.
"Wulunggeni! Keluar kau!!" Teriak seseorang dari luar, meledakkan kecemasanku. Jantungku berdetak kencang. Tiba-tiba rasa takut merajam.
Selot pintu ditarik, kulihat segerombol orang di pelataran mengacungkan montik (golok). Jantungku serasa copot, terlihat paling depan Warok Wirodigdo dan seorang yang bersenapan.
Eyang Warok berjalan keluar dijajari Eyang Putri. Mereka langsung berhadapan dengan Warok Wirodigdo dan seorang bersenapan itu.
"Ada apa Wiro?" tanya Eyang Warok.
"Aku tak mau basa-basi! Kau selama ini yang menyokong BRP. Aku mengantarkan Bapak ini untuk menangkapmu!" jawab Warok Wirodigdo.
"Tapi apa salahku, Wiro?! Bukankah aku hanya berkesenian saja? Tak lebih!" Sikap Eyang Warok menegas.
"Aku tak peduli! Kata Bapak ini, kau harus dilenyapkan!"
Warok Wirodigdo langsung menyerang. Semua orang menyingkir. Mereka tahu, senapan dan senjata tajam tak berguna dalam pertarungan itu. Ilmu kanuraganlah yang utama.
Eyang Warok melompat ke pelataran diikuti Warok Wirodigdo. Mereka membuat arena pertarungan yang luas. Orang-orang mengerubung Eyang Putri, mengeroyok perempuan tua itu. Karso segera membantunya.
Dadaku berdegup keras. Cemas merayapi sekujur tubuhku. Suara debum memekakkan telinga. Juga pelor yang ditembakkan. Letupan montik berbenturan berpijar di mana-mana. Kulihat sepasang kelelawar bersimbah darah, berkelojotan di tanah. Kematian merajam benakku kuat-kuat. Wajah anak-anakku membayang jelas.
Paku-paku menancapi pikiranku: antara lari melewati pintu belakang atau memilih pertarungan.
Dan… tubuhku bergetar! Serasa menebal pelan-pelan, membesar. Ototku mengencang, tulangku mengeras-berderakan. Aku merasa ilmu kebal merasuki tubuhku hingga sumsum tulang. Jantungku terpacu, nyaliku membaja! Aku mengamuk seperti banteng terluka.

Ponorogo&Solo, Jan 2010






Biodata:
Han Gagas, penulis buku kumpulan cerpen Jejak Sunyi, 2008.

Selasa, 23 Maret 2010

Esai Pawon Ultah ke-3

Saya dan Komunitas Pawon Sastra di Solo

Ingatan-ingatan ini terkadang melintas di benak saya, hampir tak tertuliskan, untung malam itu, malam Tahun ke-3 Keajaiban Pawon akhir Februari 2010, Kabut alias Bandung Mawardi meminta kami untuk menulis jejak-jejak aktivitas sastra di Solo. Saya tak tahu secara pasti model tulisan apa yang diinginkan esais itu dan batasannya, namun seperti yang biasa saya tuliskan, saya mulai menulis apa saja yang berseliweran di benak dan selanjutnya saya tambah dan kurangi di sana-sini dengan asumsi –bagian yang membahas- sejarah Pawon itu perlu dan penting untuk sastra Solo.
Saya tiba di Solo pertengahan tahun 2005. Mengikuti istri yang diterima menjadi dosen di UNS. Sebelumnya saya di Jogja, dan kadang-kadang di Jakarta. Beraktivitas sebagai aktivis dan melakukan kerja-kerja temporer untuk menutup keuangan. Di Solo, hampir tak ada kegiatan yang saya lakukan kecuali membaca, berkebun, dan menulis.
Kegiatan menulis sebelumnya telah saya lakoni namun tidak intens. Saat itu, saya menulis lebih didorong oleh situasi eksternal aktivitas saya ketika menjadi aktivis mahasiswa, jejak-jejak pikiran saya dimuat melalui beberapa artikel Koran Bernas, dan sebuah opini di Buku McDonaldisasi Pendidikan Tinggi (Kanisius; 2002). Selain artikel sebenarnya saya menulis sejumlah puisi, namun semuanya gagal di media, tak satupun yang pernah dimuat koran. Saat itu karena di Jogja saya rajin mengirim ke Kedaulatan Rakyat (KR) –selang beberapa tahun saya mendapat kabar redaksi koran ini bertipe koncoisme, saya tak tahu benar-tidaknya berita itu. Karena gagal puisi-puisi itu semuanya tak terurus, dan kini telah lenyap dan memberi kesan kuat di kepala bahwa saya tak bisa menulis puisi dengan baik.
Lulus kuliah, dan bolak-balik Jogja-Jakarta dengan nasib tak bertambah maju mendorong saya untuk memantapkan diri tinggal di Solo, dan memulai aktivitas menulis lagi. Saya belajar menulis cerpen. Sendirian. Ketika istri ngantor, saya selalu mencari tempat yang tenang, salah satunya saat itu saya sering berlama-lama di Masjid Nurul Huda UNS untuk membaca dan menulis. Hasil tulisan kemudian saya ketik ulang di komputer rumah. Saat itu saya tinggal di komplek perumahan dan malu jika siang di rumah, sedang istri ngantor setiap hari. Setiap siang selalu saya keluar, dan kembali ketika waktu cukup pantas untuk dibilang pulang ngantor.
Berbulan-bulan cerpen saya tidak dimuat, akhirnya berhasil juga, pada akhir tahun 2005 sebuah cerpen di muat Koran Seputar Indonesia. Masa itu koran Seputar Indonesia masih relatif baru, dan melalui koran inilah saya mengenal nama Yudhi Herwibowo, penulis Solo yang mengelola Komunitas Sketsa Kata. Cerpennya juga dimuat koran ini beberapa minggu kemudian. Karena tak ada teman dalam menulis akhirnya saya coba menelusuri alamat penulis ini. Saya cari di Google, dan menemukan alamatnya, berikut partner komunitasnya saat itu, Bumi Manusia.
Saya menemukan dia di sebuah rumah usaha percetakan dengan meja penuh kartu nama dan cetakan undangan. Kami mengobrol, mungkin sekitar setengah jam. Saya menemukan pribadi yang pekerja keras dan tak banyak bicara, dan dia meninggalkan sebuah kalimat yang selalu saya ingat hingga sekarang terhadap penulis yang selalu menunggu karyanya dimuat: ”Menulis terus lupakan! Menulislah karya lagi.”
Beberapa waktu kemudian. Saya dismsnya untuk mengikuti workshop menulis novel di Taman Budaya Surakarta (TBS), saya diberi diskon 50%. Saya ikut, dan bertambah teman yang saya kenal. Kemudian saya mengunjungi Kabut Insitut di gerainya di pojok perempatan Sekarpace Solo, mengenal pribadi-pribadi di dalamnya: Bandung Mawardi, Ridho al-Qhodri, dan seingat saya juga bertemu Joko Sumantri di sana. Kami mengobrol singkat. Salah seorang diantaranya Kabut yang nampak lusuh, gondrong, dan perokok berat kini menjadi esais terkemuka negeri ini dengan penampilan yang rapi, kalem, dan tak merokok. Ia bermetamorfosis dari Kabut menjadi Bandung Mawardi. Ridho yang nyaris berlomba dengannya kini seperti mandheg nampak mengambil jalan lain dengan menempuh studi S2 di UGM. Sedangkan Joko Sumantri yang jago menulis opini dan sering dimuat media massa -juga sesekali cerpen- kini telah beralih domisili di Jakarta.
Tak lama kemudian, sehabis workshop itu, saya disms Joko Sumantri untuk datang di Wisma Seni TBS, acaranya apa, tanyaku, ngobrol-ngobrol, katanya. Isinya apa, kira-kira, lanjutku. Lalu kami berbalasan sms, dan terakhir ada smsnya saat itu yang paling kuingat: kita akan menjadi sejarah sastra di Solo nantinya, begitu kira-kira. Kabarnya sms undangan dari Joko itu adalah tindaklanjut dari perbincangan kecil sebelumnya dengan Bandung Mawardi dan Ridho tentang pergerakan sastra di Solo bagian barat dan timur dan upaya mengkonsolidasikannya.
Saya datang di undangan itu bersama -seingat saya ada: Wijang J. Riyanto (divisi sastra TBS-Taman Budaya Jawa Tengah), Bandung Mawardi, Ridho al Qhodri, Poetri Hati Ningsih, Jo Pakagula, Joko Sumantri, dan Yunanto Sutyastomo. Setelah beberapa lama, Joko Sumantri menelepon Yudhi Herwibowo yang ternyata tidak bisa datang. Kami mulai berdiskusi menggagas terbitan buletin sastra di Solo. Joko Sumantri sempat menyinggung sejumlah buletin di Solo yang telah gulung tikar dan tak tahan lama. Kami ditengah rasa pesimis yang ada membahas lahirnya buletin, dan menyimpulkan kenapa tidak mencoba, begitu kira-kira. Ada beberapa nama yang diusulkan: Halte, Stasiun, Beranda, Pawon, dan lain-lain. Akhirnya Pawon yang dipilih karena kami rasa pas saat itu. Pawon yang bermakna dapur adalah tempat memasak yang menghasilkan makanan. Tempat berproses untuk menghasilkan karya. Hari itulah Pawonsastra lahir, Minggu di Bulan Desember.
Hari-hari setelah itu –sebagai sekretaris redaksi dan terutama karena kondisi yang mengarahkan- saya sering menyertai Joko Sumantri, koordinator Pawon untuk mengantarnya ke percetakan, mengambil Pawon yang sudah jadi, dan mewawancarai sang profil. Tugas utama saya kemudian adalah pembuatan profil. Sampai di edisi yang tidak ada profilnya (saya lupa), setidaknya saya telah mewawancarai dan memprofilkan sekitar 15 penulis, hampir semua kecuali Dwicipta adalah perempuan, diantaranya: Abidah el Khalieqy, Evi Idawati, Ratih Kumala, dan Sanie B Koencoro.
Hari-hari penuh kegembiraan berkomunitas, hingga bertambah banyaklah teman yang saya kenal. Bersama Joko Sumantri orang yang memiliki energi luar biasa memajukan sastra, saya lebih mengerti hal-hal lain. Karena dia pula buku kumpulan cerpen saya bertajuk Jejak Sunyi bisa diterbitkan dengan sistem jual putus. Joko Sumantri juga memberi peran tertentu pada saya yang saya kira bisa saya handle, dan hal-hal seperti itulah, juga karakternya yang kuat menjadi kenangan yang sulit terlupakan.
Pawon dalam perjalanannya terbit teratur setiap bulan dengan kerjasama yang baik dari anggotanya. Pegiat Pawon yang ajeg: Bandung Mawardi mengisi esai juga Ridho al Qhodri dan Haris Firdaus, Yudhi Herwibowo dengan cerita bersambungnya, saya dengan sang profil, Yunanto Sutyastomo dengan kolomnya, Anton WP, Wijang, Poetri, Indah, dan teman-teman luar untuk cerpen, puisi, dll.
Saya bertambah semangat mengikuti dan mengisi berbagai acara yang didesain Pawon dengan Rumah Sastranya: lounching Pawon setiap bulan, Kursus Menulis Fiksi (KMF), lini penerbitan sastra seribu yang murah ”seharga es teh” (Penerbit Gerilya Peradaban) sampai yang paling terakhir: Kemah Sastra.
KMF berhasil dilaksanakan beberapa kali dengan jumlah peserta yang lumayan banyak. Penerbit Gerilya Peradaban yang bertujuan memasyarakatkan sastra dengan jalan menerbitkan karya-karya sastra yang murah sehingga mudah dijangkau masyarakat luas -seharga seribuan rupiah- telah menghasilkan sejumlah karya yang bermutu. Karya yang paling bisa disebut adalah antologi Cinta Pertama yang disponsori Indah Darmastuti dan antologi cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma. Sedangkan Kemah Sastra berhasil mendatangkan peserta hingga cukup merata dari seluruh pulau Jawa beserta materi dan pengisinya yang cukup berkualitas.
Kegiatan lain -banyak sekali aktivitas yang kami lakukan, boleh dibilang hampir tiap minggu kami bertemu. Juga berdiskusi. Hanya sedikit bedah karya, dan tak lupa kami pernah melakukan proyek penulisan cerita anak yang ditawarkan teman lama yang bekerja sama dengan Penerbit Sahabat di Klaten. Kami melakukan pekerjaan menulis cepat hingga menghasilkan banyak buku, sayang honor yang kami peroleh tak sesuai harapan. Dalam proyek ini juga terlibat penulis Abednego Afriadi, dia dan saya mengelola blog Aryobegal.
Masa-masa itu saya bersemangat menulis dan sedikit cerpen bisa dinikmati pembaca di sejumlah media dan ada yang memenangi sayembara. Saya terus mengikuti arus besar Pawon, juga menyenanginya, walau kadang ada rasa ingin jauh juga darinya. Rasa yang tak berhubungan dengan aktivitas Pawon sebagai komunitas. Ada atmosfir yang kurang menyenangkan, begitu kira-kira.
Pas kondisi seperti itu -setelah cukup lama saya beraktivitas di bidang sastra- saya bertemu dengan kakak kelas kuliah saya di Jogja. Kami berbincang singkat, dan tak lama kemudian saya melakukan pekerjaan survei untuk membantu kantornya. Karena pekerjaan dan atmosfir itu saya tak terlalu intens di Pawon tapi tetap datang sesekali.
Pawon kemudian berganti koordinator dengan berbagai berita mengagetkan yang masuk ke telinga saya. Ada yang kecewa, juga mungkin sakit hati, tapi yang jelas tulisan ini tidak akan membahas hal itu karena posisi saya yang tidak cukup mengerti secara jernih dan berimbang sebab pada masa-masa itu saya mulai jarang di Pawon dan pas pergantian itu saya tak bisa hadir karena anak kedua saya opname di RS. Sejumlah orang mendatangi saya berbicara mengenai kondisi Pawon yang runyam. Saya tak bisa berbuat apa-apa, dan membiarkan semua berjalan dengan sendirinya.
Peristiwa yang tak biasa itu membuat saya makin tak aktif di komunitas sastra. Saya terus menggeluti pekerjaan survei dan melupakan aktivitas sastra untuk mengumpulkan uang guna membangun rumah -alhamdulillah sekarang rumah itu telah jadi dan saya tempati. Saya ingat, waktu itu saya berada di luar pagar Pawon dan buletin lain, Alis, yang saya dengar didirikan pengurusnya untuk mengantisipasi jika Pawon tak berproduksi agar masih bisa memenuhi kewajiban pada pelanggan yang telah membayar di muka. Alis dikirimkan pada pelanggan jika Pawon tak terbit, mungkin begitu maksudnya. Ternyata Pawon terus berproduksi, Alis juga, sama-sama terbit tiap bulan. Kota Solo memiliki dua buletin sastra yang cukup baik. Sebuah sejarah yang mungkin sulit terulangi.
Berbulan-bulan kemudian, saya hanya berseliweran saja di komunitas sastra Pawon dan Alis. Datang atas nama diundang. Seingat saya, beberapa bulan kemudian Pawon lebih bersifat tematis. Pawon terus terbit dengan model yang baru sedangkan Alis sepertinya dihentikan terbitannya sehabis edisi keempat -antologi cerpen Seputar Pusar yang cukup wah. Antologi ini diisi oleh 20 penulis diantaranya: Sunlie Thomas Alexander, Antoni C.K, Andri Saptono, Han Gagas, dll.
Lalu meledaklah hp saya, hampir setiap hari saya mendapat kabar bahwa Bandung Mawardi yang sebelumnya pernah memenangi sayembara esai DKJ 2008 tulian-tulisannya gencar nampang di media dari media massa yang paling raksasa seperti Kompas, yang regional seperti Suara Merdeka dan Joglosemar hingga yang lokal Solopos. Luar biasa pencapaian esais ini. Dia melejit meninggalkan dengan telak teman-temannya yang lebih dulu nongol sesekali di media.
Kabar luar biasa juga dilakukan oleh Yudhi Herwibowo, teman yang sebelumnya menghasilkan bejibun banyaknya karya gokil dan remaja mulai merambah sastra yang lebih serius, akhirnya karya-karyanya lahir dengan cemerlang: Menuju Rumah Cinta-Mu, Perjalanan Menuju Cahaya, dan terakhir novel sejarah yang amat prestisius ”Pandaya Sriwijaya” yang diterbitkan Bentang. Saya membaca ketiga novel ini dan yang terbaik adalah Pandaya Sriwijaya, novelnya yang paling tebal.
Tak hanya itu penulis senior dan memiliki pembaca yang mapan, Sanie B. Kuncoro, menghujani pembaca dengan empat bukunya yang terbit tak berselang terlalu lama. Tiga dari empat bukunya yang memukau adalah Kekasih Gelap, Mayan, dan Garis Perempuan. Walaupun sepertinya Sanie lebih menyukai novel Garis Perempuan yang begitu lama ia telorkan itu tapi Mayan-lah bukunya yang meledak di pasaran menjadi best seller dan dibincangkan dimana-mana.
Catatan penting lainnya adalah pertumbuhan dan perkembangan anggota Pawon yang lain. Kita amat menunggu novel-novel berikutnya dari Indah Darmastuti, setelah Kepompong (Penerbit Jalasutra), dan novelet Pulung di Femina. Atau puisi khasnya Poetri Hati Ningsih, juga berkembangnya daya tulis Fanny Chotimah, dan awak Pawon yang datang belakangan. Termasuk murid-muridnya Bandung Mawardi yang rajin bertemu dan para peserta workshop menulis yang diadakan Pawon. Beberapa diantaranya karyanya telah dimuat media massa. Merekalah yang bakal meledakkan hape dan kuping saya dengan berita yang makin membanggakan. Tak lupa yang perlu disebut adalah mantan koordinator Pawon, Yunanto Sutyastomo yang bertambah sibuk mengelola Balai Sudjatmoko dengan acara-acaranya yang berguna selama ini, nampaknya begitu terlena di sana.
Sedangkan saya sendiri masih sabar menunggu novel saya (Tembang Tolak Bala/Reog) dan buku Sang Penjelajah Dunia terbit. Kadang-kadang menulis cerpen, dan berupaya menghasilkan novel lagi dan buku pengetahuan populer yang menarik. Yang jelas, saya berupaya untuk kembali cukup aktif di Pawon apalagi selalu mendapat suntikan semangat dari koordinator Pawon sekarang, Yudhi Herwibowo.
Selama tiga tahun ini dalam berbagai aktivitas sastra Pawon dan partner nampak sejumlah penulis luar yang hadir seperti Afrizal Malna, Triyanto Triwikromo, Raudhal Tanjung Banua, Abidah el Khalieqy, Ratih Kumala, Saut Situmorang, Sunlie Thomas Alexander, Indrian Koto, Tjahjono Widijanto, Beni Setia, Dwicipta, Kusprihyanto Namma, berbagai komunitas sastra seperti Lumbung Aksara (Marwanto, dkk) dan Thariqat Sapu Jagat (Miftah, dkk), beberapa penulis Bandung, dan kota-kota lain di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jakarta. Pawon menjalin kerjasama dengan Taman Budaya Jawa Tengah/TBS dalam melakukan kegiatan-kegiatan sastra seperti workshop menulis, lounching Littera, dll. Pawon juga bergandengan tangan dengan Balai Sudjatmoko dalam melakukan berbagai aktivitas membaca dan menulis, seminar, diskusi, dan workshop. Selama tiga tahun Pawon berdiri secara langsung maupun tak langsung telah banyak mengambil peran dan berupaya terus melahirkan penulis-penulis muda yang potensial.
Orang Pawon datang dan pergi. Bandung Mawardi bergiat di Bale Sastra Kecapi dan Jurnal Tempe Bosok, Anton WP berkarya di seberang pulau dan Joko Sumantri hidup di ibu kota tapi mereka juga kembali dalam berbagai bentuk: kehadiran fisik, telekomunikasi, juga pikiran apalagi sekarang ada jejaring sosial facebook yang memudahkan untuk berinteraksi. Jadi selalu ada tempat kembali di Pawon.
Perubahan selalu tak terhindarkan dulu buletin pawon dijual dengan harga murah sekarang dibagikan secara gratis di setiap acara-acara sastra di Solo. Harga produksi tidak sedikit tapi Pawon terbukti bisa bertahan selama tiga tahun menyumbangkan apa yang dia punya untuk sastra.
Saya yakin Pawon makin berkembang maju, dengan ide-ide segar yang makin membuat banyak orang bungah. Rumah baca dan taman bacaan gratis, kursus menulis, dan kegiatan lain yang membudayakan membaca dan menulis. Mending membaca ketimbang tidak membaca dan mending menulis ketimbang tidak menulis. Begitu ungkap Bandung Mawardi.

Han Gagas, 24 Maret 2010.

Cerpen Ritual

Ritual
Cerpen Han Gagas

Selama tiga malam di petilasan, angin gunung mendesau dingin, menggigit tulang, mendesirkan kulit, tapi tetap saja tak membuatnya beringsut. Lelaki itu setia bersila, samadi. Wajahnya beku, matanya terpejam, mulut mengatup, dengan napas pelan teratur dan tangan terjuntai di lutut. Baginya, ini malam terakhir, ia harus menuntaskan semua perintah gurunya kalau ingin cita-citanya terkabul.
Kata gurunya, di petilasan ini bersemayam roh Pangeran Lohdaya bersama kekasihnya. Mereka menyatu dalam sebuah lubang kubur. Cinta terlarang tak memisahkan keduanya. Sang kekasih adalah perempuan kaya yang ternyata ibu dari pangeran itu sendiri. Ia berharap dengan berbagai ritual yang dijalani, sang pangeran dan kekasihnya akan memenuhi permintaannya: kaya-raya. Dan itu berarti modalnya untuk menjadi lurah.
Ia mengenang hidupnya yang begitu berat sejak kegagalan usahanya yang beruntun. Harapannya musnah, dan cibiran tetangga berdatangan. Rumah tangganya yang semula baik-baik saja walau tanpa anak, juga hancur. Istrinya minggat, menyempurnakan nestapa hatinya. Hidup dalam kecamuk begitu rupa membuatnya bertekad menyudahinya.
Ia bertekad merubah nasib dengan cara apapun. Termasuk menjalani puasa ngebleng tujuh hari tujuh malam, laku mlampah sampai ke petilasan ini, dan tiga malam laku tapa. Sekarang, sesuai pesan gurunya, ia tinggal menunggu wangsit di malam ketiga, lalu tinggal menyelesaikan perintah wangsit itu.
Malam merambat perlahan. Gerumbulan mendung yang menutupi bulan bergeser ditiup angin. Membiarkan cahayanya sedikit lebih terang. Desau angin makin dingin. Tiba-tiba saja angin gunung menderu, memusar, menerbangkan debu pasir di atas petilasan. “Ini pertanda, Pangeran Lohdaya akan memberikan wangsit,” batinnya. Lalu sekonyong-konyong suara mendengung berpusing di kepalanya.
Ia merasa dilempar ke tempat suwung lalu suara berat mendentum dadanya. Perintah menyusup dan menebalkan gendang telinganya. Wangsit datang dari sudut yang gelap.
Perintah itu benar-benar memusingkan kepalanya. Ia belum tahu bagaimana caranya bisa mendapatkan perempuan. Pun ia merasa bersalah. Seumur hidup, belum pernah berhubungan badan selain dengan istrinya. Namun, demi cita-cita, semua syarat harus ia penuhi. Tidak bisa tidak!
Lalu ia segera turun gunung.
Malam masih saja gelap begitu ia tiba di desa terdekat. Langkahnya menyusuri bulak dan membelah jalan perkampungan. Otaknya bekerja keras. Kelelahan, kantuk, dan lapar tak dihiraukannya. Ritual terakhir itu harus ia tuntaskan, dan bayangan kaya dan menjadi lurah mengobarkan semangatnya. Bagai obor yang menyuluh nasib gelapnya.
***
Belukar tersibak pelan-pelan. Seraut wajah dengan sorot mata tajam mengawasi dari balik dedaunan. Ia merunduk seperti harimau yang hendak menerkam mangsa. Malam masih saja didesau angin dengan rembulan yang dikerubuti mendung tebal membuat malam terasa makin mencekam. Di seberangnya, seorang perempuan membuka engsel pintu belakang. Deritnya mengoyak kesunyian.
“Kutemani, Bune!” Suara serak laki-laki terdengar dari arah dalam rumah.
“Tidak usah Pakne, aku cuma sebentar,” sahutnya sambil menjinjing ember air di tangan kanan, dan lampu ting yang diacungkan tinggi-tinggi oleh tangan kirinya. Pekat malam terobek oleh berkas sinar lampu itu.
“Ya sudah, hati-hati Bune,” suara berat kembali menyahut.
“Ya Pakne...” Balasan yang terdengar mulai menjauh. Angin malam menggoyang lampu ting membuat sinarnya bergerak ke kanan-kiri.
Belukar kembali tersibak dan sepasang mata mulai berkilatan. “Ini kesempatan bagiku,” pikir lelaki itu. Gelap malam membuat keberaniannya membulat. Rasa gamang menyirna.
Ia mengintai, kepalanya celingukan mengawasi sekeliling. “Syukurlah Dewa Bayu melindungiku, angin selaksa diam, tak menggeser gerumbulan mendung yang menutupi rembulan,” batin lelaki. Ia menyiapkan batu sekepal tangannya. Matanya memicing seperti mata kucing. Perempuan itu berjalan tergesa karena hasrat yang tak tertahan. Ia bergegas ke kakus.
Namun… sebuah bayangan melesat cepat menimpuk tengkuknya. Dughh! lalu tubuhnya berdebum roboh.
“Kanjeng Pangeran Lohdaya, sesuai perintahmu, perempuan inilah yang akan aku setubuhi malam ini,” ucap si lelaki. Ia panggul tubuh lunglai itu dan bergegas pergi. Melesat di balik rumpun bambu lalu menikung menuju jalan setapak ke puncak gunung.
“Bune... Bune!” Malam mendesirkan dingin tanpa sahutan lagi.
***
Kentong bertalu-talu. Gerombolan obor bergerak menyatu.
“Ada apa sedulur-sedulur?” tanya Pamong Desa.
“Anu Pak... istri saya hilang.”
“Hilang bagaimana?!”
“Tadi dia buang hajat, saya khawatir lalu menyusulnya tapi dia lenyap begitu saja. Hanya lampu ting ini yang tertinggal, tergeletak di kebun.”
“Ayo kita cari!” sahut Pamong Desa sambil mengarahkan agar orang-orang berpencar. Orang-orang memecah diri, bergerak berkelompok. Gelap terobek-robek obor yang menyebar ke segala penjuru. Tapi tak lama kemudian, kentong kembali bertalu-talu. Obor-obor kembali menyatu menciptakan gerumbulan kuning seperti api yang membakar sekam di gelap malam.
“Kami lihat jejak ke arah jalan setapak ke puncak gunung, ranting belukar banyak yang patah, dan rerumputan seperti baru diinjak manusia. Sedulur-sedulur, agaknya ia diculik dan dibawa ke puncak gunung, mungkin ke petilasan. Ayo ke sana!”
“Ayo...” sahut Pamong Desa.
“Ayo, ayo!” Orang-orang bergerak cepat. Gerombolan obor merangsek maju, mengibas angin yang menderu. Api obor nampak berekor, berlarian melaju ke atas.
***
Sesosok bayangan berjalan memanggul perempuan yang terkulai. Pelan-pelan merambat naik. Angin makin menderu, menggerisikkan daun di sepanjang jalannya. Daun-daun rontok dan ranting tua terpelanting, sebagian mengenai tubuhnya. Menaiki gunung yang menjulang sambil memanggul perempuan itu, membuat tubuh lelahnya serasa dirajam.
Ia istirahat sebentar tapi ketika melihat gerombolan obor merambat ke arahnya, ia kembali bergegas. Hatinya berdesir. Angin gunung menggeser gerumbulan awan, membuat bulan tak punya halangan lagi menyinari bumi. Ia mendongak, menatap bulan yang tampak kemerahan di matanya. Hatinya tambah berdesir, batinnya berdetak, “Bulan berwarna merah… ini malam yang aneh.”
Angin berlipat menderu, menampar-nampar wajahnya. Bunyi ‘kuhkk... kuhkk’ burung hantu membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Dari tempat agak jauh, anjing hutan melolong mendayu-dayu. Hatinya bergetar, tapi ia tak peduli. Ia terus bergerak, memanggul perempuan itu, merambat depa demi depa. Tekadnya sudah bulat, terhadap orang-orang desa ia tak takut. Kepada binatang hutan yang ganas, pun memedi yang coba menakut-nakutinya, ia tak gentar.
Ia menoleh lagi, obor-obor itu mirip kunang-kunang yang berbaris menuju arahnya. Ia rebahkan perempuan itu lalu duduk bersila, mulutnya komat-kamit merapal mantra. ”Eyang Guru, tolonglah muridmu ini, sesatkanlah jalan orang-orang desa itu, dan pagarilah anakmu ini dari bahaya binatang buas dan para memedi.”
Badannya terasa hangat seperti teraliri Tuak Tuban, ia yakin Eyang Guru telah memagari tubuhnya. Dan sekarang, ia melihat gerombolan obor itu bergerak tak karuan seperti kunang-kunang yang dikibas badai. Hatinya kembali tenang.
Malam terus naik mendekati puncaknya. Perjalanannya pun mulai merambati titik akhir. Ia mengira-ngira waktunya bakal pas. Tepat di tengah malam, ia akan sampai di petilasan. Dan, tinggal menyetubuhi perempuan itu lalu cita-citanya menjadi kenyataan: orang paling kaya dan menjadi lurah. Ia tersenyum, hatinya girang.
Akhirnya sampai juga ia di puncak, langsung direbahkannya tubuh perempuan itu di atas petilasan. Matanya memandang sekitar, angin menyerupai badai kecil yang meliukkan pepohonan, menggoyang dahan, dan merontokkan daun dan ranting. Bunyi ‘kuhkk... kuhkk’ makin kerap terdengar. Lolongan anjing hutan melengking bersahutan, terdengar dalam jarak yang makin dekat, mendekat, terus mendekat seperti hendak melihat apa yang bakal terjadi. Membuat hatinya kembali bergetar, jauh lebih keras dibanding sebelumnya.
Ia memompa nyali, menyingkirkan segala takut yang mengepung lalu segera membakar dupa dan bersila di depan petilasan. Mulutnya berkomat-kamit. “Wahai Pangeran Lohdaya, sekarang kupenuhi syarat terakhirmu. Ritual persetubuhan ini akan segera aku lakukan. Pangeran Lohdaya, ijinkan cucumu menyudahi laku ini.”
Angin memusar menerbangkan debu pasir di atas petilasan.
Ia berpikir Pangeran Lohdaya memberi restu padanya. Segera ia lorotkan celananya juga melolosi semua yang menempel pada tubuh perempuan yang nampak pulas itu.
Malam yang buta, di puncak gunung, dua sosok manusia menempel erat. Di atas petilasan, ia setubuhi perempuan yang dikiranya pingsan. Ia tak tahu bahwa perempuan itu telah menjadi mayat. Dan ia juga tak tahu, bahwa Pangeran Lohdaya memintanya menyetubuhi perempuan yang hidup.
Lalu terdengar erangan membahana…
Subuh. Orang-orang berobor terkejut, menemukan dua sosok manusia di atas petilasan tua, menyatu tak bisa dipisahkan...


Tentang penulis:
Han Gagas, buku kumpulan cerpennya Jejak Sunyi, 2008.
Novelnya Tembang Tolak Bala dan bukunya Sang Penjelajah Dunia
sedang dalam proses diterbitkan.