Selasa, 26 Agustus 2008

Isebel

Cerpen : Abednego Afriadi

22.00 WIB : Oooo…oooo…letakkan senjata!

Sudah satu jam, tangan kanan Supran menggenggam sebilah belati. Nafasnya berhembus tak teratur. Meski berbatang-batang rokok telah habis dihisapnya. Kedua kakinya masih dirasakannya gemetaran, meski beberapa detik sempat kembali berdiri tenang. Apa yang dinantikan? Hanya sebuah pertikaian. Ia ingin pertikaian itu lekas selesai dengan jawaban siapa yang kalah dan menang. Agar amarah itu tak berkecamuk merambatkan akar sakit penyakit.
***
Seorang yang ditunggu-tunggu tak juga datang. Hingga ia terpaksa duduk terpaku duduk di atas drum usang berkarat. Sambil terus berjaga-jaga. Siapa tahu, orang yang ditunggunya berjam-jam, tiba-tiba menikamnya dari belakang. Jadi terlalu singkat, tak ada saat-saat yang mendebarkan, pikirnya. Sambil menatap setiap kegelapan sudut gang buntu itu, Supran menutup kancing jaket kulit yang sempat terbuka, seperti menantang benda tajam yang suatu saat tiba-tiba menembus perutnya hingga memuncratkan darah segar.

Beberapa kelelawar nampak menyebar, usai suara tembak bergema. Supran tiba-tiba saja turun dari tong, dan menunduk. Kakinya sengaja ia posisikan kuda-kuda beladiri. Busyet! Bikin jantungan saja!, pikirnya. Nafasnya kembali memburu. Ia berjalan mengendap menuju pertigaan gang, tempat transaksi para pengedar. Tak ada langkah terdengar sekali pun, kecuali kakinya sendiri yang menginjak kerikil, sampah, atau sepasang kecoa yang sedang asyik bercumbu di tanah yang sering dikencingi para pemabuk.

“Mampus kau!” teriak Supran mengangkat tubuhnya sendiri lantas mengibas-kibaskan belati tak tentu arah, “Heit. Ciat-ciat-ciat!!!”

Malam kembali senyap usai gema suaranya terpantul.

Ah, tak ada gunanya berjaga-jaga. Sedari tadi, orang itu juga tidak datang, pikirnya. Supran lantas kembali duduk di atas drum bekas penyimpanan minyak tanah itu. Kesunyian berangsur terpecah ketika mobil-mobil mengkilap melintas di pertigaan menuju Cafe Tompel yang kira-kira masih enam puluh meter lagi di tempuh.

“Hei Supran! Apa yang kau lakukan? Suprankah itu?”

Supran mendelikkan matanya, lantas mendekati pria berbadan tambun itu seraya mengendap-endap, nyaris menghentikan suara langkahnya. Namun Supran tak sadar, kedua matanya memantulkan kilap dari sedikit cahaya, entah dari mana asalnya. Pria berbadan tambun itu masih menatap ujung gang buntu dengan raut muka keheranan,

“Supran kau kah itu? Kau dicari orang! Eh, maaf, tapi apa benar kau Supran! Maaf kalau aku salah. Terima kasih!” tukas pria tambun itu lalu berjalan menuju cafe, tak menghiraukan Supran.

Suara degup musik dari cafe sayup sayup terdengar. Terkadang terdengar serempak dengan teriak para perempuan ketika beberapa tamu bergiliran masuk. Pintu sedikit terbuka, hingga keramaian pesta terdengar semakin nyaring.

Pertengkaran itu berawal saat Isebel mendatanginya. Meminta tanggung jawab. Sejak itu Supran memang telah bersumpah, tak kan membiarkan Isebel hidup. Juga dengan orang-orang sekitarnya. Ia ingin mereka mati.

“Ternyata sudah terlambat dua bulan, Pran,”
“Apa buktinya? Bukankah kita selalu mamakai kontrasepsi?”
“Apa kau bilang? Kau kejam, Pran!”
“Kau yang lebih kejam. Kau menipuku! Kau mengaku masih single. Tak tahunya bersuami dua.”
“Aku berhak bersuami dua. Aku tidak puas jika hanya satu. Aku ingin mereka menjadi mayat setelah belatung-belatung dalam rahimku ini menggerogoti pelir mereka.”
“Menjijikkan! Hei, hei, hei aku tak akan bisa ngelantur. Kau belum jawab pertanyaanku, sedangkan kau menuduhku kejam. Ah tidak nyambung sama sekali. Tolol!” gerutunya menyentuh kasar kepala Isebel hingga hampir terjatuh.

Malam ini bukan hanya Isebel yang ia tantang, namun juga yang lain, termasuk teman-temannya. Bahkan pria berbadan tambun tadi.

“Heh…Gendut! Anjing! Kecoa! Ke sini kau?” teriak Supran dari kejauhan sambil masih menenteng sebilah belati yang siap dikibaskan ke arah leher lelaki itu.
“Ah, kau ini gimana? Bukankah tadi aku sudah menawarkan pertemuan? Tapi kau tak menjawab!”
“Sini cepat!” teriak Supran hingga menggema suaranya sedikit pas jika diiringi musik mesin di Cafe Tompel.
“Bangsat! Jangan kau panggil dengan teriakkan! Aku bisa membunuhmu!”
“Enyahlah kau dari bumi!”
“Bukan kau saja yang bisa membunuh. Aku juga bisa!” jawab pria tambun tadi dengan wajah sinis, sambil berdiri tegak menyingsingkan lengan jaket kulitnya. Jari-jarinya terdengar bergemelutuk menggenggam erat, siap meremukkan tulang-tulang muka Supran.

Mata Supran semakin melotot ingin keluar dari kelopaknya. Ia ingin menikam perut lelaki itu hingga usus dan jeroan lainnya terburai keluar.

Lelaki itu berjalan lebih cepat mendekati Supran, sedangkan Supran hanya berdiri tenang siap dengan kuda-kuda sambil menyembunyikan belatinya di kantong jaket. Yah kegelapan yang menguntungkan bagi Supran, sebab mata lelaki itu tak mungkin bisa melihat belati yang ia sembunyikan. Ia siap menusuk-nusuk tubuhnya hingga semua cairan tubuhnya terkuras dan kembali kusut.

Namun langkah lelaki itu tiba-tiba terhenti. Ia berusaha mengatur nafasnya yang mengalir deras. Berkali-kali ia mengdongakkan muka sambil menghela nafasnya. Jenggotnya nampak panjang berantakan.

“Hah…aku memang sudah tidak lama menghabisi nyawa orang sejak revolusi. Tapi aku tak ingin mengulanginya. Sebab aku ingin berubah. Dan jangan paksa aku membunuhmu. Jangan pikir aku akan meremukkan tulang-tulangmu yang dililit kulit itu!” tukusanya dengan nada geram.
“Tinggi besar tapi pengecut!”
“Terserah! Aku sudah bosan, bahkan kebal dengan hinaan semacam itu!”
“Yah, tapi kau belum kebal dengan segal macam yang dapat mencabut nyawamu!”
“Ha..ha..ha.. Izrail saja tak pernah diutus mencabut nyawaku,” jawab pria itu, lalu pergi tanpa menoleh menuju cafe. Mungkin tubuhnya sudah gatal tak kuasa menahan diri ingin berjingkrak-jingkrak seperti kesurupan dan menenggak berbotol-botol miras, seraya mengucapkan sumpah serapah, caci maki, dan ancaman-ancaman.

Supran menghela nafasnya. Ia semakin ingin menikam punggung lelaki itu dari belakang. Ah pengecut benar jika kulakukan, pikirnya.

Membosankan, harusnya aku cari Isebel. Aku ingin paksa ia melahirkan sekarang. Bayi dua bulan itu harusnya enyah dari dunia ini, pikirnya lagi sambil meremas rambutnya yang ikal panjang berantakan. Aku ingn tahu, siapa ayah bayi itu? Apakah benar-benar dariku. Aku masih curiga, jangan-jangan dari suami lainnya. Dan aku hanya dijadikan lemparan tanggung jawab. Sumpah aku bisa bertanggung jawab mengurus bayi itu jika Isebel dan kedua suaminya tewas terlindas kereta api atau aku tikam satu persatu leher mereka.

“Isebeeellllllllllllll!!!!!!!!” teriak Supran. Namun mesin mobil mengkilap yang melintas lebih keras menderu. “Sumpah, aku akan membunuhmu. Aku akan menikammu sekarang juga! Jangan mengiba! Jangan berlagak kasihan di mataku. Aku tahu! Aku tahu! Semua itu jebakan! Semua itu tipu muslihat!”

Setan alas! Kurang keras juga suaraku, katanya dalam hati. Mukanya mendongak ke atas. Ia menatap tangga besi yang masih kokoh berdiri di sebuah rumah bertingkat tanpa penghuni. Mungkin masih ada atap, pikirnya lagi. Lantas ia mendaki tangga itu. Sampai di atap, ia menepuk-nepuk, menghilangkan karat tangga yang menempel di kedua tangannya.

“Isebellllllllllll!!!!!!!!!!!” teriak Supran ke berbagai penjuru mata angin. Seorang perempuan penghuni apartemen, nampak membuka jendela dan mencari teriakan Supran. Namun kembali menutupnya.
“Isebelllll!!!!!!!”

Lampu-lampu gedung masih menyala. Bahkan sebagian perkantoran belum tutup. Mata Supran memandang sekeliling kota itu. Sesaat ia tertegun melihat mercusuar yang berputar-putar menyiramkan cahaya. Pandangan matanya tanpa sengaja berhenti di sebuah gedung olahraga. Dadanya berdesir. Ia semakin teringat pertemuan teakhirnya dengan Isebel di gedung itu. Ia tak kuasa membendung air matanya. Supran semakin sadar, tak mungkin pertengkaran itu berlanjut.

Petikan gitar seorang pemabuk di Garden Music Cafe sayup-sayup terdengar menyaingi deru musik di Cafe Tompel yang berhenti saat rasia polisi digelar. Oh, iya, bukankah Isebel telah mati? Aku lupa. Aku saksikan ia menari dalam dunia mimpi. Isebel memang mati dan tak pernah ada di dunia ini. Yang ada hanyalah aku sendiri dan foto-foto telanjang tertempel di kamarku.

23:45 WIB: Tubuh Supran lunglai. Betapa dendam itu masih bergemuruh, meski malam ini mulai berangsur reda. Mimpi itu terlalu kejam memang. Suara serak basah para pemabuk masih terngiang, diiringi petikan melodi gitar elektrik yang meliuk-liuk. Irama blues terasa seirama dengan hembusan angin, serta barisan lampu-lampu kota dan pulau seberang. Mereka melantunkan syair,

Oo..oooo..oooo…letakkan senjatamu!
heheheeeenntiiikkaaan…o hentikan perang…..
mari kita…. mari kita…. mari kita….
bermaen mussseekkkk…

Supran menuruni tangga, dan keluar dari gang buntu. Ia lempar sebilah belati di tembok usang yang berisi coretan-coretan. Dari belakang, sepasang tangan kekar dengan cepat memegang erat kedua tangannya, lantas mengikatnya dengan borgol.

Sayup-sayup nyanyian baru para pemabuk berganti. Suaranya terdengar jelas, namun kadang lirih, mengikuti hembusan angin malam.

When a man love a woman...
***

dimuat di www.ceritanet.com Edisi Merah Putih 162

Minggu, 24 Agustus 2008

Surat Kaleng

Cerpen : Abednego Afriadi
“Kosong lagi,” keluh Bapak membuka sepucuk surat kosong tanpa nama pengirim. Sudah tujuh hari ini kami mendapat kiriman serupa. Beramplop putih polos, tanpa segurat pun tertulis nama pengirim. Setiap pagi tiba-tiba sudah terselip di bawah pintu, menyisakan aroma sewangi melati. “Pasti ada seseorang yang mengantarnya karena tukang pos baru datang setidaknya sekitar jam sembilan. Apalagi tidak ada bekas stempel cap pos atau paket kiriman tertentu,” kata Bapak.
Ternyata bukan hanya kami yang setiap pagi menerima surat itu. Semua rumah di RT 5 RW 9 Perumahan Surga Permai menerimanya setiap pagi.
“Kalau memang benar melompat pagar, berarti sudah keterlaluan!” geram salah satu warga saat rapat di rumah Pak RT.
“Apa perlu sewa satu satpam lagi untuk jaga malam sampai pagi?” usul yang lain.
“Iuran bulanan untuk satpam pagi saja sebagian nunggak setengah tahun, bahkan setahun. Lalu siapa yang akan nombok?” sanggah Pak RT.
“Apa mungkin Pak Sugiarto terus-terusan menutup kekurangan gaji satpam?”
Karena itu semua sepakat diadakan jadwal ronda sampai subuh, meskipun dengan resiko tak kuat menahan kantuk di tempat kerja. Semua harus berkorban hanya untuk mengetahui siapa pengirim surat kaleng itu, sekaligus menghindari prasangka buruk terhadap kampung sebelah yang dianggap sebagai kampungya pemabuk, pengamen, pencuri, perampok, kecu, dan setengah lokalisasi. Di kampung itu tinggal nama-nama yang mentereng di lembaran berita-berita kriminal kota. Mereka adalah Atmo Gelek, Priyo Tuwek, Bambang Subogel, Bah Gentong, Kastoyo Klewang, Wiyoto Pacul, Glempo, Glendoh dan Suradji Bacok. Itu belum yang kebal senapan dan hukuman.
Sudah dua hari ronda semalam suntuk berjalan, namun sepucuk surat tiba-tiba sudah terselip di bawah pintu begitu kami pulang.
“Jangan-jangan ini teror dari mereka?” kata Bapak ”Sejak pindah di perumahan ini, gelagat mereka mengisyaratkan yang tidak baik!” tukas Bapak beralan menuju arah kampung sebelah. Ibu melarangnya dengan alasan di kampung sebelah ada kembang kampung yang terkenal dengan goyangan syurnya jika berada di atas panggung dangdut, namanya Surejeb. Bapak membatalkan niatnya, tapi diam-diam ke kampung itu saat Ibu tertidur.
Paginya Ibu marah-marah. “Ternyata kamu nekat juga, Pak!” katanya sembari membanting daun pintu, lalu menguncinya agar Bapak tidak bisa masuk rumah. “Sudah, pulang saja ke rumah Surejeb!”
“Tidak!” bentak bapak sembari menggedor pintu. “Semalam aku ketemu seseorang yang ini sering mendatangi rumah-rumah. Tak peduli, miskin, janda, duda, tua, muda, jejaka, atau perawan!”
Mendengar Bapak membentak, Ibu sedikit ketakutan.
“Benar dugaanku Kiai Suluk yang mengirimkan surat-surat itu!” jawab Bapak lalu ke kamar dengan nafas tersengal-sengal.
Ibu dan aku setengah tidak percaya dengan pengakuan Bapak. Bisa jadi, itu alasan kuat agar kami percaya bahwa Bapak ke kampung sebelah tidak untuk menyaksikan goyangan dangdut Surejeb. Nama yang asing bagi kami. Kiai Suluk? Itu pasti hanya karangan Bapak. Aku sedikit curiga, jangan-jangan surat-surat kosong itu, Bapak sendiri yang memasang untuk mengelabuhi Ibu. Hanya demi menonton goyangan seronok saja harus mengorbankan orang sekampung?
Sisa letih ronda semalam suntuk masih terasa meski siangnya kuhabiskan waktu terlelap di kamar. Malam ini kurebahkan lagi tubuhku, hingga seorang bersorban putih menghampiriku kian dekat. Semakin jelas keriput wajahnya. Semakin silau rambut, jenggot dan cambangnya yang putih memerak. Mungkin benar kata Bapak, malam ini giliran aku yang di hampiri Kiai Suluk. Diserahkannya selembar kertas usang padaku dengan isyarat wajahnya supaya aku membacanya. Tapi kulihat tidak ada secoret pun tulisan darinya.
“Maaf Kiai, saya tidak menemukan tulisan Kiai!”
“Jangan malas berpikir!” gertaknya lalu pergi menghilang ditelan beragam mimpi yang berkecamuk dalam tidurku yang lelap.
Aku terbangun tepat pukul dua belas malam. Tubuh serasa letih dan enggan digerakkan. Pelipis seperti diikat karet. Aku minum setengah gelas teh hangat di meja ruang tamu. Sepi begitu menyeruap. Tak nampak seorang pun di rumah ini, bahkan di gardu pos ronda. Purnama begitu jelas tersenyum dari balik dedaunan pohon mahoni. Langit di atas kampung sebelah memerah. Gumpalan asap tercium begitu menyesakkan. “Kebakaraaaannn…toloongggg….,” teriakan bersahut-sahutan dengan bunyi kentongan itu memaksaku berlari menuju kampung sebelah.
Ditengah hiruk pikuk para pengungsi aku coba mencari Kiai Suluk. Siapa tahu berada di antara para pengungsi, pemadam kebakaran, atau rumah-rumah yang hangus terbakar? Aku ingin bertemu dengannya, sebagaimana mimpiku semalam. Pertanda apalagi yang akan disampaikan padaku?
Solo, 1 Agustus 2008

dimuat di Solopos, 24 Agustus 2008