Rabu, 31 Maret 2010

Susuk Kekebalan (Republika, 28 Maret 2010)

Susuk Kekebalan
Cerpen Han Gagas

Hatiku gamang saat kaki menjejak pematang dan menyusuri setapak. Gelap turun sempurna memerangkap semua rumah dan pepohonan. Bulan, walau separo, cahayanya berhasil membuat bayang-bayang pohon memanjang dan membesar, dan angin menjadikannya bergoyang-goyang. Di depan, nampak sebuah rumah limasan kabur disinari lampu senthir, membiaskan sinar suram. Lengang.
Karso menggamit pundakku saat tiba di pelataran. Lalu kami menaiki undhak-undhakan. Berhenti sejenak, mengatur napas. Ia mengetuk pintu pelan-pelan. Suaranya menghunus sunyi malam.
Sepi. Tak ada jawaban.
Siang tadi, Karso mengajakku membeli kembang tujuh rupa di Pasar Legi dan jarum emas di Toko Koh Yan, sebagai piranti kekebalan.
"Kau tahu sendiri, kawan-kawan terjagal ajal. Tak ada jalan lain, kita harus pasang susuk pada Eyang Warok !"
Kata-kata Karso memupuk kecemasanku. Memencarkan cairan takut ke penjuru pikiranku.
Pintu masih terjalin rapat. Karso mengetuknya lagi. Lebih keras.
Sekarang keadaan memang berubah drastis. Semua orang sangat berhati-hati bahkan terhadap kerabat dan tetangga sendiri. Kabar terbunuhnya para jenderal di Jakarta itu menyulut bara api hingga di pelosok desa ini. Menghancurkan perasaan damai, menukarnya dengan pembunuhan keji anggota BRP . Aku yang hanya simpatisan dan senggakan kabarnya juga masuk daftar.
Suara tokek mengagetkan lamunanku. Pintu masih membatu. Karso mengetuknya lagi, lebih keras, lebih kerap. Suaranya tersela langkah kaki pelan mendekat. Karso menghentikan ketukannya.
"Siapa?" Terdengar suara perempuan.
"Saya, Eyang Putri. Karso dari Tambakbayan."
"O, Karso, dengan siapa?"
"Hargo, Eyang Putri. Murid Kyai Basir," tambah Karso.
Aku tak tahu kenapa guru ngajiku itu harus disebut, mungkin karena Kyai Basir adalah orang NU yang tersohor dan bisa diterima semua kalangan.
Selot pintu ditarik, daunnya membuka separo, menampakkan seraut rupa perempuan tua terkurung ruangan gelap, tanpa cahaya.
"Masuk!"
"Terima kasih, Eyang Putri."
Kami melangkah masuk. Selot didorong, pintu menutup kembali. Mataku terpicing karena gelap. Hanya menangkap sosok Eyang Putri bergerak ke ruang belakang. Hatiku lebih tenang karena sudah berada di dalam.
Namun gelap memercikkan lagi api kecemasanku. Syukurlah, tak lama, sepotong cahaya memberkas di gedheg dan senthong . Diikuti langkah kaki mendekat, membuat berkas itu makin benderang.
Sosok laki-laki kurus, muncul dari pintu sambil membawa lampu ting bersuluh kecil. Berjalan kukuh, makin lama nampak wajah perseginya yang brewok. Ia, Eyang Warok Wulunggeni.
Hatiku langsung bergetar! Bagaimana tidak, berita kesaktiannya begitu menancap di benakku. Kabarnya, pada jaman perang, berkat Aji Pulosani dan Jimat Wesi Kuning, semua senapan Belanda tak mampu menembus tubuhnya dan hanya membuat tulangnya benjol-benjol karena pelor yang terpental. Dulu sewaktu aku kecil, pernah melihat aksinya mbarong di atap rumah, memanjat pohon kelapa dan turun meluncur dengan kepala menghadap bawah. Aksi yang tak masuk akal.
"Duduk, Nak!"
"Nuwun, Eyang."
Kami duduk di kursi kayu, menghadap meja panjang. Eyang Warok menaikkan lampu dan mencantolkannya pada sebuah pengait di tiang rumah. Sinar temaram menyapu seluruh ruangan, menyinari barong macan di atas almari tua dan seperangkat perlengkapan reog yang tertata di sudut ruangan. Sepasang kepala rusa diawetkan tergantung pada gebyok ukiran jati. Bayangan tanduknya memanjang berkejaran, menimpa jaring laba-laba yang terkoyak.
Eyang Warok berjalan mendekat lalu duduk di depan kami. Memandangku dan Karso bergantian. Hatiku berdesir!
Karso segera mengulurkan bawaan dan tangan Eyang Warok menerimanya dengan lekas. Di usianya yang berkisar delapan puluh tahun nampak kulit tangannya masih liat. Bungkusan daun pisang itu dibuka. Tangannya memilah-milah, lalu ditutupnya dengan menusukkan batang lidi. Ganti bungkus kertas yang dibuka, menghitung jumlah jarum emas, lalu ditutup.
"Tunggu sebentar…" ucap Eyang Warok sambil berdiri.
Ia berjalan ke belakang. Lampu ting bersinar lembut menyentuh punggungnya. Bayangan tubuh kurusnya memanjang hingga mengenai gedheg rumah. Lalu bayangan itu menghilang ke dalam senthong.
Karso diam. Matanya mengatup. Senyap kembali memerangkap. Gendang telingaku memeka. Udara terasa beku. Hening.
Ruang belakang terdengar menderakkan suara. Eyang Putri keluar membawa nampan berisi sepasang cangkir. Aroma kopi panas dan kental melayang, menari hingga rongga hidung, membangkitkan seleraku. Bau kopi khas hasil tumbukan sendiri.
"Silakan diminum…"
"Terima kasih, Eyang Putri."
Eyang Putri kembali ke belakang. Langkahnya pelan, ujung jarik yang dikenakannya menyentuh lantai tanah. Menggesek seperti ular.
Karso menyeruput kopinya. Aku mengikuti. Benar-benar racikan yang pas. Mantap. Aku jadi ingat, Eyang Putri semasa gadisnya pernah membuka warung kopi. Kabarnya, ia juga seorang warok, walau perempuan. Ketika berjualan wedang kopi hingga larut malam, ia pernah digoda seorang lelaki nakal. Saat si lelaki minta api untuk rokoknya, ia mengambil begitu saja bara panas dengan tangannya lalu disorongkan pada lelaki itu. Sontak merah padam muka lelaki iseng itu, dan tanpa permisi ia langsung lari terbirit-birit.
Pintu senthong berderit menyentak pikiranku. Eyang Warok membawa nampan berisi sepasang gelas dan lepek. Kembang tujuh rupa yang kami bawa tadi, sekarang telah bercampur dalam air di gelas. Di lepek, dua irisan uwi bersisihan, konon semua susuk bersemayam padanya. Ia kembali duduk. Wajahnya nampak merapuh. Kerut-merut muka perseginya lebih kentara karena tersepuh keringat tipis. Konon kabarnya, berhubungan dengan ilmu gaib menyita banyak energi.
"Silakan dihabiskan!"
Eyang Warok menyorongkan lepek dan gelas ke depan kami. Tiba-tiba benakku disergap wejangan agar berhati-hati pada hal-hal sirik. Jauhi ilmu santet, Jaran Goyang, dan kebal. Aku gamang, namun ingatan tentang kematian Kang Pur, Parikesit, Sasmita, dan Tejo lebih kuat menancap dan menggulung wejangan itu.
Karso mengambil uwi dengan jepitan jempol dan jari telunjuknya. Kepalanya mendongak dan layaknya minum pil ia dorong uwi itu ke tenggorokannya. Lalu meraih gelas, dan menenggaknya hingga habis. Karso menepuk pahaku, menebalkan nyaliku. Kegamanganku menyurut. Aku tak mau mati ketika anak-anakku masih kecil. Aku meraih uwi dan segera menelannya, lalu meminum habis air kembang. Tandas sudah. Hanya menyisakan ampas yang tersangkut di rongga mulut dan bonggol kembang di dasar gelas.
Konon uwi dan air kembang itu untuk melancarkan susuk ke posisi masing-masing. Kata Karso, sepasang susuk akan menetap di kedua alis mata agar kewibawaan merasuk dan kepala tahan pukul, dua pergelangan tangan agar kekuatan memukul berlipat, dada agar kebal senjata, pinggang agar tulang punggung membaja, dan dengkul supaya kuat menendang.
Tiba-tiba muncul sepasang kelelawar terbang mengitari limasan lalu hinggap di atas barong macan. "Hati-hati!" suara berat Eyang Warok mengagetkanku. Ia langsung berdiri dan bergegas ke pintu. Udara terasa panas.
Aku mendengar derap langkah mendekat. Eyang Putri tiba-tiba sudah ada di depanku, ia segera mematikan suluh lampu, gelap kembali menyergap. Suara kelelawar berdericit ke seantero ruangan. Perasaan aneh dan ngeri menyelimutiku.
"Kalian larilah lewat pintu belakang lalu susuri setapak di dalam hutan! Kalian pasti selamat," suara Eyang Putri berirama cepat.
"Tidak, Eyang Putri. Kami di sini saja," kata Karso.
Aku diam, lebih karena dikuasai keterkejutan. Kaki-kaki menderap makin keras, dan terdengar gemuruh di pelataran.
"Wulunggeni! Keluar kau!!" Teriak seseorang dari luar, meledakkan kecemasanku. Jantungku berdetak kencang. Tiba-tiba rasa takut merajam.
Selot pintu ditarik, kulihat segerombol orang di pelataran mengacungkan montik (golok). Jantungku serasa copot, terlihat paling depan Warok Wirodigdo dan seorang yang bersenapan.
Eyang Warok berjalan keluar dijajari Eyang Putri. Mereka langsung berhadapan dengan Warok Wirodigdo dan seorang bersenapan itu.
"Ada apa Wiro?" tanya Eyang Warok.
"Aku tak mau basa-basi! Kau selama ini yang menyokong BRP. Aku mengantarkan Bapak ini untuk menangkapmu!" jawab Warok Wirodigdo.
"Tapi apa salahku, Wiro?! Bukankah aku hanya berkesenian saja? Tak lebih!" Sikap Eyang Warok menegas.
"Aku tak peduli! Kata Bapak ini, kau harus dilenyapkan!"
Warok Wirodigdo langsung menyerang. Semua orang menyingkir. Mereka tahu, senapan dan senjata tajam tak berguna dalam pertarungan itu. Ilmu kanuraganlah yang utama.
Eyang Warok melompat ke pelataran diikuti Warok Wirodigdo. Mereka membuat arena pertarungan yang luas. Orang-orang mengerubung Eyang Putri, mengeroyok perempuan tua itu. Karso segera membantunya.
Dadaku berdegup keras. Cemas merayapi sekujur tubuhku. Suara debum memekakkan telinga. Juga pelor yang ditembakkan. Letupan montik berbenturan berpijar di mana-mana. Kulihat sepasang kelelawar bersimbah darah, berkelojotan di tanah. Kematian merajam benakku kuat-kuat. Wajah anak-anakku membayang jelas.
Paku-paku menancapi pikiranku: antara lari melewati pintu belakang atau memilih pertarungan.
Dan… tubuhku bergetar! Serasa menebal pelan-pelan, membesar. Ototku mengencang, tulangku mengeras-berderakan. Aku merasa ilmu kebal merasuki tubuhku hingga sumsum tulang. Jantungku terpacu, nyaliku membaja! Aku mengamuk seperti banteng terluka.

Ponorogo&Solo, Jan 2010






Biodata:
Han Gagas, penulis buku kumpulan cerpen Jejak Sunyi, 2008.

Selasa, 23 Maret 2010

Esai Pawon Ultah ke-3

Saya dan Komunitas Pawon Sastra di Solo

Ingatan-ingatan ini terkadang melintas di benak saya, hampir tak tertuliskan, untung malam itu, malam Tahun ke-3 Keajaiban Pawon akhir Februari 2010, Kabut alias Bandung Mawardi meminta kami untuk menulis jejak-jejak aktivitas sastra di Solo. Saya tak tahu secara pasti model tulisan apa yang diinginkan esais itu dan batasannya, namun seperti yang biasa saya tuliskan, saya mulai menulis apa saja yang berseliweran di benak dan selanjutnya saya tambah dan kurangi di sana-sini dengan asumsi –bagian yang membahas- sejarah Pawon itu perlu dan penting untuk sastra Solo.
Saya tiba di Solo pertengahan tahun 2005. Mengikuti istri yang diterima menjadi dosen di UNS. Sebelumnya saya di Jogja, dan kadang-kadang di Jakarta. Beraktivitas sebagai aktivis dan melakukan kerja-kerja temporer untuk menutup keuangan. Di Solo, hampir tak ada kegiatan yang saya lakukan kecuali membaca, berkebun, dan menulis.
Kegiatan menulis sebelumnya telah saya lakoni namun tidak intens. Saat itu, saya menulis lebih didorong oleh situasi eksternal aktivitas saya ketika menjadi aktivis mahasiswa, jejak-jejak pikiran saya dimuat melalui beberapa artikel Koran Bernas, dan sebuah opini di Buku McDonaldisasi Pendidikan Tinggi (Kanisius; 2002). Selain artikel sebenarnya saya menulis sejumlah puisi, namun semuanya gagal di media, tak satupun yang pernah dimuat koran. Saat itu karena di Jogja saya rajin mengirim ke Kedaulatan Rakyat (KR) –selang beberapa tahun saya mendapat kabar redaksi koran ini bertipe koncoisme, saya tak tahu benar-tidaknya berita itu. Karena gagal puisi-puisi itu semuanya tak terurus, dan kini telah lenyap dan memberi kesan kuat di kepala bahwa saya tak bisa menulis puisi dengan baik.
Lulus kuliah, dan bolak-balik Jogja-Jakarta dengan nasib tak bertambah maju mendorong saya untuk memantapkan diri tinggal di Solo, dan memulai aktivitas menulis lagi. Saya belajar menulis cerpen. Sendirian. Ketika istri ngantor, saya selalu mencari tempat yang tenang, salah satunya saat itu saya sering berlama-lama di Masjid Nurul Huda UNS untuk membaca dan menulis. Hasil tulisan kemudian saya ketik ulang di komputer rumah. Saat itu saya tinggal di komplek perumahan dan malu jika siang di rumah, sedang istri ngantor setiap hari. Setiap siang selalu saya keluar, dan kembali ketika waktu cukup pantas untuk dibilang pulang ngantor.
Berbulan-bulan cerpen saya tidak dimuat, akhirnya berhasil juga, pada akhir tahun 2005 sebuah cerpen di muat Koran Seputar Indonesia. Masa itu koran Seputar Indonesia masih relatif baru, dan melalui koran inilah saya mengenal nama Yudhi Herwibowo, penulis Solo yang mengelola Komunitas Sketsa Kata. Cerpennya juga dimuat koran ini beberapa minggu kemudian. Karena tak ada teman dalam menulis akhirnya saya coba menelusuri alamat penulis ini. Saya cari di Google, dan menemukan alamatnya, berikut partner komunitasnya saat itu, Bumi Manusia.
Saya menemukan dia di sebuah rumah usaha percetakan dengan meja penuh kartu nama dan cetakan undangan. Kami mengobrol, mungkin sekitar setengah jam. Saya menemukan pribadi yang pekerja keras dan tak banyak bicara, dan dia meninggalkan sebuah kalimat yang selalu saya ingat hingga sekarang terhadap penulis yang selalu menunggu karyanya dimuat: ”Menulis terus lupakan! Menulislah karya lagi.”
Beberapa waktu kemudian. Saya dismsnya untuk mengikuti workshop menulis novel di Taman Budaya Surakarta (TBS), saya diberi diskon 50%. Saya ikut, dan bertambah teman yang saya kenal. Kemudian saya mengunjungi Kabut Insitut di gerainya di pojok perempatan Sekarpace Solo, mengenal pribadi-pribadi di dalamnya: Bandung Mawardi, Ridho al-Qhodri, dan seingat saya juga bertemu Joko Sumantri di sana. Kami mengobrol singkat. Salah seorang diantaranya Kabut yang nampak lusuh, gondrong, dan perokok berat kini menjadi esais terkemuka negeri ini dengan penampilan yang rapi, kalem, dan tak merokok. Ia bermetamorfosis dari Kabut menjadi Bandung Mawardi. Ridho yang nyaris berlomba dengannya kini seperti mandheg nampak mengambil jalan lain dengan menempuh studi S2 di UGM. Sedangkan Joko Sumantri yang jago menulis opini dan sering dimuat media massa -juga sesekali cerpen- kini telah beralih domisili di Jakarta.
Tak lama kemudian, sehabis workshop itu, saya disms Joko Sumantri untuk datang di Wisma Seni TBS, acaranya apa, tanyaku, ngobrol-ngobrol, katanya. Isinya apa, kira-kira, lanjutku. Lalu kami berbalasan sms, dan terakhir ada smsnya saat itu yang paling kuingat: kita akan menjadi sejarah sastra di Solo nantinya, begitu kira-kira. Kabarnya sms undangan dari Joko itu adalah tindaklanjut dari perbincangan kecil sebelumnya dengan Bandung Mawardi dan Ridho tentang pergerakan sastra di Solo bagian barat dan timur dan upaya mengkonsolidasikannya.
Saya datang di undangan itu bersama -seingat saya ada: Wijang J. Riyanto (divisi sastra TBS-Taman Budaya Jawa Tengah), Bandung Mawardi, Ridho al Qhodri, Poetri Hati Ningsih, Jo Pakagula, Joko Sumantri, dan Yunanto Sutyastomo. Setelah beberapa lama, Joko Sumantri menelepon Yudhi Herwibowo yang ternyata tidak bisa datang. Kami mulai berdiskusi menggagas terbitan buletin sastra di Solo. Joko Sumantri sempat menyinggung sejumlah buletin di Solo yang telah gulung tikar dan tak tahan lama. Kami ditengah rasa pesimis yang ada membahas lahirnya buletin, dan menyimpulkan kenapa tidak mencoba, begitu kira-kira. Ada beberapa nama yang diusulkan: Halte, Stasiun, Beranda, Pawon, dan lain-lain. Akhirnya Pawon yang dipilih karena kami rasa pas saat itu. Pawon yang bermakna dapur adalah tempat memasak yang menghasilkan makanan. Tempat berproses untuk menghasilkan karya. Hari itulah Pawonsastra lahir, Minggu di Bulan Desember.
Hari-hari setelah itu –sebagai sekretaris redaksi dan terutama karena kondisi yang mengarahkan- saya sering menyertai Joko Sumantri, koordinator Pawon untuk mengantarnya ke percetakan, mengambil Pawon yang sudah jadi, dan mewawancarai sang profil. Tugas utama saya kemudian adalah pembuatan profil. Sampai di edisi yang tidak ada profilnya (saya lupa), setidaknya saya telah mewawancarai dan memprofilkan sekitar 15 penulis, hampir semua kecuali Dwicipta adalah perempuan, diantaranya: Abidah el Khalieqy, Evi Idawati, Ratih Kumala, dan Sanie B Koencoro.
Hari-hari penuh kegembiraan berkomunitas, hingga bertambah banyaklah teman yang saya kenal. Bersama Joko Sumantri orang yang memiliki energi luar biasa memajukan sastra, saya lebih mengerti hal-hal lain. Karena dia pula buku kumpulan cerpen saya bertajuk Jejak Sunyi bisa diterbitkan dengan sistem jual putus. Joko Sumantri juga memberi peran tertentu pada saya yang saya kira bisa saya handle, dan hal-hal seperti itulah, juga karakternya yang kuat menjadi kenangan yang sulit terlupakan.
Pawon dalam perjalanannya terbit teratur setiap bulan dengan kerjasama yang baik dari anggotanya. Pegiat Pawon yang ajeg: Bandung Mawardi mengisi esai juga Ridho al Qhodri dan Haris Firdaus, Yudhi Herwibowo dengan cerita bersambungnya, saya dengan sang profil, Yunanto Sutyastomo dengan kolomnya, Anton WP, Wijang, Poetri, Indah, dan teman-teman luar untuk cerpen, puisi, dll.
Saya bertambah semangat mengikuti dan mengisi berbagai acara yang didesain Pawon dengan Rumah Sastranya: lounching Pawon setiap bulan, Kursus Menulis Fiksi (KMF), lini penerbitan sastra seribu yang murah ”seharga es teh” (Penerbit Gerilya Peradaban) sampai yang paling terakhir: Kemah Sastra.
KMF berhasil dilaksanakan beberapa kali dengan jumlah peserta yang lumayan banyak. Penerbit Gerilya Peradaban yang bertujuan memasyarakatkan sastra dengan jalan menerbitkan karya-karya sastra yang murah sehingga mudah dijangkau masyarakat luas -seharga seribuan rupiah- telah menghasilkan sejumlah karya yang bermutu. Karya yang paling bisa disebut adalah antologi Cinta Pertama yang disponsori Indah Darmastuti dan antologi cerpen Samin karya Kusprihyanto Namma. Sedangkan Kemah Sastra berhasil mendatangkan peserta hingga cukup merata dari seluruh pulau Jawa beserta materi dan pengisinya yang cukup berkualitas.
Kegiatan lain -banyak sekali aktivitas yang kami lakukan, boleh dibilang hampir tiap minggu kami bertemu. Juga berdiskusi. Hanya sedikit bedah karya, dan tak lupa kami pernah melakukan proyek penulisan cerita anak yang ditawarkan teman lama yang bekerja sama dengan Penerbit Sahabat di Klaten. Kami melakukan pekerjaan menulis cepat hingga menghasilkan banyak buku, sayang honor yang kami peroleh tak sesuai harapan. Dalam proyek ini juga terlibat penulis Abednego Afriadi, dia dan saya mengelola blog Aryobegal.
Masa-masa itu saya bersemangat menulis dan sedikit cerpen bisa dinikmati pembaca di sejumlah media dan ada yang memenangi sayembara. Saya terus mengikuti arus besar Pawon, juga menyenanginya, walau kadang ada rasa ingin jauh juga darinya. Rasa yang tak berhubungan dengan aktivitas Pawon sebagai komunitas. Ada atmosfir yang kurang menyenangkan, begitu kira-kira.
Pas kondisi seperti itu -setelah cukup lama saya beraktivitas di bidang sastra- saya bertemu dengan kakak kelas kuliah saya di Jogja. Kami berbincang singkat, dan tak lama kemudian saya melakukan pekerjaan survei untuk membantu kantornya. Karena pekerjaan dan atmosfir itu saya tak terlalu intens di Pawon tapi tetap datang sesekali.
Pawon kemudian berganti koordinator dengan berbagai berita mengagetkan yang masuk ke telinga saya. Ada yang kecewa, juga mungkin sakit hati, tapi yang jelas tulisan ini tidak akan membahas hal itu karena posisi saya yang tidak cukup mengerti secara jernih dan berimbang sebab pada masa-masa itu saya mulai jarang di Pawon dan pas pergantian itu saya tak bisa hadir karena anak kedua saya opname di RS. Sejumlah orang mendatangi saya berbicara mengenai kondisi Pawon yang runyam. Saya tak bisa berbuat apa-apa, dan membiarkan semua berjalan dengan sendirinya.
Peristiwa yang tak biasa itu membuat saya makin tak aktif di komunitas sastra. Saya terus menggeluti pekerjaan survei dan melupakan aktivitas sastra untuk mengumpulkan uang guna membangun rumah -alhamdulillah sekarang rumah itu telah jadi dan saya tempati. Saya ingat, waktu itu saya berada di luar pagar Pawon dan buletin lain, Alis, yang saya dengar didirikan pengurusnya untuk mengantisipasi jika Pawon tak berproduksi agar masih bisa memenuhi kewajiban pada pelanggan yang telah membayar di muka. Alis dikirimkan pada pelanggan jika Pawon tak terbit, mungkin begitu maksudnya. Ternyata Pawon terus berproduksi, Alis juga, sama-sama terbit tiap bulan. Kota Solo memiliki dua buletin sastra yang cukup baik. Sebuah sejarah yang mungkin sulit terulangi.
Berbulan-bulan kemudian, saya hanya berseliweran saja di komunitas sastra Pawon dan Alis. Datang atas nama diundang. Seingat saya, beberapa bulan kemudian Pawon lebih bersifat tematis. Pawon terus terbit dengan model yang baru sedangkan Alis sepertinya dihentikan terbitannya sehabis edisi keempat -antologi cerpen Seputar Pusar yang cukup wah. Antologi ini diisi oleh 20 penulis diantaranya: Sunlie Thomas Alexander, Antoni C.K, Andri Saptono, Han Gagas, dll.
Lalu meledaklah hp saya, hampir setiap hari saya mendapat kabar bahwa Bandung Mawardi yang sebelumnya pernah memenangi sayembara esai DKJ 2008 tulian-tulisannya gencar nampang di media dari media massa yang paling raksasa seperti Kompas, yang regional seperti Suara Merdeka dan Joglosemar hingga yang lokal Solopos. Luar biasa pencapaian esais ini. Dia melejit meninggalkan dengan telak teman-temannya yang lebih dulu nongol sesekali di media.
Kabar luar biasa juga dilakukan oleh Yudhi Herwibowo, teman yang sebelumnya menghasilkan bejibun banyaknya karya gokil dan remaja mulai merambah sastra yang lebih serius, akhirnya karya-karyanya lahir dengan cemerlang: Menuju Rumah Cinta-Mu, Perjalanan Menuju Cahaya, dan terakhir novel sejarah yang amat prestisius ”Pandaya Sriwijaya” yang diterbitkan Bentang. Saya membaca ketiga novel ini dan yang terbaik adalah Pandaya Sriwijaya, novelnya yang paling tebal.
Tak hanya itu penulis senior dan memiliki pembaca yang mapan, Sanie B. Kuncoro, menghujani pembaca dengan empat bukunya yang terbit tak berselang terlalu lama. Tiga dari empat bukunya yang memukau adalah Kekasih Gelap, Mayan, dan Garis Perempuan. Walaupun sepertinya Sanie lebih menyukai novel Garis Perempuan yang begitu lama ia telorkan itu tapi Mayan-lah bukunya yang meledak di pasaran menjadi best seller dan dibincangkan dimana-mana.
Catatan penting lainnya adalah pertumbuhan dan perkembangan anggota Pawon yang lain. Kita amat menunggu novel-novel berikutnya dari Indah Darmastuti, setelah Kepompong (Penerbit Jalasutra), dan novelet Pulung di Femina. Atau puisi khasnya Poetri Hati Ningsih, juga berkembangnya daya tulis Fanny Chotimah, dan awak Pawon yang datang belakangan. Termasuk murid-muridnya Bandung Mawardi yang rajin bertemu dan para peserta workshop menulis yang diadakan Pawon. Beberapa diantaranya karyanya telah dimuat media massa. Merekalah yang bakal meledakkan hape dan kuping saya dengan berita yang makin membanggakan. Tak lupa yang perlu disebut adalah mantan koordinator Pawon, Yunanto Sutyastomo yang bertambah sibuk mengelola Balai Sudjatmoko dengan acara-acaranya yang berguna selama ini, nampaknya begitu terlena di sana.
Sedangkan saya sendiri masih sabar menunggu novel saya (Tembang Tolak Bala/Reog) dan buku Sang Penjelajah Dunia terbit. Kadang-kadang menulis cerpen, dan berupaya menghasilkan novel lagi dan buku pengetahuan populer yang menarik. Yang jelas, saya berupaya untuk kembali cukup aktif di Pawon apalagi selalu mendapat suntikan semangat dari koordinator Pawon sekarang, Yudhi Herwibowo.
Selama tiga tahun ini dalam berbagai aktivitas sastra Pawon dan partner nampak sejumlah penulis luar yang hadir seperti Afrizal Malna, Triyanto Triwikromo, Raudhal Tanjung Banua, Abidah el Khalieqy, Ratih Kumala, Saut Situmorang, Sunlie Thomas Alexander, Indrian Koto, Tjahjono Widijanto, Beni Setia, Dwicipta, Kusprihyanto Namma, berbagai komunitas sastra seperti Lumbung Aksara (Marwanto, dkk) dan Thariqat Sapu Jagat (Miftah, dkk), beberapa penulis Bandung, dan kota-kota lain di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jakarta. Pawon menjalin kerjasama dengan Taman Budaya Jawa Tengah/TBS dalam melakukan kegiatan-kegiatan sastra seperti workshop menulis, lounching Littera, dll. Pawon juga bergandengan tangan dengan Balai Sudjatmoko dalam melakukan berbagai aktivitas membaca dan menulis, seminar, diskusi, dan workshop. Selama tiga tahun Pawon berdiri secara langsung maupun tak langsung telah banyak mengambil peran dan berupaya terus melahirkan penulis-penulis muda yang potensial.
Orang Pawon datang dan pergi. Bandung Mawardi bergiat di Bale Sastra Kecapi dan Jurnal Tempe Bosok, Anton WP berkarya di seberang pulau dan Joko Sumantri hidup di ibu kota tapi mereka juga kembali dalam berbagai bentuk: kehadiran fisik, telekomunikasi, juga pikiran apalagi sekarang ada jejaring sosial facebook yang memudahkan untuk berinteraksi. Jadi selalu ada tempat kembali di Pawon.
Perubahan selalu tak terhindarkan dulu buletin pawon dijual dengan harga murah sekarang dibagikan secara gratis di setiap acara-acara sastra di Solo. Harga produksi tidak sedikit tapi Pawon terbukti bisa bertahan selama tiga tahun menyumbangkan apa yang dia punya untuk sastra.
Saya yakin Pawon makin berkembang maju, dengan ide-ide segar yang makin membuat banyak orang bungah. Rumah baca dan taman bacaan gratis, kursus menulis, dan kegiatan lain yang membudayakan membaca dan menulis. Mending membaca ketimbang tidak membaca dan mending menulis ketimbang tidak menulis. Begitu ungkap Bandung Mawardi.

Han Gagas, 24 Maret 2010.

Cerpen Ritual

Ritual
Cerpen Han Gagas

Selama tiga malam di petilasan, angin gunung mendesau dingin, menggigit tulang, mendesirkan kulit, tapi tetap saja tak membuatnya beringsut. Lelaki itu setia bersila, samadi. Wajahnya beku, matanya terpejam, mulut mengatup, dengan napas pelan teratur dan tangan terjuntai di lutut. Baginya, ini malam terakhir, ia harus menuntaskan semua perintah gurunya kalau ingin cita-citanya terkabul.
Kata gurunya, di petilasan ini bersemayam roh Pangeran Lohdaya bersama kekasihnya. Mereka menyatu dalam sebuah lubang kubur. Cinta terlarang tak memisahkan keduanya. Sang kekasih adalah perempuan kaya yang ternyata ibu dari pangeran itu sendiri. Ia berharap dengan berbagai ritual yang dijalani, sang pangeran dan kekasihnya akan memenuhi permintaannya: kaya-raya. Dan itu berarti modalnya untuk menjadi lurah.
Ia mengenang hidupnya yang begitu berat sejak kegagalan usahanya yang beruntun. Harapannya musnah, dan cibiran tetangga berdatangan. Rumah tangganya yang semula baik-baik saja walau tanpa anak, juga hancur. Istrinya minggat, menyempurnakan nestapa hatinya. Hidup dalam kecamuk begitu rupa membuatnya bertekad menyudahinya.
Ia bertekad merubah nasib dengan cara apapun. Termasuk menjalani puasa ngebleng tujuh hari tujuh malam, laku mlampah sampai ke petilasan ini, dan tiga malam laku tapa. Sekarang, sesuai pesan gurunya, ia tinggal menunggu wangsit di malam ketiga, lalu tinggal menyelesaikan perintah wangsit itu.
Malam merambat perlahan. Gerumbulan mendung yang menutupi bulan bergeser ditiup angin. Membiarkan cahayanya sedikit lebih terang. Desau angin makin dingin. Tiba-tiba saja angin gunung menderu, memusar, menerbangkan debu pasir di atas petilasan. “Ini pertanda, Pangeran Lohdaya akan memberikan wangsit,” batinnya. Lalu sekonyong-konyong suara mendengung berpusing di kepalanya.
Ia merasa dilempar ke tempat suwung lalu suara berat mendentum dadanya. Perintah menyusup dan menebalkan gendang telinganya. Wangsit datang dari sudut yang gelap.
Perintah itu benar-benar memusingkan kepalanya. Ia belum tahu bagaimana caranya bisa mendapatkan perempuan. Pun ia merasa bersalah. Seumur hidup, belum pernah berhubungan badan selain dengan istrinya. Namun, demi cita-cita, semua syarat harus ia penuhi. Tidak bisa tidak!
Lalu ia segera turun gunung.
Malam masih saja gelap begitu ia tiba di desa terdekat. Langkahnya menyusuri bulak dan membelah jalan perkampungan. Otaknya bekerja keras. Kelelahan, kantuk, dan lapar tak dihiraukannya. Ritual terakhir itu harus ia tuntaskan, dan bayangan kaya dan menjadi lurah mengobarkan semangatnya. Bagai obor yang menyuluh nasib gelapnya.
***
Belukar tersibak pelan-pelan. Seraut wajah dengan sorot mata tajam mengawasi dari balik dedaunan. Ia merunduk seperti harimau yang hendak menerkam mangsa. Malam masih saja didesau angin dengan rembulan yang dikerubuti mendung tebal membuat malam terasa makin mencekam. Di seberangnya, seorang perempuan membuka engsel pintu belakang. Deritnya mengoyak kesunyian.
“Kutemani, Bune!” Suara serak laki-laki terdengar dari arah dalam rumah.
“Tidak usah Pakne, aku cuma sebentar,” sahutnya sambil menjinjing ember air di tangan kanan, dan lampu ting yang diacungkan tinggi-tinggi oleh tangan kirinya. Pekat malam terobek oleh berkas sinar lampu itu.
“Ya sudah, hati-hati Bune,” suara berat kembali menyahut.
“Ya Pakne...” Balasan yang terdengar mulai menjauh. Angin malam menggoyang lampu ting membuat sinarnya bergerak ke kanan-kiri.
Belukar kembali tersibak dan sepasang mata mulai berkilatan. “Ini kesempatan bagiku,” pikir lelaki itu. Gelap malam membuat keberaniannya membulat. Rasa gamang menyirna.
Ia mengintai, kepalanya celingukan mengawasi sekeliling. “Syukurlah Dewa Bayu melindungiku, angin selaksa diam, tak menggeser gerumbulan mendung yang menutupi rembulan,” batin lelaki. Ia menyiapkan batu sekepal tangannya. Matanya memicing seperti mata kucing. Perempuan itu berjalan tergesa karena hasrat yang tak tertahan. Ia bergegas ke kakus.
Namun… sebuah bayangan melesat cepat menimpuk tengkuknya. Dughh! lalu tubuhnya berdebum roboh.
“Kanjeng Pangeran Lohdaya, sesuai perintahmu, perempuan inilah yang akan aku setubuhi malam ini,” ucap si lelaki. Ia panggul tubuh lunglai itu dan bergegas pergi. Melesat di balik rumpun bambu lalu menikung menuju jalan setapak ke puncak gunung.
“Bune... Bune!” Malam mendesirkan dingin tanpa sahutan lagi.
***
Kentong bertalu-talu. Gerombolan obor bergerak menyatu.
“Ada apa sedulur-sedulur?” tanya Pamong Desa.
“Anu Pak... istri saya hilang.”
“Hilang bagaimana?!”
“Tadi dia buang hajat, saya khawatir lalu menyusulnya tapi dia lenyap begitu saja. Hanya lampu ting ini yang tertinggal, tergeletak di kebun.”
“Ayo kita cari!” sahut Pamong Desa sambil mengarahkan agar orang-orang berpencar. Orang-orang memecah diri, bergerak berkelompok. Gelap terobek-robek obor yang menyebar ke segala penjuru. Tapi tak lama kemudian, kentong kembali bertalu-talu. Obor-obor kembali menyatu menciptakan gerumbulan kuning seperti api yang membakar sekam di gelap malam.
“Kami lihat jejak ke arah jalan setapak ke puncak gunung, ranting belukar banyak yang patah, dan rerumputan seperti baru diinjak manusia. Sedulur-sedulur, agaknya ia diculik dan dibawa ke puncak gunung, mungkin ke petilasan. Ayo ke sana!”
“Ayo...” sahut Pamong Desa.
“Ayo, ayo!” Orang-orang bergerak cepat. Gerombolan obor merangsek maju, mengibas angin yang menderu. Api obor nampak berekor, berlarian melaju ke atas.
***
Sesosok bayangan berjalan memanggul perempuan yang terkulai. Pelan-pelan merambat naik. Angin makin menderu, menggerisikkan daun di sepanjang jalannya. Daun-daun rontok dan ranting tua terpelanting, sebagian mengenai tubuhnya. Menaiki gunung yang menjulang sambil memanggul perempuan itu, membuat tubuh lelahnya serasa dirajam.
Ia istirahat sebentar tapi ketika melihat gerombolan obor merambat ke arahnya, ia kembali bergegas. Hatinya berdesir. Angin gunung menggeser gerumbulan awan, membuat bulan tak punya halangan lagi menyinari bumi. Ia mendongak, menatap bulan yang tampak kemerahan di matanya. Hatinya tambah berdesir, batinnya berdetak, “Bulan berwarna merah… ini malam yang aneh.”
Angin berlipat menderu, menampar-nampar wajahnya. Bunyi ‘kuhkk... kuhkk’ burung hantu membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Dari tempat agak jauh, anjing hutan melolong mendayu-dayu. Hatinya bergetar, tapi ia tak peduli. Ia terus bergerak, memanggul perempuan itu, merambat depa demi depa. Tekadnya sudah bulat, terhadap orang-orang desa ia tak takut. Kepada binatang hutan yang ganas, pun memedi yang coba menakut-nakutinya, ia tak gentar.
Ia menoleh lagi, obor-obor itu mirip kunang-kunang yang berbaris menuju arahnya. Ia rebahkan perempuan itu lalu duduk bersila, mulutnya komat-kamit merapal mantra. ”Eyang Guru, tolonglah muridmu ini, sesatkanlah jalan orang-orang desa itu, dan pagarilah anakmu ini dari bahaya binatang buas dan para memedi.”
Badannya terasa hangat seperti teraliri Tuak Tuban, ia yakin Eyang Guru telah memagari tubuhnya. Dan sekarang, ia melihat gerombolan obor itu bergerak tak karuan seperti kunang-kunang yang dikibas badai. Hatinya kembali tenang.
Malam terus naik mendekati puncaknya. Perjalanannya pun mulai merambati titik akhir. Ia mengira-ngira waktunya bakal pas. Tepat di tengah malam, ia akan sampai di petilasan. Dan, tinggal menyetubuhi perempuan itu lalu cita-citanya menjadi kenyataan: orang paling kaya dan menjadi lurah. Ia tersenyum, hatinya girang.
Akhirnya sampai juga ia di puncak, langsung direbahkannya tubuh perempuan itu di atas petilasan. Matanya memandang sekitar, angin menyerupai badai kecil yang meliukkan pepohonan, menggoyang dahan, dan merontokkan daun dan ranting. Bunyi ‘kuhkk... kuhkk’ makin kerap terdengar. Lolongan anjing hutan melengking bersahutan, terdengar dalam jarak yang makin dekat, mendekat, terus mendekat seperti hendak melihat apa yang bakal terjadi. Membuat hatinya kembali bergetar, jauh lebih keras dibanding sebelumnya.
Ia memompa nyali, menyingkirkan segala takut yang mengepung lalu segera membakar dupa dan bersila di depan petilasan. Mulutnya berkomat-kamit. “Wahai Pangeran Lohdaya, sekarang kupenuhi syarat terakhirmu. Ritual persetubuhan ini akan segera aku lakukan. Pangeran Lohdaya, ijinkan cucumu menyudahi laku ini.”
Angin memusar menerbangkan debu pasir di atas petilasan.
Ia berpikir Pangeran Lohdaya memberi restu padanya. Segera ia lorotkan celananya juga melolosi semua yang menempel pada tubuh perempuan yang nampak pulas itu.
Malam yang buta, di puncak gunung, dua sosok manusia menempel erat. Di atas petilasan, ia setubuhi perempuan yang dikiranya pingsan. Ia tak tahu bahwa perempuan itu telah menjadi mayat. Dan ia juga tak tahu, bahwa Pangeran Lohdaya memintanya menyetubuhi perempuan yang hidup.
Lalu terdengar erangan membahana…
Subuh. Orang-orang berobor terkejut, menemukan dua sosok manusia di atas petilasan tua, menyatu tak bisa dipisahkan...


Tentang penulis:
Han Gagas, buku kumpulan cerpennya Jejak Sunyi, 2008.
Novelnya Tembang Tolak Bala dan bukunya Sang Penjelajah Dunia
sedang dalam proses diterbitkan.

Kamis, 20 Agustus 2009

Jendela Sunyi

Di kedalaman matamu, aku lihat hamparan pasir lautan menyerap buih-buih riak gelombang. Di kilau parasmu berjuta cahaya memecah, membutir-butir di pekatnya langit. Desau angin mengusapmu dengan ingatan-ingatan tentang kisah kita.
Kau berdiri bersedekap, merindu pelukan. Seperti berpuluh-puluh pasang anak manusia yang saling mendekap, melumat, dan berguling-guling di pantai, tanpa pedulikan kesedihanmu. Mungkin juga kesedihan suami, istri, pacar, mertua, anak, saudara yang menunggu mereka di rumah. Lantas kau biarkan bening telaga sunyi tertumpah di kelopak matamu. Hangat merasuk bibir.
Kau tetap berdiri membiarkan syal yang terikat di leher jenjangmu melambai-lambai, sesekali berhenti semampir di pundakmu. Ah, ada saja yang membuatmu teringat aku. Lagu itu. Lagu yang dilantunkan pengamen berwajah negro, berambut gimbal itu, menggetarkan ingatan. Petikan gitarnya sebening danau matamu. Lagu lama itu sering kita lantunkan di pantai ini, jika jingga menoreh senja, dan deru ombak mengiring pulangnya para nelayan.
Arini, kau tak mengira. Dari jendela penginapan, ada seraut wajah penuh sesal menghadap, menembus hingga ke pantai, di mana kau berdiri. Tapi tiba-tiba dari belakang sosok lelaki mendekatinya, mendekap paksa. Kemudian malam menjadi jahanam baginya. Badcover telah kusut oleh pemberontakan, dan darah mengucur mengakhiri nafasnya. Lelaki itu lantas pergi ke sebuah kota yang jauh dari pantai ini.
....Perempuan tanpa identitas ditemukan mati misterius. Pembunuh tidak meninggalkan jejak. Diduga pembunuh adalah pacar korban...., berita untukmu.
***
¨Yok, dari rekaman suara ini, dipastikan korban dibunuh! Mustahil kalau bunuhdiri!”seru Pak Kepala Satuan Reskrim tempat di mana ku bertugas. Semua itu hanya untuk mengelabuhi kita, bahwa pelaku adalah pacar korban!¨
¨Maaf, Pak saya harus cuti!¨
¨Jangan dulu! Ambil cuti lain kali saja! Ini sangat urgen! Bayangkan sudah tiga tahun kasus ini belum terungkap. Pelaku lebih lihai dari para teroris yang berhasil kita tangkap!¨
Hari ini juga aku harus SMS isteriku, bahwa rencana piknik ulang tahun anakku batal. Segala risiko harus kutanggung. Omelan istri, protes anak biarkan saban hari kudengar, kubaca, dan mengorok kotoran telinga.
¨Hanya dengan jendela kantor aku berbicara dalam imajinasi sunyi. Tapi sering kali aku terganggu saat dari gerbang halaman masuk seorang perempuan secantik Arini yang ditemukan mati telanjang. Tapi kali ini tangannya diborgol. Oh, pagi yang cerah....
***
Pembunuh itu juga tidak mungkin ketemu. Aku begitu yakin sebab tak ada lagi jendela sunyi. Semua riuh. Banyak orang-orang bergegas, terbunuh, dibunuh, diburu, menerocos, merayu, membujuk, merangsang, berbaju malaikat, telanjang, fitnah, bencana, keringat, airmata, kota, hutan, pesisir, bantaran kali, lereng gunung, lautan lumpur, seruan perang..ahhh..mungkin ia bersembunyi di antara keriuhan itu?
Jendela sunyi hanya kutemukan ketika aku terdiam di ruangan pengap ini. Dengan tangan yang diborgol, dengan jeruji besi yang menghadang. Di jendela sunyi inlah, aku bisa melihat Rastri, dan Lintang, anakku menunggu di pintu rumah, menyambutku gembira, dengan secangkir kopi susu hangat, sepiring nasi goreng telur udang, dan burung perkutut teras rumah yang sejuk meniupkan merdu.
Dan di jendela sunyi itulah, aku melihat Romo Smith memimpin misa paskah, di antara lilin perkabungan yang menusuk seribu sesal dosa, raut sedih Isa di kayu penghakiman, dan berseru..Eloiiii..Eloiii.....
Sipir menghampiriku. Ia membuka kunci pintu, lantas membawaku ke luar dengan kondisi masih terborgol. Ternyata di ruang besuk, Frater Sapto, teman sekelas semasa SMAku menjenguk.
¨Semoga Tuhan mengampunimu! Kenapa kau bunuh mereka? Apa salah mereka?¨
Saya linglung.
¨Tidak mungkin!!!Tidak mungkin!!!¨
¨Anak, istri Anda sendiri...Anda tega?¨ tanyanya lagi dengan halus, membuatku sungkan dan menganggapnya sudah bukan lagi teman sekelas yang saling mencaci maki. Melainkan calon pastur karismatik yang disegani.
¨Anda sadar tidak?¨
¨Tidak mungkin!!!!¨ berat aku mengatakannya. ¨Tangan saya..ohh..oh..bergerak sendiri...eh..bukan...maksud saya...saya seperti pingsan...jendela itu terlalu riuh, bising, menakutkan, berahi, dan ...
¨Mintalah ampun dalam doa kita, mari!!!¨ ajaknya.
Selebihnya gelap. Frater Sapto, Suster Rebeca, Romo Smith, Patung Isa, Bunda Maria, Kidung Liturgi, Nyanyian Sekolah Minggu, mengajakku menari dalam dunia yang semakin jauh kugapai semula, ketika jendela masih sunyi. Ketika hymne perkabungan Kristus mengusap jidatku pelan-pelan.
Selebihnya lagi, dooor...dorrr.dorrrr..desingan peluru menghantarkanku pada ruangan gelap berjendela sunyi. Aku lihat di sekitar liang kubur sudah dipenuhi para wartawan, dan teman-temanku di markas. Namaku tertulis dalam salib kayu putih penanda kuburan. Bungai..bunga mawar menyelimuti.
Selebihnya jendela sunyi
Entah sampai kapan?
Mrican, 24 Maret 2009

Jumat, 27 Maret 2009

Karakter Rakyat Wonogiri

KARAKTERISTIK ORANG WONOGIRI
KARAKTERISTIK ORANG WONOGIRI
Seperti diketahui dalam data sejarah, Mangkunegara I dalam mengendalikan kerajaanya membagi sifat penduduk daerah Wonogiri menjadi 5 daerah karakter. Meliputi antara lain sebagai berikut :

· Daerah NGLAROH [ wilayah Wonogiri bagian utara, diantaranya mencakup wilayah kecamatan Selogiri ], memiliki karakteristik BANDOL NGROMPOL. Artinya sifat masyarakat di Nglaroh ini pada umumnya kuat rokhani dan jasmani, memiliki sifat bergerombol. Sifat mereka ini sangat positif dalam kaitan menggalang kesatuan dan persatuan. Mereka juga bersifat pemberani , suka berkelahi, membuat keributan yang jika mampu memanfaatkan potensi masyarakat Nglaroh ini, akan menjadi semacam kekuatan dasar yang kuat demi perjuangan.
· Daerah SEMBUYAN. Meliputi daerah Wonogiri bagian selatan [ sebagian daerah ini telah tenggelam ke dalam genangan waduk gajah mungkur ]. Masyarakat Sembuyan ini memiliki karakter sebagai KUTUK KALUNG KENDHO. Masyarakat di Sembuyan ini, lebih bersifat penurut, mudah diperintah pimpinan atau bersifat masyarakat PATERNALISTIK. Karena itu, ketika pemerintah Orde Baru membangun waduk gajah mungkur seluas 8.800 ha yang menenggelamkan 51 desa di 7 wilayah kecamatan serta harus memindahkan 60 ribu jiwa penduduknya, hampir tak menemui kendala yang cukup berarti.
· Daerah WIROKO. Wilayah ini meliputi kali wiroko dan sekitanya atau berada di bagian tenggara wilayah Kabupaten Wonogiri atau tepatnya di wilayah kecamatan Tirttomoyo dan sekitarnya. Masyarakat Wiroko ini memiliki karakteristik sebagai KETHEK SERANGGON. Seperti layaknya kera, suka hidpu bergerombol. Tapi memiliki sfat sulit diatur, mudah tersinggung dan agak longgar dalam tata krama sopan santun. Jika didekati mereka adakalany bersifat kurang mau menghargai, tetapi jika dijauhi mereka sakit hati. Orang jawa mengatakan mereka itu lebih bersifat masyarakat yang gampang-gampang angel [gampang-gampang sulit].
· Daerah KEDUWANG. Meliputi daerah Wonogiri bagian timur. Karakter masyarakatnya dikenal sebagai LEMAH BANG GINEBLEGAN. Yakni bagai tanah liat yang bisa menjadi padat jika ditepuk-tepuk. Masyarakat ini suka berfoya-fffoya, boros dan agak sulit untuk diperintah. Tapi bagi pemimpin yang mampu memahmi sifat dan karakteristik mereka, ibarat mampu menepuk-nepuk layaknya sifat tanah liat, sebenarnya mereka akan menjadi mudah diarahkan demi tujuan positif.
· Daerah HONGGOBAYAN. Mencakup wilayah Wonogiri bagian timur laut, yang sebagian diantaranya kini telah masuk wilayah kabupaten Karanganyar, masyarakat Honggobayan memiliki sifat layaknya ASU GALAK ORA NYATHEK. Ibarat anjing galak [ suka menggonggong ] tapi tidak menggigit. Sepintas dilihat dari tutur kata dan bahasanya, masyarakat Honggobayan memang kasar dan keras bahkan menampakkan sifat sombong dan congkak serta tinggi hati, sehingga ada kesan , mereka sepintas memang menakutkan. Namun demikian sebenarnya mereka baik hati. Perintah apapun dari pemimpinannya akan dikerjakan dengan baik.

HUJAN KUTUK DI JAWA

PANEMBAHAN SENOPATI
Danang Sutawijaya/ Panembahan Senopati adalah pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601, bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Tokoh ini dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram. Riwayat hidupnya banyak digali dari kisah-kisah tradisional, misalnya naskah-naskah babad karangan para pujangga zaman berikutnya.
Danang Sutawijaya adalah putra sulung pasangan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah. Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga. Hal ini seolah-olah menunjukkan adanya upaya para pujangga untuk mengkultuskan raja-raja Kesultanan Mataram sebagai keturunan orang-orang istimewa.
Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang kemudian diangkat sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam mengatur strategi menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.
Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang sebagai pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai anak. Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar sehingga ia pun terkenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar.
Peran Awal
Sayembara menumpas Arya Penangsang tahun 1549 merupakan pengalaman perang pertama bagi Sutawijaya. Ia diajak ayahnya ikut serta dalam rombongan pasukan supaya Hadiwijaya merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala bantuan. Saat itu Sutawijaya masih berusia belasan tahun.
Arya Penangsang adalah Bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto raja terakhir Kesultanan Demak. Ia sendiri akhirnya tewas di tangan Sutawijaya. Akan tetapi sengaja disusun laporan palsu bahwa kematian Arya Penangsang akibat dikeroyok Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi, karena jika Sultan Hadiwijaya sampai mengetahui kisah yang sebenarnya (bahwa pembunuh Bupati Jipang Panolan adalah anak angkatnya sendiri), dikhawatirkan ia akan lupa memberikan hadiah.
Memberontak Terhadap Pajang
Usai sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan menjadi bupati di sana sejak tahun 1549, sedangkan Ki Ageng Pamanahan baru mendapatkan tanah Mataram sejak tahun 1556. Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan tahun 1575, Sutawijaya menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin Mataram, bergelar Senapati Ingalaga (yang artinya “panglima di medan perang”).
Pada tahun 1576 Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil dari Pajang tiba untuk menanyakan kesetiaan Mataram, mengingat Senapati sudah lebih dari setahun tidak menghadap Sultan Hadiwijaya. Senapati saat itu sibuk berkuda di desa Lipura, seolah tidak peduli dengan kedatangan kedua utusan tersebut. Namun kedua pejabat senior itu pandai menjaga perasaan Sultan Hadiwijaya melalui laporan yang mereka susun.
Senapati memang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka. Ia sibuk mengadakan persiapan, baik yang bersifat material ataupun spiritual, misalnya membangun benteng, melatih tentara, sampai menghubungi penguasa Laut Kidul dan Gunung Merapi. Senapati juga berani membelokkan para mantri pamajegan dari Kedu dan Bagelen yang hendak menyetor pajak ke Pajang. Para mantri itu bahkan berhasil dibujuknya sehingga menyatakan sumpah setia kepada Senapati.
Sultan Hadiwijaya resah mendengar kemajuan anak angkatnya. Ia pun mengirim utusan menyelidiki perkembangan Mataram. Yang diutus adalah Arya Pamalad Tuban, Pangeran Benawa, dan Patih Mancanegara. Semuanya dijamu dengan pesta oleh Senapati. Hanya saja sempat terjadi perselisihan antara Raden Rangga (putra sulung Senapati) dengan Arya Pamalad.
Memerdekakan Mataram
Pada tahun 1582 Sultan Hadiwijaya menghukum buang Tumenggung Mayang ke Semarang karena membantu anaknya yang bernama Raden Pabelan, menyusup ke dalam keputrian menggoda Ratu Sekar Kedaton, putri bungsu Sultan. Raden Pabelan sendiri dihukum mati dan mayatnya dibuang ke Sungai Laweyan.
Ibu Pabelan adalah adik Senapati. Maka Senapati pun mengirim para mantri pamajegan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya.
Perbuatan Senapati ini membuat Sultan Hadiwijaya murka. Sultan pun berangkat sendiri memimpin pasukan Pajang menyerbu Mataram. Perang terjadi. Pasukan Pajang dapat dipukul mundur meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak.
Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dalam perjalanan pulang ke Pajang. Ia akhirnya meninggal dunia namun sebelumnya sempat berwasiat agar anak-anaknya jangan ada yang membenci Senapati serta harus tetap memperlakukannya sebagai kakak sulung. Senapati sendiri ikut hadir dalam pemakaman ayah angkatnya itu.
Menjadi Raja
Arya Pangiri adalah menantu Sultan Hadiwijaya yang menjadi adipati Demak. Ia didukung Panembahan Kudus berhasil merebut takhta Pajang pada tahun 1583 dan menyingkirkan Pangeran Benawa menjadi adipati Jipang.
Pangeran Benawa kemudian bersekutu dengan Senapati pada tahun 1586 karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai sangat merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri tertangkap dan dikembalikan ke Demak.
Pangeran Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak. Senapati hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram.
Pangeran Benawa pun diangkat menjadi raja Pajang sampai tahun 1587. Sepeninggalnya, ia berwasiat agar Pajang digabungkan dengan Mataram. Senapati dimintanya menjadi raja. Pajang sendiri kemudian menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Pangeran Gagak Baning, adik Senapati.
Maka sejak itu, Senapati menjadi raja pertama Mataram bergelar Panembahan. Ia tidak mau memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana pemerintahannya terletak di Kotagede.
Memperluas Kekuasaan Mataram
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, daerah-daerah bawahan di Jawa Timur banyak yang melepaskan diri. Persekutuan adipati Jawa Timur tetap dipimpin Surabaya sebagai negeri terkuat. Pasukan mereka berperang melawan pasukan Mataram di Mojokerto namun dapat dipisah utusan Giri Kedaton.
Selain Pajang dan Demak yang sudah dikuasai Mataram, daerah Pati juga sudah tunduk secara damai. Pati saat itu dipimpin Adipati Pragola putra Ki Panjawi. Kakak perempuannya (Ratu Waskitajawi) menjadi permaisuri utama di Mataram. Hal itu membuat Pragola menaruh harapan bahwa Mataram kelak akan dipimpin keturunan kakaknya itu.
Pada tahun 1590 gabungan pasukan Mataram, Pati, Demak, dan Pajang bergerak menyerang Madiun. Adipati Madiun adalah Rangga Jemuna (putra bungsu Sultan Trenggana) yang telah mempersiapkan pasukan besar menghadang penyerangnya. Melalui tipu muslihat cerdik, Madiun berhasil direbut. Rangga Jemuna melarikan diri ke Surabaya, sedangkan putrinya yang bernama Retno Dumilah diambil sebagai istri Senapati.
Pada tahun 1591 terjadi perebutan takhta di Kediri sepeninggal bupatinya. Putra adipati sebelumnya yang bernama Raden Senapati Kediri diusir oleh adipati baru bernama Ratujalu hasil pilihan Surabaya.
Senapati Kediri kemudian diambil sebagai anak angkat Panembahan Senapati Mataram dan dibantu merebut kembali takhta Kediri. Perang berakhir dengan kematian bersama Senapati Kediri melawan Adipati Pesagi (pamannya).
Pada tahun 1595 adipati Pasuruhan berniat tunduk secara damai pada Mataram namun dihalang-halangi panglimanya, yang bernama Rangga Kaniten. Rangga Kaniten dapat dikalahkan Panembahan Senapati dalam sebuah perang tanding. Ia kemudian dibunuh sendiri oleh adipati Pasuruhan, yang kemudian menyatakan tunduk kepada Mataram.
Pada tahun 1600 terjadi pemberontakan Adipati Pragola dari Pati. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Retno Dumilah putri Madiun sebagai permaisuri kedua Senapati. Pasukan Pati berhasil merebut beberapa wilayah sebelah utara Mataram. Perang kemudian terjadi dekat Sungai Dengkeng di mana pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Senapati sendiri berhasil menghancurkan pasukan Pati.
Akhir Pemerintahan
Panembahan Senapati alias Danang Sutawijaya meninggal dunia pada tahun 1601 saat berada di desa Kajenar. Ia kemudian dimakamkan di Kotagede. Putra yang ditunjuk sebagai raja selanjutnya adalah yang lahir dari putri Pati, bernama Mas Jolang.
Kepustakaan
Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu


PERPECAHAN DI JAWA
Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Jawa yang didirikan oleh Sutawijaya, keturunan dari Ki Ageng Pemanahan yang mendapat hadiah sebidang tanah dari raja Pajang, Hadiwijaya, atas jasanya. Kerajaan Mataram pada masa keemasannya dapat menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya termasuk Madura serta meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti wilayah Matraman di Jakarta dan sistem persawahan di Karawang.
Masa Awal
Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton (tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang.
Sultan Agung
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Kerta (Jw. "kertå", maka muncul sebutan pula "Mataram Kerta"). Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I).
Terpecahnya Mataram
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Pleret Bantul (1647), tidak jauh dari Kerta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.
Peristiwa Penting
1558 - Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang.
1577 - Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
1584 - Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar "Ngabehi Loring Pasar" (karena rumahnya di utara pasar).
1587 - Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat.
1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar "Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu (jawa: krapyak).
1613 - Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang. Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman"
1645 - Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
1645 - 1677 - Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang dimanfaatkan oleh VOC.
1677 - Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
1680 - Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura.
1681 - Pangeran Puger diturunkan dari tahta Pleret.
1703 - Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III.
1704 - Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.
1708 - Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai wafatnya pada 1734.
1719 - Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta II (1719-1723).
1726 - Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II.
1742 - Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam pengasingan.
1743 - Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.
1745 - Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton.
1746 - Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta III yang berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
1749 - 11 Desember Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada 1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
1752 - Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
1754 - Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
1755 - 13 Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
1757 - Perpecahan kembali melanda Mataram. R.M. Said diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".
1788 - Susuhunan Paku Buwono III mangkat.
1792 - Sultan Hamengku Buwono I wafat.
1795 - KGPAA Mangku Nagara I meninggal.
1813 - Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
1830 - Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta dan Surakarta dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto dan de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.


WONOGIRI DAN RM SAID
Tanggal 19 Mei 1741 merupakan hari penting bagi Raden Mas Said yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Sambernyawa. Sebab, pada hari itu beliau telah mendirikan pemerintahan sederhana di dusun Nglaroh, Pule, Selogiri. Hari itu tepat pada hari Rabu Kliwon, tanggal 3 Raiul Awal tahun 1666 dengan candra sengkala Roso Retu Ngoyeg Jagad atau bertepatan dengan tanggal 19 Mei 1741 dengan Surya Sangkala Kahutaman Sumebering Giri Linuwih. Pemerintahan di Nglaroh tersebut titik pagkal perjuangan panjang Raden Mas Said melawan pemerintahan kolonial Belanda sampai akhirnya berhasil mendirikan Praja Mangkunegaran dan menjadi Adipati dengan bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Aria Mangkunegoro I.
Pada saat mendirikan pemerintahan bersama para pengikutnya, Pangeran Sambernyawa duduk di atas sebuah batu. Bersama para pengikutnya, Pangeran Sambernyawa mengucapkan ikrar sehidup semati yang terkenal dengan sumpah ’Kawula Gusti’ atau ’Pamoring Kawula Gusti’, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Ikrar tersebut berbunyi ’Tiji Tibeh’, artinya Mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh. Sedangkan pemerintahan bersemboyan pada Tri Darma, yaitu : mulat sarira hangrasa wani, rumangsa melu handarbeni, wajib melu hangkrungkebi.
Pada hari-hari selanjutnya, setiap mengadakan pertemuan dan perundingan dengan para pengikutnya, pangeran Sambernyawa selalu diatas batu terebut. Tempat untuk berunding tersebut nama Ngelar Roh, yang artinya memperluas wilayah dan jiwa (penduduk).
Kata ngelar roh lama-kelamaan berubah menjadi Nglaroh dan sampai sekarang tempat itu dikenal dengan nama dusun Nglaroh. Sedangkan batu tempat Pangeran Sambernyawa duduk itu disebut sebagai watu gilang.
Watu gilang, tersebut dipastikan sebagai titik pangkal perjuangan Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said dan sekaligus titik awal lahirnya pemerintahan Wonogiri. Di tempat tersebut kini didirikan sebuah prasasti yang selain dimaksudkan untuk melestarikan makna sejarah tempat tersebut juga dimaksudkan sebagai penghormatan masyarakat Wonogiri kepada KGPAA Mangkunegoro I atas kepahlawannya dalam usaha melawan ketidak adilan.
Kabupaten Wonogiri yang terkenal dengan sebutan Kota Gaplek, merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang pembentukannya ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah–daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah.
Wonogiri kaya akan wisata ritual, karena menurut sejarahnya wonogiri didirikan oleh RM. Said (Pangeran Sambernyowo/Mangkunegoro I)
Salah satu petilasan RM.Said adalah Dlepih/Khayangan yang terletak di Kecamatan Tirtomoyo kurang lebih 25 Km arak ke selatan Kota Wonogiri, sebagai wisata ritual banyak dikunjungi orang untuk meditasi dan ngalab berkah pada malam Selasa Kliwon dan Jum’at Kliwon. Salah satu petilasan RM. Said adalah Momumen Watu Gilang di Nglaroh Selogiri, sendang Siwani terletak di Kecamatan Selogiri Kurang lebih 5 km arah ke utara kota Wonogiri dan masih banyak petilasan yang lain, sebagai Wisata ritual banyak dikunjungi orang untuk meditasi dan meditasi dan ngalab berkah pada malah Selasa kliwon dan Jum’at Kliwon..

Wisata Ritual lainnya adalah :
- Pemakaman Gunung Giri
- Tempat Pusaka Mangkunegaran
- Sendang Siwani

Banyak keindahan alam yang dimiliki Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri. Selain terkenal dengan wisata spiritual Kahyangan, berbagai potensi ekonomi banyak ditemukan di kecamatan ini. Kecamatan Tirtomoyo menjadi salah satu wilayah berpotensi di Wonogiri. Keadaan alam yang dikelilingi bukit tersebut seakan-akan terbelah menjadi dua. Hal ini karena di tengah-tengah wilayah seluas 9. 301.08 hektare (ha) itu mengalir Sungai Wiroko. Sungai terbesar di daerah tersebut dan menjadi sungai penghidupan masyarakat. Potensi kerajinan yang cukup banyak di wilayah ini menjadi salah satu potensi yang perlu digarap. Keberadaan obyek wisata spiritual Kahyangan, menambah kekayaan potensi di kecamatan ini. Lokasi tersebut selalu disinggahi oleh petinggi daerah dan setiap Bulan Sura digelar wayang kulit semalam suntuk. Guna menarik wisatawan, pengelola obyek wisata di Bulan Sura membuat obor sepanjang jalan masuk. Menurut penuturan beberapa warga stempat, lokasi wisata Kahyangan merupakan tempat bertapa Panembahan Senapati, salah satu leluhur Kerajaan Mataram. Bahkan, menurut kepercayaan masyarakat, air di lokasi tersebut membawa berkah dan menjadi sumber kecantikan atau awet muda saat dibasuhkan ke muka. Lokasi wisata tersebut, boleh dibilang belum optimal difungsikan. Belum banyak wisatawan yang mampir ke lokasi tersebut. Bagi masyarakat sekitar Surakarta, Kahyangan sudah sangat terkenal.
Sejarah berdirinya Kabupaten Wonogiri dimulai dari embriao”kerajaan kecil” di bumi Nglaroh Desa Pule kecamatan Selogiri Di daerah inilah dimulainya penyusunan bentuk organisasi pemerintahan yang masih sangat terbatas dan sangat sederhana, dan dikemudian hari menjadi simbol semangat pemersatu perjuangan rakyat. inisiatif untuk menjadi Wonogiri (Nglaroh) sebagai basis perjuangan Raden Mas Said,adalah dari Rakyat Wonogiri sendiri (Wiradiwangsa) yang kemudian didukung oleh penduduk wonogiri pada saat itu.
Mulai saat itu Nglaroh (Wonogiri)menjadi daerah yang sangat penting, yang melahirkan peristiwa - peristiwa bersejarah di kemudian hari.Tepatnya pada hari rabu kliwon tanggal 3 Rabi’ul awal (Mulud) Tahun Jumakir, Windu Senggoro : 19 Mei 1741 ( Kahutaman Sumbaring Giri Linuwih ), Nglaroh telah menjadi kerajaan kecil yang dikuatkan dengan dibentuknya kepala punggawa dan patih sebagai perlengkap (institusi pemerintah) suatu kerajaan walaupun masih sangat sederhana. Masyarakat Wonogiri dengan pimpinan dengan pemimpin Raden Mas Said selama penjajahan Belanda telah pula menunjukan reaksinya menantang kolonial.
Jerih payah Pangeran Samber Nyowo (Raden Mas Said) ini berakhir dengan hasil sukses terbukti beliau dapat menjadi Adipati di Mangkunegaran dan bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPA) MangkunegoroI. Peristiwa tersebut diteladani hingga sekarang karena berkat sikap dan sifat kahutaman (keberanian dan keluhuran budi ) perjuangan pemimpin, pemuka masyarakat yang selalu didukung semangat kerja sama seluruh rakyat di Wilayah Kabupaten Wonogiri.
Diketemukannya hari jadi Wonogiri pada tanggal 19 mei 1741 akan merupakan sumber kebanggaan sabagai pendorong kemajuan dan pembangunan daerah Wonogiri. Hari jadi itu sendiri sebenarnya merupakan jati diri akan menjadi titik tolak untuk melihat ke masa depan dengan pembangunan yang berkesinambungan dengan berpedoman dapat Stabilitas Undang - undang Koordinasi sasaran Evaluasi dan senmangat juang ( SUKSES ) .

Kutipan Ramalan “Sabdo Palon & Noyo Genggong”
Suatu hari, Darmo Gandhul bertanya kepada Ki Kalamwadi demikian, “Awal mulanya bagaimana sehingga orang Jawa meninggalkan agama Buddha dan masuk agama Islam ?” Ki Kalamwadi lantas bercerita, “Hal ini perlu diketahui, supaya orang yang tidak tahu bisa mengerti.” Pada jaman dahulu negara Majapahit itu namanya negara Majalengka. Adapun nama Majapahit itu, hanya untuk pasemon, tetapi yang belum tahu riwayatnya menganggap bahwa nama Majapahit itu memang sudah namanya sejak semula. Raja Majalengka yang terakhir bernama Prabu Brawijaya.
Waktu itu sang Prabu sedang susah hati. Sang Prabu kawin dengan Putri Cempa, padahal Putri Cempa tadi beragama Islam. Kalau sedang berkasih-kasihan, ia selalu bercerita kepada sang raja tentang keluhuran agama Islam. Setiap bertemu selalu memuji agama Islam sehingga menyebabkan Sang Prabu terpikat dengan agama Islam. Sang Prabu Brawijaya memiliki seorang putra dari istrinya Putri Cina, anak tersebut lahir di di Palembang dan diberi nama Raden Patah. Menurut aturan leluhur dari ayahandanya yang beragama Jawa Buddha, putra raja yang lahir si gunung, namanya adalah Bambang. Jika menurut alur ibu, sesebutannya adalah Kaotiang. Adapun jika orang Arab sebutannya adalah Sayid atau Sarib. Lalu sang Prabu meminta pertimbang sang Patih, menurut sang Patih maka putra sang Prabu tersebut dinamai Bambang, akan tetapi karena ibunya Cina, lebih baik disebut Babah artinya lahir di negara lain.
Negeri Majalengka, pada suatu hari Prabu Brawijaya sedang dihadap Patih serta para madya bala. Patih memberi laporan bahwa baru saja menerima surat dari Tumenggung Kertasana. Isi surat memberi tahu bahwa negeri Kertasan sungainya kering. Sungai yang dari Kediri alirannya menyimpang ke timur. Sebagian surat tadi bunyinya begini, “Disebelah barat laut Kediri, beberapa dusun-dusun rusak. Semua itu terkena sabda ulama dari Arab, namanya Sunan Bonang. Mendengar kata Patih tersebut, Sang Prabu sangat marah. Patih kemudian diutus ke Kertasana, memeriksa keadaan senuanya, penduduk dan hasil bumi yang diterjang air bah ? Serta diperintahkan memanggil Sunan Bonang. Sang Prabu kemudian memerintahkan kepada Patih, orang Arab yang di tanah Jawa diusir pergi, karena membuat kerepotan negara, hanya di Demak dan Ampelgading yang boleh melestarikan agamanya. Selain dua tempat diperintahkan kembali ke negerinya. Jika tidak mau pergi diperintahkan untuk dibunuh, jawab Patih, ” Gusti ! benar perintah Paduka itu, karena ulama Giripura sudah tiga tahun juga tidak menghadap dan tidak mengirim upetti. Mungkin maksudnya hendak menjadi raja sendiri, tidak merasa makan minum di tanah Jawa. Berarti santri Giri hendak melebihi wibawa Paduka. Namanya Sunan Ainul Yakin, itu nama dalam bahasa Arab, artinya Sunan itu budi, Ainal itu makrifat, Yakin itu tahu sendiri. Jadi maknanya tahu dengan pasti. Dalam bahasa Jawa sama dengan kata Prabu Satmata. Itu nama luhur yang hanya dimiliki Yang Maha Kuasa, maha melihat. Di dunia tidak ada duanya nama Prabu Satmata, kecuali hanya Batara Wisnu ketika bertahta di negeri Medang Kasapta.
Mendengar kata Patih, kemudian Sang Prabu memerintahkan untuk memerangi Giri. Orang di Giri geger, tidak kuat menanggulangi amukan prajurit Majapahit. Sunan Giri lari ke Bonang, mencari bantuan kekuatan. Setelah mendapat bantuan , kemudian perang lagi musuh orang Majalengka. Perang ramai sekali, waktu itu tanah Jawa sudah hampir separo yang masuk agama Islam, orang-orang pesisir utara sudah beragama Islam. Adapun yang di selatan masih tetap memakai agama Buddha.
Sunan Bonang sudah mengakui kesalahanya, tidak menghadap ke Majalengka. Maka kemudian pergi dengan Sunan Giri ke Demak. Sesampainya di Demak, kemudian memanggil Adipati Demak, diajak menyerang Majalengka. Kata Sunan Bonang kepada Adipati Demak, ” Ketahuilah, sekarang sudah saatnya Kraton Majalengka hancur, umurnya sudah seratus tiga tahun”. Dari penglihatan gaibku yang kuat menjadi raja tanah Jawa, menggantikan tahta raja hanya kamu. Karena itu hancurkan Kraton Majalengka, tetapi dengan cara halus, jangan sampai kelihatan. Menghadaplah besok Garebeg Maulud, tetapi siapkan senjata perang, nanti kalau semua sudah berkumpul, para sunan dan para bupati dan prajuritnya yang sudah Islam, pasti menurut kepada kamu. Adipati Demak berkata, “Saya takut menyerang negeri Majalengka, karena memusuhi ayah dan rajaku. Apa balasan saya kecuali kesetiaan. Sunan Bonang berkata lagi, “Meskipun musuh ayah dan raja, tidak ada jeleknya, karena itu orang kafir. Kalau membunuh orang kafir Buda kawak, kamu akan mendapatkan ganjaran surga. Sunan Bonang yang sudah dipuji orang sealam semesta, keturunan rasul pemimpin orang Islam semua. Kamu musuh ayah raja, meskipun dosa sekali, hanya dengan satu orang, lagi pula raja kafir. Tetapi bila ayahmu kalah, orang setanah Jawa Islam semua. Yang demikian itu, seberapa pahalamu nanti di hadapan Allah, lipat berkali-kali. Sebenarnya ayahmu itu sia-sia kepada kamu. Buktinya kamu diberi nama Babah, tahu artinya Babah ? Babah itu artinya jorok sekali yaitu saja mati saja hidup, benih Jawa dibawa putri Cina, maka ibumu diberikan kepada Arya Damar, Bupati Palembang, manusia keturunan raksasa. Itu memutuskan tali kasih namanya. Ayahandamu pikirnya tetap tidak baik, maka kuanjurkan balaslah dengan halus, artinya jangan sampai ketahuan. Dalam bathin Sunan Bonang berkata, “Sesaplah darahnya, remuklah tulangnya.”
Singkat cerita, tidak lama kemudian para Sunan dan para Bupati sudah berdatangan semua. Kemudian mereka bermusyawarah untuk memperbesar masjid. Setelah jadi, kemudian mereka melakukan shalat berjamaah di Masjid. Setelah selesai shalat kemudian mereka menutup pintu. Semua orang diberitahu oleh Sunan Bonang, bahwa adipati Demak akan menjadi raja Jawa. Untuk itu Majapahit harus ditaklukkan. Mereka semua terbujuk oleh Sunan Bonang yang sangat piawai berbicara itu. Para sunan dan para Bupati sudah mufakat semua, hanya satu yang tidak sepakat, yaitu Seh Siti Jenar, Sunan Bonang marah, maka Seh Siti Jenar dibunuh. Adapun yang diperintahkan membunuh adalah Sunan Giri. Seh Siti Jenar dipenggal kepalanya hingga tewas. Sebelum Seh Siti Jenar tewas, ia meninggalkan suara, “Ingat-ingat ulama Giri, kamu tidak kubalas di akhirat, tetapi kubalas di dunia saja. Kelak apabila ada raja Jawa bersama orang tua, saat itulah lehermu akan kupenggal.”
Sang Prabu Brawijaya mendengar laporan Patih sangat terkejut, berdiri mematung seperti tugu. Mengapa putranya dan para ulama datang hendak merusak negara. Sang patih juga tidak habis mengerti, karena tidak masuk akal orang diberi kebaikan kok membalas kejahatan. Semestinya mereka membalas kebaikan juga, Ki patih tak habis berpikir.
Singkat cerita, setelah pasukan Majapahit dipukul mundur oleh pasukan yang dipimpin adipati Demak Raden Patah yang juga Putra Prabu Brawijaya, para ulama dan para bupati, kemudian perjalanan Prabu Brawijaya sampai di Blambangan, karena merasa lelah kemudian berhenti dipinggir mata air. Waktu itu pikiran Sang Prabu benar-benar gelap. Yang dihadapannya hanya dua abdi dalem, yaitu Noyo Genggong dan Sabdo Palon. Kedua abdi tadi tidak pernah bercanda, dan memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi. Sabdo Palon ? Sabda artinya kata-kata, Palon kayu pengancing kandang. Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi bicara hamba itu, bisa untuk pedoman orang tanah Jawa, langgeng selamanya.
Tidak lama kemudian Sunan Kalijaga berhasil ketemu dengan sang Prabu diperjalanan, lalu Sunan Kalijaga bersujud menyembah di kaki Sang Prabu. Sang Prabu kemudian bertanya kepada Sunan Kalijaga, “Sahid ! Kamu datang ada apa ? Apa perlunya mengikuti aku ?” Sunan Kalijaga berkata, “Hamba diutus paduka untuk mencari dan menghaturkan sembah sujud kepada paduka di manapun bertemu. Beliau memohon ampun atas kekhilafannya sampai lancang berani merebut tahta paduka, karena terlena oleh darah mudanya yang tidak tahu tata krama ingin menduduki tahta memerintahkan negeri, disembah para bupati. Sang Prabu Brawijaya bersabda, ” Aku sudah dengar kata-katamu, sahid ! Tetapi tidak aku gagas ! Aku sudah muak bicara dengan santri ! Mereka bicara dngan mata tujuh, lamis semua, maka blero matanya ! Menunduk di muka tetapi memukul di belakang. Kata-katanya hanya manis di bibir, batinnya meraup pasir ditaburkan ke mata, agar buta mataku ini. Setelah mendengar sabda Prabu demikian, Sunan Kalijaga merasa bersalah karena ikut menyerang Majapahit. Ia menarik nafas dalam dan sangat menyesal. Sang Prabu Brawijaya berkata, “Sekarang aku akan ke pulau Bali, bertemu dengan yayi Prabu Dewa Agung di Klungkung. Aku akan beri tahu tingkah Si Raden Patah, menyia-nyiakan orang tua tanpa dosa, dan hendak kuminta menggalang para raja sekitar Jawa untuk mengambil kembali tahta Majapahit. Sunan Kalijaga sangat prihatin, ia berkata dalam hati, “Tidak salah dengan dugaan Nyai Ageng Ampelgading, bahwa Eyang Bungkuk masih gagah mengangkangi negara, tidak tahu diri, kulit kisut punggung wungkuk. Jika beliau dibiarkan sampai menyeberang ke Pulau Bali, pasti akan ada perang besar dan pasukan Demak pasti tidakkalah karena dalam posisi salah, memusuhi raja dan bapa, ketiga pemberi anugrah. Sudah pasti orang Jawa yang belum Islam akan membela raja tua, bersiaga mengangkat senjata. Pasti akan kalah orang islam tertumpas dalam peperangan. Mendengar kemarahan sang Prabu yang tak tertahankan, Sunan Kalijaga merasa tidak bisa meredakan lagi, maka kemudian beliau menyembah kaki sang Prabu sambil menyerahkan senjata kerisnya dengan berkata, apabila sang Prabu tidak bersedia mengikuti sarannya, maka ia mohon agar dibunuh saja, karena akan malu mengetahui peristiwa menjijikan ini. Sang Prabu mengeluh kepada Sunan Kalijaga, “Coba pikirkan Sahid ! Alangkah sedih hatiku, orang sudah tua renta, lemah tak berdaya kok akan direndam dalam air”. Suanan Kalijaga memendam senyum dan berkata, “Mustahil jika demikian, besok hamba yang tanggung, hamba yakin tidak akan tega putra paduka memperlakukan sia-sia kepada paduka. Akan halnya masalah agama hanya terserah sekehendak paduka, namun lebih baik jika paduka berkenan berganti syariat Rasul, dan mengucapkan asma Allah. Akan tetapi jika paduka tidak berkenan itu tidak masalah, toh hanya soal agama. Pedoman orang Islam itu syahadat, meskipun salat dingklak-dingkluk jika belum paham syahadat itu juga tetap kafir namanya.
Akhirnya setelah Sunan Kalijaga berkata banyak-banyak sampai Prabu Brawijaya berkenan pindah agama Islam, setelah itu minta potong rambut kepada Sunan Kalijaga, akan tetapi rambutnya tidak mempan dipotong, Sunan Kalijaga lantas berkata, Sang Prabu dimohon Islam Lahir bathin, karena apabila hanya lahir saja, rambutnya tidak mempan digunting. Sang Prabu kemudian berkata kalau sudah lahir bathin, maka rambutnya bisa dipotong. Sang Prabu setelah potong rambut kemudian berkata kepada Sabdo Palon dan Noyo Genggong, “Kamu berdua keberi tahu mulai hari ini aku meninggalkan agama Buddha dan memeluk agama Islam. Aku sudah menyebut nama Allah yang sejati. Kalau kalian mau, kalian berdua kuajak pindah agama Rasul dan meninggalkan agama Buddha. Lalu Sado Palon berkata sedih, ” Hamba ini Ratu Dang Hyang yang menjaga tanah Jawa, siapa yang bertahta, mejdi asuhan hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, terun-temurun sampai sekarang. Hamba mengasuh penurun raja-raja Jawa. Hamba jika tidur sampai 200 tahun. Selama hamba tidur selalu ada peperangan saudara musuh saudara, yang nakal membunuh manusia bangsanya sendiri. Sampai sekarang ini umur hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, sejak pertama menepati agama Buddha. Baru paduka yang berani meninggalkan pedoman luhur Jawa. Kalau hanya ikut-ikutan akan membuat celaka muksa paduka kelak, kata Wikuutama disambut halilintar bersahutan. Prabu Brawijaya disindir oleh Dewata karena mau masuk agama Islam, yaitu dengan perwujudan keadaan di dunia ditambah tiga hal : (1) rumput Jawan, (2) padi Randanunut, dan (3) padi Mriyi. Sang Prabu bertanya, “Bagaimana niatmu, mau apa tidak meninggalkan agama Buddha masuk agama Rasul, lalu menyebut Nabi Muhammad Rasulallah dan nama Allah yang sejati !”. Sabdo Palon berkata sedih, ” Paduka masukllah sendiri, hamba tidak tega melihat watak sia-sia, seperti manusia Arab itu, menginjak-nginjak hukum, menginjak-nginjak tatanan. Jika hamba pindah agama, pasti akan celaka muksa hamba kelak. Yang mengatakan mulia itu kan orang Arab dan orang Islam semua, memuji diri sendiri. Kalau hamba mengatakan kurang ajar, memuji kebaikan tetangga mencelakai diri sendiri. Hamba suka agama lama menyebutkan Dewa Yang Maha Lebih. Sang Prabu berkata lagi, “Aku akan kembali kepada yang suwung, kekosongan ketika aku belum maujud apa-apa, demikianlah tujuan kematianku kelak”. “Itu matinya manusia tak berguna, tidak punya iman dan ilmu, ketika hidup seperti hewan, hanya makan minum dan tidur. Demikian itu hanya bisa gemuk kaya daging. Penting minum dan kencing saja, hilang makna hidup dalam mati”. Sang prabu berkata,”Aku akan muksa dengan ragaku”. Sabdo Palon tersenyum, ” Kalau orang Islam terang tidak bisa muksa, tidak mampu meringkas makan badannya, gemuk kebanyakkan daging. Manusia mati muksa itu celaka, karena mati tetapi tidak meninggalkan jasad. Sang Prabu, ” Keinginanku kembali ke akhirat, masuk surga menghadap Yang Maha Kuasa”. Sabdo Palon berkata, “Akhirat, surga, sudah paduka bawa kemana-mana, dunia manusia itu sudah menguasai alam kecil dalam besar. Paduka akan pergi ke akhirat mana, nanti tersesat lho ! Bila mau hamba ingatkan jangan sampai paduka mendapatkan kemelaratan seperti pengalidan negara. Jika salah menjawab tentu dihukum, ditangkap, dipaksa kerja berat dan tanpa menerima upah. Masuk akhirat Nusa Srenggi. Nusa artinya Manusia, Sreng artinya berat sekali, Enggi artinya kerja. Jadi maknanya manusia dipaksa bekerja untuk Ratu Nusa Srenggi, Apa tidak celaka ! Paduka jangan sampai pulang akhirat, jangan sampai masuk surga, malah tersesat, banyak binatang mengganggu, semua tidur berselimut tanah, hidupnya bekerja dengan paksaan, paduka jangan sampai menghadap Gusti Allah, karena Gusti Allah itu tidak berwujud tidak berbentuk. Wujudnya hanya asma, meliputi dunia dan akhirat, paduka belum kenal, kenalnya hanya seperti kenalnya cahaya bintang dan rembulan. Saya tidak tahan dekat apalagi paduka, Kangjeng Nabi musa toh tidak tahan melihat Gusti Allah, maka Allah tidak kelihatan hanya Dzatnya yang meliputi semua mahluk. Paduka bibit ruhani bukan malaikat, manusia raganya berasal dari nutfah menghadap Hyang Lata wal Hujwa, jika sudah lama minta yang baru tidak bolak-balik, itulah hidup-mati.
Sang Prabu bertanya, “Dimana Tuhan yang Sejati ?”. Sabdo Palon berkata, “Tidak jauh tidak dekat, Paduka bayangannya, paduka wujud sifat suksma, sejatinya tunggal budi, hawa, dan badan. Tiga-tiganya itu satu, tidak terpisahkan, tetapi juga tidak berkumpul. Paduka itu raja mulia tentu tidak akan khilaf kepada kata-kata hamba ini”. “Apa kamu tidak mau masuk agama Islam ?” Sabdo Palon berkata sedih, “Ikut agama lama, kepada agama baru tidak !! Kenapa Paduka berganti agama tidak bertanya hamba ? Apakah Paduka lupa nama hamba Sabdo Palon ! “Bagimana ini, aku sudah terlanjur masuk agama Islam, sudah disaksikan Sahid, aku tidak boleh kembali kepada agama Buddha lagi, aku malu apabila ditertawakan bumi dan langit “. “Iya sudah, silakan Paduka jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikutan, kata Sabdo Palon kepada Prabu Brawijaya.
Sang Prabu mendengar kata-kata Sabdo Palon dalam batin merasa sangat menyesal karena telah memeluk agama Islam dan meninggalkan agama Buddha. Lama beliau tidak berkata, kemudian ia menjelaskan bahwa masuknya agama Islam itu karena terpikat kata Putri Cempa, yang mengatakan bahwa agama Islam itu kelak apabila mati, masuk surga yang melebihi surganya orang kafir. Sado Palon berkata sambil meludah, ” Sejak jaman kuno,bila laki-laki menurut perempuan, pasti sengsara, karena perempuan itu utamanya wadah, tidak berwewenang memulai kehendak”. Sabdo Palon banyak-banyak mencaci kepada Sang Prabu. Sabdo Palon berkata bahwa dirinya akan memisahkan diri dengan beliau. Ketika ditanya perginya akan kemana ? Ia menjawab tidak pergi, tetapi tidak berada disitu, hanya menepati yang namanya Semar, artinya meliputi sekalian wujud, anglela kalingan padang. Sang Prabu bersumpah, besok apabila ada orang Jawa tua berpengetahuan, yaitulah yang akan diasuh Sabdo Palon. Orang Jawa akan diajari tahu benar salah. Sang Prabu hendak merangkul Sabdo Palon dan Noyo Genggong, tetapi dua orang tadi kemudian musnah.
Sang Prabu menyesal dan meneteskan air matanya, kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga, “Besuk negara Blambangan gantilah dengan nama negara Banyuwangi agar menjadi pertanda kembalinya Sabdi Palon ke Tanah Jawa membawa asuhannya. Adapun kini Sabdo Palon masih dalam alam gaib.
Sejak jaman kuno belum pernah ada kerajaan besar seperti Majapahit hancur dengan disengat tawon serta digerogotin tikus saja, dan bubarkan orang sekerejaan hanya dengan karena disantet demit. Hancurnya Majapahit suaranya menggelegar, terdengar sampai ke negara mana-mana. Kehancurannya tersebut karena diserang oleh anaknya sendiri dibantu yaitu wali delapan atau sunan delapan yang disujudi orang Jawa. Sembilannya Adipati Demak, mereka semua memberontak dengan licik.
Ramalan Sabdo Palon & Noyo Genggong
1.
Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad tentang negara Mojopahit. Waktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh Punakawannya yang bernama Sabda Palon Naya Genggong.
2.
Prabu Brawijaya berkata lemah lembut kepada punakawannya: “Sabda Palon sekarang saya sudah menjadi Islam. Bagaimanakah kamu? Lebih baik ikut Islam sekali, sebuah agama suci dan baik.”
3.
Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.
4.
Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Budha lagi (maksudnya Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah Jawa.
5.
Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.
6.
Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widhi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.
7.
Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.
8.
Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.
9.
Bermacam-macam bahaya yang membuat tanah Jawa rusak. Orang yang bekerja hasilnya tidak mencukupi. Para priyayi banyak yang susah hatinya. Saudagar selalu menderita rugi. Orang bekerja hasilnya tidak seberapa. Orang tanipun demikian juga. Penghasilannya banyak yang hilang di hutan.
10.
Bumi sudah berkurang hasilnya. Banyak hama yang menyerang. Kayupun banyak yang hilang dicuri. Timbullah kerusakan hebat sebab orang berebutan. Benar-benar rusak moral manusia. Bila hujan gerimis banyak maling tapi siang hari banyak begal.
11.
Manusia bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan. Mereka tidak mengingat aturan negara sebab tidak tahan menahan keroncongannya perut. Hal tersebut berjalan disusul datangnya musibah pagebluk yang luar biasa. Penyakit tersebar merata di tanah Jawa. Bagaikan pagi sakit sorenya telah meninggal dunia.
12.
Bahaya penyakit luar biasa. Di sana-sini banyak orang mati. Hujan tidak tepat waktunya. Angin besar menerjang sehingga pohon-pohon roboh semuanya. Sungai meluap banjir sehingga bila dilihat persis lautan pasang.
13.
Seperti lautan meluap airnya naik ke daratan. Merusakkan kanan kiri. Kayu-kayu banyak yang hanyut. Yang hidup di pinggir sungai terbawa sampai ke laut. Batu-batu besarpun terhanyut dengan gemuruh suaranya.
14.
Gunung-gunung besar bergelegar menakutkan. Lahar meluap ke kanan serta ke kiri sehingga menghancurkan desa dan hutan. Manusia banyak yang meninggal sedangkan kerbau dan sapi habis sama sekali. Hancur lebur tidak ada yang tertinggal sedikitpun.
15.
Gempa bumi tujuh kali sehari, sehingga membuat susahnya manusia. Tanahpun menganga. Muncullah brekasakan yang menyeret manusia ke dalam tanah. Manusia-manusia mengaduh di sana-sini, banyak yang sakit. Penyakitpun rupa-rupa. Banyak yang tidak dapat sembuh. Kebanyakan mereka meninggal dunia.
16.Demikianlah kata-kata Sabda Palon yang segera menghilang sebentar tidak tampak lagi diriya. Kembali ke alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak. Sama sekali tidak dapat berbicara. Hatinya kecewa sekali dan merasa salah. Namun bagaimana lagi, segala itu sudah menjadi kodrat yang tidak mungkin diubahnya lagi.

Rabu, 04 Maret 2009

Berita terakhir "Han Gagas"

Novel Han Gagas alias Rudy Hantoro dalam proses diterbitkan oleh Penerbit LKiS Jogja. Mohon doanya. Kini, penulis yang pernah menjadi pewawancara Buletin Pawonsastra ini sedang mengumpulkan bahan untuk karya berikutnya. Bahan itu adalah tulisan-tulisan tentang ritual pengasihan, pesugihan, pokoknya yang ghaib dan mistik. Ayo siapa punya, tolong kontak dan pinjami, nanti akan mendapat imbalan sepantasnya. O, ya yang pernah diwawancarai untuk dijadikan profil Buletin Pawonsastra antara lain: Dwicipta, Abidah el Khalieqy, Sanie B Kuncoro, dan Evi Idawati. Begitu.