Selasa, 26 Agustus 2008

Isebel

Cerpen : Abednego Afriadi

22.00 WIB : Oooo…oooo…letakkan senjata!

Sudah satu jam, tangan kanan Supran menggenggam sebilah belati. Nafasnya berhembus tak teratur. Meski berbatang-batang rokok telah habis dihisapnya. Kedua kakinya masih dirasakannya gemetaran, meski beberapa detik sempat kembali berdiri tenang. Apa yang dinantikan? Hanya sebuah pertikaian. Ia ingin pertikaian itu lekas selesai dengan jawaban siapa yang kalah dan menang. Agar amarah itu tak berkecamuk merambatkan akar sakit penyakit.
***
Seorang yang ditunggu-tunggu tak juga datang. Hingga ia terpaksa duduk terpaku duduk di atas drum usang berkarat. Sambil terus berjaga-jaga. Siapa tahu, orang yang ditunggunya berjam-jam, tiba-tiba menikamnya dari belakang. Jadi terlalu singkat, tak ada saat-saat yang mendebarkan, pikirnya. Sambil menatap setiap kegelapan sudut gang buntu itu, Supran menutup kancing jaket kulit yang sempat terbuka, seperti menantang benda tajam yang suatu saat tiba-tiba menembus perutnya hingga memuncratkan darah segar.

Beberapa kelelawar nampak menyebar, usai suara tembak bergema. Supran tiba-tiba saja turun dari tong, dan menunduk. Kakinya sengaja ia posisikan kuda-kuda beladiri. Busyet! Bikin jantungan saja!, pikirnya. Nafasnya kembali memburu. Ia berjalan mengendap menuju pertigaan gang, tempat transaksi para pengedar. Tak ada langkah terdengar sekali pun, kecuali kakinya sendiri yang menginjak kerikil, sampah, atau sepasang kecoa yang sedang asyik bercumbu di tanah yang sering dikencingi para pemabuk.

“Mampus kau!” teriak Supran mengangkat tubuhnya sendiri lantas mengibas-kibaskan belati tak tentu arah, “Heit. Ciat-ciat-ciat!!!”

Malam kembali senyap usai gema suaranya terpantul.

Ah, tak ada gunanya berjaga-jaga. Sedari tadi, orang itu juga tidak datang, pikirnya. Supran lantas kembali duduk di atas drum bekas penyimpanan minyak tanah itu. Kesunyian berangsur terpecah ketika mobil-mobil mengkilap melintas di pertigaan menuju Cafe Tompel yang kira-kira masih enam puluh meter lagi di tempuh.

“Hei Supran! Apa yang kau lakukan? Suprankah itu?”

Supran mendelikkan matanya, lantas mendekati pria berbadan tambun itu seraya mengendap-endap, nyaris menghentikan suara langkahnya. Namun Supran tak sadar, kedua matanya memantulkan kilap dari sedikit cahaya, entah dari mana asalnya. Pria berbadan tambun itu masih menatap ujung gang buntu dengan raut muka keheranan,

“Supran kau kah itu? Kau dicari orang! Eh, maaf, tapi apa benar kau Supran! Maaf kalau aku salah. Terima kasih!” tukas pria tambun itu lalu berjalan menuju cafe, tak menghiraukan Supran.

Suara degup musik dari cafe sayup sayup terdengar. Terkadang terdengar serempak dengan teriak para perempuan ketika beberapa tamu bergiliran masuk. Pintu sedikit terbuka, hingga keramaian pesta terdengar semakin nyaring.

Pertengkaran itu berawal saat Isebel mendatanginya. Meminta tanggung jawab. Sejak itu Supran memang telah bersumpah, tak kan membiarkan Isebel hidup. Juga dengan orang-orang sekitarnya. Ia ingin mereka mati.

“Ternyata sudah terlambat dua bulan, Pran,”
“Apa buktinya? Bukankah kita selalu mamakai kontrasepsi?”
“Apa kau bilang? Kau kejam, Pran!”
“Kau yang lebih kejam. Kau menipuku! Kau mengaku masih single. Tak tahunya bersuami dua.”
“Aku berhak bersuami dua. Aku tidak puas jika hanya satu. Aku ingin mereka menjadi mayat setelah belatung-belatung dalam rahimku ini menggerogoti pelir mereka.”
“Menjijikkan! Hei, hei, hei aku tak akan bisa ngelantur. Kau belum jawab pertanyaanku, sedangkan kau menuduhku kejam. Ah tidak nyambung sama sekali. Tolol!” gerutunya menyentuh kasar kepala Isebel hingga hampir terjatuh.

Malam ini bukan hanya Isebel yang ia tantang, namun juga yang lain, termasuk teman-temannya. Bahkan pria berbadan tambun tadi.

“Heh…Gendut! Anjing! Kecoa! Ke sini kau?” teriak Supran dari kejauhan sambil masih menenteng sebilah belati yang siap dikibaskan ke arah leher lelaki itu.
“Ah, kau ini gimana? Bukankah tadi aku sudah menawarkan pertemuan? Tapi kau tak menjawab!”
“Sini cepat!” teriak Supran hingga menggema suaranya sedikit pas jika diiringi musik mesin di Cafe Tompel.
“Bangsat! Jangan kau panggil dengan teriakkan! Aku bisa membunuhmu!”
“Enyahlah kau dari bumi!”
“Bukan kau saja yang bisa membunuh. Aku juga bisa!” jawab pria tambun tadi dengan wajah sinis, sambil berdiri tegak menyingsingkan lengan jaket kulitnya. Jari-jarinya terdengar bergemelutuk menggenggam erat, siap meremukkan tulang-tulang muka Supran.

Mata Supran semakin melotot ingin keluar dari kelopaknya. Ia ingin menikam perut lelaki itu hingga usus dan jeroan lainnya terburai keluar.

Lelaki itu berjalan lebih cepat mendekati Supran, sedangkan Supran hanya berdiri tenang siap dengan kuda-kuda sambil menyembunyikan belatinya di kantong jaket. Yah kegelapan yang menguntungkan bagi Supran, sebab mata lelaki itu tak mungkin bisa melihat belati yang ia sembunyikan. Ia siap menusuk-nusuk tubuhnya hingga semua cairan tubuhnya terkuras dan kembali kusut.

Namun langkah lelaki itu tiba-tiba terhenti. Ia berusaha mengatur nafasnya yang mengalir deras. Berkali-kali ia mengdongakkan muka sambil menghela nafasnya. Jenggotnya nampak panjang berantakan.

“Hah…aku memang sudah tidak lama menghabisi nyawa orang sejak revolusi. Tapi aku tak ingin mengulanginya. Sebab aku ingin berubah. Dan jangan paksa aku membunuhmu. Jangan pikir aku akan meremukkan tulang-tulangmu yang dililit kulit itu!” tukusanya dengan nada geram.
“Tinggi besar tapi pengecut!”
“Terserah! Aku sudah bosan, bahkan kebal dengan hinaan semacam itu!”
“Yah, tapi kau belum kebal dengan segal macam yang dapat mencabut nyawamu!”
“Ha..ha..ha.. Izrail saja tak pernah diutus mencabut nyawaku,” jawab pria itu, lalu pergi tanpa menoleh menuju cafe. Mungkin tubuhnya sudah gatal tak kuasa menahan diri ingin berjingkrak-jingkrak seperti kesurupan dan menenggak berbotol-botol miras, seraya mengucapkan sumpah serapah, caci maki, dan ancaman-ancaman.

Supran menghela nafasnya. Ia semakin ingin menikam punggung lelaki itu dari belakang. Ah pengecut benar jika kulakukan, pikirnya.

Membosankan, harusnya aku cari Isebel. Aku ingin paksa ia melahirkan sekarang. Bayi dua bulan itu harusnya enyah dari dunia ini, pikirnya lagi sambil meremas rambutnya yang ikal panjang berantakan. Aku ingn tahu, siapa ayah bayi itu? Apakah benar-benar dariku. Aku masih curiga, jangan-jangan dari suami lainnya. Dan aku hanya dijadikan lemparan tanggung jawab. Sumpah aku bisa bertanggung jawab mengurus bayi itu jika Isebel dan kedua suaminya tewas terlindas kereta api atau aku tikam satu persatu leher mereka.

“Isebeeellllllllllllll!!!!!!!!” teriak Supran. Namun mesin mobil mengkilap yang melintas lebih keras menderu. “Sumpah, aku akan membunuhmu. Aku akan menikammu sekarang juga! Jangan mengiba! Jangan berlagak kasihan di mataku. Aku tahu! Aku tahu! Semua itu jebakan! Semua itu tipu muslihat!”

Setan alas! Kurang keras juga suaraku, katanya dalam hati. Mukanya mendongak ke atas. Ia menatap tangga besi yang masih kokoh berdiri di sebuah rumah bertingkat tanpa penghuni. Mungkin masih ada atap, pikirnya lagi. Lantas ia mendaki tangga itu. Sampai di atap, ia menepuk-nepuk, menghilangkan karat tangga yang menempel di kedua tangannya.

“Isebellllllllllll!!!!!!!!!!!” teriak Supran ke berbagai penjuru mata angin. Seorang perempuan penghuni apartemen, nampak membuka jendela dan mencari teriakan Supran. Namun kembali menutupnya.
“Isebelllll!!!!!!!”

Lampu-lampu gedung masih menyala. Bahkan sebagian perkantoran belum tutup. Mata Supran memandang sekeliling kota itu. Sesaat ia tertegun melihat mercusuar yang berputar-putar menyiramkan cahaya. Pandangan matanya tanpa sengaja berhenti di sebuah gedung olahraga. Dadanya berdesir. Ia semakin teringat pertemuan teakhirnya dengan Isebel di gedung itu. Ia tak kuasa membendung air matanya. Supran semakin sadar, tak mungkin pertengkaran itu berlanjut.

Petikan gitar seorang pemabuk di Garden Music Cafe sayup-sayup terdengar menyaingi deru musik di Cafe Tompel yang berhenti saat rasia polisi digelar. Oh, iya, bukankah Isebel telah mati? Aku lupa. Aku saksikan ia menari dalam dunia mimpi. Isebel memang mati dan tak pernah ada di dunia ini. Yang ada hanyalah aku sendiri dan foto-foto telanjang tertempel di kamarku.

23:45 WIB: Tubuh Supran lunglai. Betapa dendam itu masih bergemuruh, meski malam ini mulai berangsur reda. Mimpi itu terlalu kejam memang. Suara serak basah para pemabuk masih terngiang, diiringi petikan melodi gitar elektrik yang meliuk-liuk. Irama blues terasa seirama dengan hembusan angin, serta barisan lampu-lampu kota dan pulau seberang. Mereka melantunkan syair,

Oo..oooo..oooo…letakkan senjatamu!
heheheeeenntiiikkaaan…o hentikan perang…..
mari kita…. mari kita…. mari kita….
bermaen mussseekkkk…

Supran menuruni tangga, dan keluar dari gang buntu. Ia lempar sebilah belati di tembok usang yang berisi coretan-coretan. Dari belakang, sepasang tangan kekar dengan cepat memegang erat kedua tangannya, lantas mengikatnya dengan borgol.

Sayup-sayup nyanyian baru para pemabuk berganti. Suaranya terdengar jelas, namun kadang lirih, mengikuti hembusan angin malam.

When a man love a woman...
***

dimuat di www.ceritanet.com Edisi Merah Putih 162

Minggu, 24 Agustus 2008

Surat Kaleng

Cerpen : Abednego Afriadi
“Kosong lagi,” keluh Bapak membuka sepucuk surat kosong tanpa nama pengirim. Sudah tujuh hari ini kami mendapat kiriman serupa. Beramplop putih polos, tanpa segurat pun tertulis nama pengirim. Setiap pagi tiba-tiba sudah terselip di bawah pintu, menyisakan aroma sewangi melati. “Pasti ada seseorang yang mengantarnya karena tukang pos baru datang setidaknya sekitar jam sembilan. Apalagi tidak ada bekas stempel cap pos atau paket kiriman tertentu,” kata Bapak.
Ternyata bukan hanya kami yang setiap pagi menerima surat itu. Semua rumah di RT 5 RW 9 Perumahan Surga Permai menerimanya setiap pagi.
“Kalau memang benar melompat pagar, berarti sudah keterlaluan!” geram salah satu warga saat rapat di rumah Pak RT.
“Apa perlu sewa satu satpam lagi untuk jaga malam sampai pagi?” usul yang lain.
“Iuran bulanan untuk satpam pagi saja sebagian nunggak setengah tahun, bahkan setahun. Lalu siapa yang akan nombok?” sanggah Pak RT.
“Apa mungkin Pak Sugiarto terus-terusan menutup kekurangan gaji satpam?”
Karena itu semua sepakat diadakan jadwal ronda sampai subuh, meskipun dengan resiko tak kuat menahan kantuk di tempat kerja. Semua harus berkorban hanya untuk mengetahui siapa pengirim surat kaleng itu, sekaligus menghindari prasangka buruk terhadap kampung sebelah yang dianggap sebagai kampungya pemabuk, pengamen, pencuri, perampok, kecu, dan setengah lokalisasi. Di kampung itu tinggal nama-nama yang mentereng di lembaran berita-berita kriminal kota. Mereka adalah Atmo Gelek, Priyo Tuwek, Bambang Subogel, Bah Gentong, Kastoyo Klewang, Wiyoto Pacul, Glempo, Glendoh dan Suradji Bacok. Itu belum yang kebal senapan dan hukuman.
Sudah dua hari ronda semalam suntuk berjalan, namun sepucuk surat tiba-tiba sudah terselip di bawah pintu begitu kami pulang.
“Jangan-jangan ini teror dari mereka?” kata Bapak ”Sejak pindah di perumahan ini, gelagat mereka mengisyaratkan yang tidak baik!” tukas Bapak beralan menuju arah kampung sebelah. Ibu melarangnya dengan alasan di kampung sebelah ada kembang kampung yang terkenal dengan goyangan syurnya jika berada di atas panggung dangdut, namanya Surejeb. Bapak membatalkan niatnya, tapi diam-diam ke kampung itu saat Ibu tertidur.
Paginya Ibu marah-marah. “Ternyata kamu nekat juga, Pak!” katanya sembari membanting daun pintu, lalu menguncinya agar Bapak tidak bisa masuk rumah. “Sudah, pulang saja ke rumah Surejeb!”
“Tidak!” bentak bapak sembari menggedor pintu. “Semalam aku ketemu seseorang yang ini sering mendatangi rumah-rumah. Tak peduli, miskin, janda, duda, tua, muda, jejaka, atau perawan!”
Mendengar Bapak membentak, Ibu sedikit ketakutan.
“Benar dugaanku Kiai Suluk yang mengirimkan surat-surat itu!” jawab Bapak lalu ke kamar dengan nafas tersengal-sengal.
Ibu dan aku setengah tidak percaya dengan pengakuan Bapak. Bisa jadi, itu alasan kuat agar kami percaya bahwa Bapak ke kampung sebelah tidak untuk menyaksikan goyangan dangdut Surejeb. Nama yang asing bagi kami. Kiai Suluk? Itu pasti hanya karangan Bapak. Aku sedikit curiga, jangan-jangan surat-surat kosong itu, Bapak sendiri yang memasang untuk mengelabuhi Ibu. Hanya demi menonton goyangan seronok saja harus mengorbankan orang sekampung?
Sisa letih ronda semalam suntuk masih terasa meski siangnya kuhabiskan waktu terlelap di kamar. Malam ini kurebahkan lagi tubuhku, hingga seorang bersorban putih menghampiriku kian dekat. Semakin jelas keriput wajahnya. Semakin silau rambut, jenggot dan cambangnya yang putih memerak. Mungkin benar kata Bapak, malam ini giliran aku yang di hampiri Kiai Suluk. Diserahkannya selembar kertas usang padaku dengan isyarat wajahnya supaya aku membacanya. Tapi kulihat tidak ada secoret pun tulisan darinya.
“Maaf Kiai, saya tidak menemukan tulisan Kiai!”
“Jangan malas berpikir!” gertaknya lalu pergi menghilang ditelan beragam mimpi yang berkecamuk dalam tidurku yang lelap.
Aku terbangun tepat pukul dua belas malam. Tubuh serasa letih dan enggan digerakkan. Pelipis seperti diikat karet. Aku minum setengah gelas teh hangat di meja ruang tamu. Sepi begitu menyeruap. Tak nampak seorang pun di rumah ini, bahkan di gardu pos ronda. Purnama begitu jelas tersenyum dari balik dedaunan pohon mahoni. Langit di atas kampung sebelah memerah. Gumpalan asap tercium begitu menyesakkan. “Kebakaraaaannn…toloongggg….,” teriakan bersahut-sahutan dengan bunyi kentongan itu memaksaku berlari menuju kampung sebelah.
Ditengah hiruk pikuk para pengungsi aku coba mencari Kiai Suluk. Siapa tahu berada di antara para pengungsi, pemadam kebakaran, atau rumah-rumah yang hangus terbakar? Aku ingin bertemu dengannya, sebagaimana mimpiku semalam. Pertanda apalagi yang akan disampaikan padaku?
Solo, 1 Agustus 2008

dimuat di Solopos, 24 Agustus 2008

Sabtu, 26 Juli 2008

Sabtu, 12 Juli 2008

Mata Penambang Pasir

Mata penambang pasir

Oleh : Abednego Afriadi

Pulau di tengah sungai itu rimbun. Lautan daun nampak merapat melambai-lambai ditiup angin. Kira-kira seluas 30 hektar, pulau itu berjarak sekitar 30 meter dari bantaran sungai, tempat kami tinggal sepuluh tahun lalu. Lautan jingga di atap langit menyemburat bagai lukisan hidup yang menaungi tanah tempat kaki berpijak. Adzan Magrib melintas sayup-sayup bersahutan.

Aku menunggu suara Sukro yang kata orang-orang sekitar masih sering tertawa bermain tembak-tembakan. Aku hanya terjerembab dalam kengungunan saat para penambang pasir liar dari desa seberang sungai satu-persatu meninggalkan bantaran pada bulan ini mulai kering. Padas-padas berukirkan rumah binatang air memandang dingin sampah-sampah yang mengalir serta hitam pekatnya warna air sungai.

Seorang penambang pasir lantas menghampiriku setelah mengikat tali rakit di tepi sungai. Dia memandangku dengan ekspresi sinis. Tubuhnya gemuk, kulitnya berwarna hitam seperti bekas sengatan terik siang bolong. Mata kanannya lebih kecil dari mata kirinya. “Ada apa?” ia bertanya, “Apakah tidak ada kerjaan selain berdiri di tepi sungai?”

“Apakah di pulau itu sekarang masih dipakai anak-anak bermain?”

“Jangan tanyakan itu lagi! Pulau itu sudah digusur. Jangan membuka luka lama kami!” serunya, “Suara anak kecil bermain itu karena trauma, jadi kata orang-orang yang pernah tinggal di bantaran ini terbayang-bayang terus bocah yang dulu pernah tewas di pulau itu.”

“Bagaimana dengan bangunan sarang wallet itu Pak?”

Orang itu malah mendorongku, hingga tubuhku terjongkok. Mukanya memerah, keringatnya bercucuran membasahi muka dan kaos putih kumal yang dikenakannya. “Sekali lagi jangan kau paksakan aku mengingat kematian bocah itu, atau tentang pulau yang dipenuhi setan itu! Biar saja digusur! Aku mantan Lurah, dulu memang aku yang meminta digusur! Banyak orang maksiat di pulau itu! Menyusul pembunuhan, judi dan bunuh diri!”

“Lalu bagaimana dengan orang-orang yang digusur?”

“Sebagian masih di sini, sebagian tewas dilindas bencana karena nekad dirikan rumah di pulau itu,” jawab mantan Lurah itu, sembari mendorong dadaku hingga aku terjatuh terkapar di semak-semak,”Sudah, jangan tanya macam-macam, atau aku remukkan kepalamu dengan cangkul ini!”

“Tidak, maksudku aku hanya ingin mencari temanku Sukro! Apakah dia ikut tertimbun di dalam tanah?” ucapku sembari kembali bangkit.

“Sukro?Kau pikir dia masih hidup?” jawab orang itu,”Sukro sudah mati jauh hari sebelum penduduk pulau itu rata oleh tanah! Dia dibunuh karena berebutan sarang walet di bangunan itu!”

Orang itu bergegas meninggalkanku dan berjalan melewati tanggul ke arah timur. “Tidak mungkin, seminggu lalu aku bertemu dengannya di sebuah proyek bangunan, kamu pembohong!” Orang itu lantas berlari ke arahku dengan nafas tersengal,”Kau pasti bertemu hantunya!”

Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tidak mungkin Sukro mati, tidak mungkin. Lantas orang itu berlari seperti enggan lagi bicara denganku dan hilang ditelan kegelapan. Kini aku hanya menatap pulau itu. Pulau yang menurut orang-orang sudah digusur, padahal aku masih melihatnya dengan jelas, pulau itu masih rimbun dipenuhi latuan dedaunan. Di pulau itulah aku dan kakak sulungku selalu melewatkan hari. Kami sering bermain perang-perangan, lantas memetik buah semangka yang menjalar subur. Buah semangka yang segar dan tidak mungkin cukup kami beli dengan recehan sisa uang saku sekolah.

Namun begitu kakakku kelar dari sekolah dasar, aku sudah tidak lagi punya teman bermain perang-perangan, karena kakak-kakakku yang lain lebih asyik bermain pasar-pasaran di tegalan sungai. Seusai lulus SD kakakku sekolah di Yogjakarta menemani paman dan bibiku yang kebetulan tidak punya anak. Meski begitu pulau itu tetap menjadi istanaku. Aku mengajak Sukro, tetangga sekampung yang sebaya dengan kakakku. Sejak saat itulah aku mulai akrab dengan Sukro.

“Kita bermain ACI saja!” seru Sukro, “Kamu jadi pejuang atau Belanda?”

“Aku pejuang, aku punya bambu runcing,” ujarku dengan menenteng sebatang kayu pohon randu yang kuruncingkan dari rumah dengan pisau dapur ibu.

“Baik, aku yang jadi Belanda. Aku tembak kau dengan peluru tank,” begitulah Sukro berteriak sembari menaikki pohon asam yang tumbang karena semalam hujan deras disertai angin kencang. Sukro membidikkan bomnya dengan tangkai-tangkai pohon asam. Tak jarang ia lemparkan geranat tanah liat dengan suara,”ciiiuuuuu glerrrr.”

Kami saling mengincar, bahkan merunduk menghindari peluru yang terlempar. Aku merambat dengan tubuh tertutup tangkai dan dedaunan layaknya gerilyawan perang. Kami saling mengejar, menindih, menendang, dan menggelitik. Tubuh kami berguling-guling, lantas tertawa riang hingga suaranya menembus awan-awan putih yang tersebar memecah di langit biru yang nampak cerah.

Matahari semakin merambat ke arah barat, dan menampakkan jingganya. Sayup-sayup suara memanggil nama Sukro terdengar dari bantaran sungai. Dengan tubuh belepotan lumpur, kami menyeberangi sungai melalui gethek penambang pasir yang kebetulan kami dapat menjalankannya dengan menarik seutas tali yang diikatkan antara pohon bantaran sungai dengan pulau itu. Di bantaran sungai, Ibu Sukro nampak bertolak pinggang. Mukanya memerah dan siap mencubit paha Sukro hingga gosong.

Seperti biasa, Sukro memang selalu dimarahi ibunya jika ketahuan nekad bermain di pulau itu. Orang-orang kampung mengatakan, pulau itu angker dan dihuni hantu bercaping bernama Cing Mau Lau. Orang kampung juga percaya bahwa di pulau itu pernah dijadikan tempat pembantaian massal masa pemberontakan di negeri ini. Maka tak heran jika pulau itu setiap tahunnya diperingati orang-orang kampung dengan memasang sejumlah sesaji di tengah pulau itu. Tepatnya di atas prasasti itu berukirkan tahun masa pemberontakan yang belum ada satupun sejarah berani menulisnya. Sejak saat itulah, tak ada satupun orang tua yang mengijinkan anak-anaknya bermain di pulau itu. Hanya aku, kakakku dan Sukro yang nekad bermain jika ternyata tidak diketahui orangtua.

Suatu malam Sukro datang kerumahku dengan kaki telanjang mengetuk pintu rumahku. Ia bercerita, bahwa dirinya dihajar ibunya karena menghilangkan sendal jepit pemberian ibunya sewaktu Lebaran hingga tidak diperbolehkan tidur di rumah.

“Kamu tidur di sini saja! Kamu sudah makan belum?”

Sukro menggeleleng. Kebetulan malam itu di meja makan rumahku masih ada sayur oseng-oseng, nasi dengan sedikit sambal dan sepotong tahu bacam. Sukro makan dengan lahap, dan perlahan isak tangisnya terhenti. Bahkan tanpa sungkan-sungkan ia menambah sayur dan nasi, karena memang sudah terbiasa makan di rumahku. Ayah dan ibu juga tahu, Sukro adalah orang tak mampu, dan kebetulan dengan adanya Sukro, aku tidak kesepian lagi sejak kakak sulungku sekolah di Yogja. Mereka lebih suka jika aku bermain dengan Sukro daripada bermain dengan teman-teman sebayaku di kampung. kata Ibuku aku nanti ketularan nakal kalau aku nekad bermain dengan orang-orang kampung. Sebab anak-anak yang sebaya denganku rata-rata suka ngutil makanan di warung, padahal mereka anak-anak orang mampu dengan penghasilan yang serba cukup bahkan lebih. Sedangkan Sukro hanyalah anak seorang buruh pengisi tempayan atau bak mandi serta tukang cuci serabutan. Ayahnya pergi tanpa pamit sejak dia masih berumur dua tahun. Maka tak heran jika orang-orang kampung menjauhinya. Selain karena miskin, pembawaan Sukro selalu membuat sial orang-orang kampung. Pakaiannya yang lusuh dan tak pernah ganti, membuat hidung orang-orang tergelitik, ingin mengusirnya.

Sejak tamat SD, Sukro tak lagi melanjutkan sekolah, Ibunya tidak kuat membeayainya, belum dengan dua orang adik perempuannya yang masih kecil-kecil.

Meski demikian, Sukro juga turut membantu Ibunya dengan kerja serabutan. Terkadang menjadi kuli bangunan, bahkan menjadi tukang cat serabutan di rumah tetangga yang memang selalu hobi merubah rumah, meski dengan beaya mahal.

Kampung itu kian tahun dipadati rumah-rumah. Para pendatang dari kota memenuhi tanah-tanah di sekitar tanggul yang sebenarnya milik pemerintah. Papan bertuliskan dilarang membangun hanya menjadi hiasan pelengkap padatnya rumah tanah berkapling itu. Ada beragam tipe rumah, dari yang berlantai dua hingga gubuk reyot. Sepeda motor dengan berbagai merk Jepang nampak berseliweran.

Kampung itu juga sering didatangi orang-orang berpakaian perlente, dan perempuan-perempuan bergincu tebal, molek dan montok. Mereka mondar-mandir berpelukan tanpa menghiraukan orang yang ada di sekelilingnya. Bahkan sebagian ada pula yang berpelukan di bawah pohon-pohon rindang yang setiap malamnya gelap karena memang belum ada penerangan. Para pemabuk bertebaran di setiap perempatan gang. Suara desahan dan erangan terkadang sayup-sayup terdengar jika malam mulai lengang.

Karena itulah ayah memutuskan pindah rumah. Dan sejak saat itu aku tidak lagu bertemu dengan Sukro. Tak lagi melihat wajahnya yang bulat hitam dan berhidung pesek.

Terakhir sebelum pindah rumah, aku pernah melihat Sukro membayar tagihan hutang tukang kredit sembari mengajak makan ibu dan kedua adiknya di sebuah warung makan. Depalan tahun berlalu aku melihatnya terbaring lemah di ranjang kayu beralaskan tikar. Tubuhnya nampak kurus. Hampir setiap menit, ia terbatuk-batuk mengeluarkan darah lantas meludahkannya di sebuah cangkir logam.

“Kamu tidak periksa ke dokter?”

Ia menggeleng sembari menggesekkan jari telunjuk dengan ibu jarinya. Dahinya berkernyit.

“Kamu sakit apa sih? Kalau kamu tidak lekas periksa ke dokter, nanti akan bertambah parah! Biar aku yang beayai.!”

Dia masih menggeleng. Dengan suara serak dan berat, ia menjawab,

”Kamu jangan beritahu siap-siapa ya! Seminggu yang lalu aku mencari sarang walet di pulau itu. Aku bertemu dengan tiga orang berpakaian batik turun dari mobil, yang kebetulan sedang mencari sarang walet pula di rumah tua peninggalan Belanda itu. waktu itu aku dapat lebih banyak karena aku datang lebih awal. Jam empat pagi aku sudah ke sana. Kami sempat bertengkar. Lantas mereka mengeroyokku dan menjatuhkan sebongkah batu di dadaku.”

“Kamu tak lapor polisi.”

“Kalau lapor polisi, pasti nanti aku njuga kena karena kita sama-sama mencuri, sarang wallet itu milik seorang pengusaha.”

“Kau tahu nomor polisinya, biar aku carikan tukang pukul!”

“Biar aku balas dengan caraku sendiri,” bisiknya sembari menghela nafas panjang dan berat.

***

Sejak saat itu, aku belum bertemu lagi dengan Sukro. Kali ini aku berniat datang ke rumah Sukro, karena aku ingin menawarkan pekerjaan di pabrik teman ayahku. Aku pikir pekerjaan itu lebih layak dan halal dari pada mencuri sarang walet milik orang lain.

Malam segera datang. Kampung yang sekarang rata dengan semak belukar itu semakin singup. Binatang malam mulai mengambil suara sebelum berpadu dalam sebuah nyanyian. Sedangkan pohon-pohon pulau di tengah sungai itu masih terlihat rindang. Semak belukar menjulang hingga setinggi dua meter. Mungkin saat ini aku harus meninggalkan bantaran sungai ini. Namun sebelumnya, aku lihat dari balik pohon pisang, dua orang anak tertawa riang sembari membawa tangkai pohon asam yang baru saja tumbang. Dua orang anak itu yang satunya kurus yang satunya gemuk. Lalu aku dengar sayup-sayup seorang ibu memanggil nama Sukro.

Langit makin hitam, angin mendesir dingin. Agaknya hujan akan segera turun. Mungkin aku harus bergegas meninggalkan tempat ini sebelum hujan mengguyur deras. Lagi pula aku tidak membawa manthel hujan. Sedangkan tawa cekikian dua orang anak tadi masih terdengar sayup-sayup di telingaku, yang satunya aku hafal betul, itu suara Sukro…suara Sukro..

Keesokan harinya aku baca di lembar surat kabar, Sukro mati tertembak polisi dalam sebuah aksi perampokan. Dalam berita itu tertulis, Sukro adalah buronan kelas wahid.

Solo, Desember 2005

Catatan : - ACI (Aku Cinta Indonseia) : judul Film di TVRI yang bercerita tentang perjuangan para pahlawan melawan penjajah, sekitar tahun 80-an Film itu jadi film favorit anak-anak.

Singup : Sepi mencekam/ terkesan angker

Dimuat di Koran Sindo, 14 Juli 2006

Minggu, 06 Juli 2008

Kamis, 03 Juli 2008

Biodata Abednego Afriadi

Abednego Afriadi adalah lelaki berwajah sinis, namun hati romantis. Bahkan sosok ini adalah sosok yang selalu malu-malu kucing jika ditraktir makan-makan. Pernah aktif di Teater Salib SMA Kanisius Petang Surakarta (sekarang IG Slamet Riyadi), Teater Lentera Alam, Teater TERA Yunior, Teater TErAS Univet Bantara Sukoharjo. Cerpen2 nya pernah dimuat di Solopos, Koran Sindo, Majalah GONG, Pawon Sastra, Pendar, Antologi Joglo 2, Ceritanet, dan Kolomkita.com. Kini Penulis tinggal bersama isteri, anak, ortu, dan nenek di Mojosongo-Jebres-Solo. Bekerja sebagai presenter, dubber, reporter, camera person, & additional editor di TATV Solo.

Senin, 30 Juni 2008

Membaca karya anggota Komunitas Sastra "Aryobegal"

Cerpen-cerpen karya Abednego Afriadi sangat khas nuansa "Jawanya" dalam penggunaan nama, misalnya, sangat jawa: Sudrun contohnya. Alur yang dipakai konvensional kecuali dalam tarian syafaat. Ia sangat sufi, mistik, terkesan surealis. Abed nampak terpengaruh Danarto, dalam Berhala atau Godlob jelas pengungkapan hal yang di atas "nyata" itu tertuang. Mungkin yang kurang adalah menerabaskan sekalian batas atas real itu. Jadi seperti kecubung pengasihan, labyrint, armageddon, atau bekakrakkan dan rintrik. Nantinya, menurut saya Abed berpotensi besar -lambat-laun- menjadi Danarto baru dengan sedikit-sedikit Romo Mangun atau Kuntowijoyo. Corak ini juga nampak pada karya-karya Han Gagas, tapi kadarnya berbeda, ia lebih banyak dicampuri Kuntowijoyo dari pada Danarto. Tersiar kabar ia memang baru menjajaki imajinasi Danarto dan Budi Darma -yang memiliki kemiripan- dan lambat-laun saya yakin jika ia terus berproses Danarto dan Kuntowijoyo akan seimbang dalam karya-karyanya nanti.

Dwi Susanto,
dosen sastra indonesia UNS Solo

... tentang Han Gagas

Karya cerpennya ndilalah dimuat Koran Sindo, Majalah Gong, Solopos, antologi cerpenis terpilih Joglo (Taman Budaya Jawa Tengah, 2007), antologi Cinta Pertama, Pawonsastra, Ceritanet, dan lain-lain. Th 2007 nate juara 2 lomba cerpen Komunitas Senja, Fak. Sastra, Universitas Andalas Padang. Th 2008 karyanya nyemplung 10 terbaik sayembara cerpen sak-indonesia UNS Solo. Buku kumpulan cerpennya bertajuk “Jejak Sunyi” (Mediatama; 2008) diterbitkan dalam rangka proyek pemerintah untuk Taman Bacaan Masyarakat. Sesekali menulis cerita anak terutama jika ada pesanan atau pas keseleo ingatan. Cernaknya nate dimuat Solopos, yang lainnya segera terbit dalam beberapa buku oleh Penerbit Sahabat. Juga sesekali ngetik artikel nganggo jeneng Rudy Hantoro –sesuai KTP- dan sedikit diantaranya pernah dimuat Suara Merdeka, Bernas, dan Buku Mcdonaldisasi Pendidikan Tinggi (Penerbit Kanisius, 2002). Selain menulis, sehari-hari bekerja sebagai kompilator data untuk PBB.



Kisah Kancil dan Monyet

Kisah Kancil dan Monyet
cernak: Han gagas

Musim kemarau teramat panjang hingga mendatangkan musibah kelaparan di mana-mana. Sehingga banyak binatang yang dulu bermusuhan sekarang berdamai. Yang lemah dan tua-tua menjalankan pekerjaan tolong-menolong atau gotong-royong.
Demikian pula yang terjadi antara si Kancil dan si Monyet, binatang mirip monyet. Mereka berjabat tangan dan dudk memperbincangkan nasibnya. Alangkah nikmat hidup masa dulu. Makanan sangat banyak dan penduduk tak sepadat sekarang.
Selama ini belum pernah terjadi bencana kekeringan dan kelaparan separah ini. Juga sepanjang kata para orang tua dahulu juga tak pernah mengalami musibah separah ini. Sampai daun-daun rontok dan pohon banyak yang mati. Sumber air menyusut, sungai tak mengalir air lagi.
Dahulu makanan begitu berlebih, batang kayu berganti-ganti berbuah, habis durian ganti mangga, musim mangga belum selesai manggis sudah masak, musim manggis belum selesai musim jambu telah mulai, demikian teraturnya buah-buahan berganti dari musim ke musim.
Mereka berganti-ganti pula menceritakan nasibnya yang malang. Istri kancil mati kelaparan dan istri Monyet jatuh sakit.
Si kancil mengusulkan, "Maukah Kang Monyet bekerja membuka ladang untuk menanam pisang?"
Monyet menggaruk-garuk kepalanya dan akhirnya menjawab," Bagaimana saya dapat meluangkan waktu untuk mencangkul dan mencari anak pisang, sebab istri saya jatuh sakit. Sedang untuk mencari makan untuk kami berdua saja menghabiskan waktu seharian. Kadang-kadang saya sendiri hanya sekali saja makan sehari. Bahkan, kadang saya makan sisa makanan istri."
"Bagaimana kalau kita menggali lubang berdua, kan tangan Kang Monyet lebih cakap daripada tangan saya. Mencari anak pisang biarlah saya sendiri," kata Kancil.
Monyet, biarpun telah berjabat tangan, hatinya masih belum percaya kepada kancil. Maklumlah, kancil akalnya selalu licik. Haruslah berhati-hati padanya agar tidak kena tipu. Lagipula, menurut Monyet paling tidak delapan bulan pisang itu baru berbuah. Dan selama menunggu itu, bagaimana ia mendapatkan makanan? Apalagi badannya sekarang sudah kurus kering, kalau harus bekerja keras membaut kebun pisang ia khawatir malah akan membuatnya mati.
Tetapi kancil berkata bahwa mereka harus sedia payung sebelum hujan. "Pisang tidak harus dirawat seperti tanaman-tanaman lain. Sementara kita mencari makanan sendiri-sendiri, pohon pisang akan tumbuh sendiri," bagitu kata kancil dengan meyakinkan.
Akhirnya Monyet membenarkan juga tapi ia mengajukan permintaan:" Baiklah! Tetapi kta berkebun dengan lahan sendiri-sendiri. Kita buat kebun saya sendiri baru kemudian kancil, bagaimana?"
"Itu licik! Kalau berkongsi harus jujur. Sama rata sama rasa, kalau tidak pasti tidak dapat berkah. Mari kita buat sepuluh lubang di lading Kang Monyet dulu, baru kemudian sepuluh lubang di kebun saya," kata kancil.
"Baiklah! Tetapi saya suka menanam bagian yang atas, sedang kancil bagian akarnya. Sebelum delapan bulan umur pisang jangan kita tengok-tengok Sesudah itu baru kita lihat kebun siapa yang berbuah lebat, "kata Monyet Ia berpikir tentunya pisangnya akan berbuah lebih dulu, sebab dekat ke pucuknya daripada pisang kancil yang tentu lama berbuahnya. Bahkan, mungkin pisangnya tak berbuah karena daunnya telah dipotong.
"Saya menurut saja maunya Kang Monyet, yang penting hasil kerja kita bias berhasil," kata Kancil dengan girang.
Kedua teman itu mulai menggali lubang. Biasanya si kancil yang panjang akal, tapi kali ini terpaksa ia rajin, sebab ia yang mengusulkan. Sedangkan si Monyet sangatlah malas. Kancil sudah selesai menggali lima lobang, Monyet baru selesai dengan lobang yang kedua. Dia pura-pura sangat lelah dan berbaring seperti akan putus napasnya.
Sesudah selesai lubang-lubang itu, lalu kancil mencari anak pisang dan monyet mengambil sekalian pucuknya. Sesudah selesai menanamnya maka kedua teman itu berpisah.
Istri monyet makin lama makin sakit. Dia meminta buah idaman yang susah didapat. Monyet mencarinya ke sana ke mari hingga ia mengembara sampai kelelahan. Kadang-kadang ia sampai masuk ke halaman orang dan mencuri buah delima atau jeruk manis. Biarpun ia ditembak orang, relalah dia daripada tidak membawa sama sekali buah yang diidamkan istrinya.
Kancil pun tidak mudah hidupnya, tetapi ia hidup sendiri tak menanggung siapapun. Lagipula badannya sehat. Dari daun-daun, ubi-ubi, dan buah-buahan yang jatuh atau sisa bajing dan burung, ia dapat hidup tentram. Sehingga masih ada waktunya untuk mencakar berkeliling batang pisangnya. Oleh sebab itu pisang-pisangnya tumbuh dengan subur dan lekas berjantung. Kancil menjadi sangat bergembira dan makin rajin membersihkan rumput-rumput yang mengganggu hidup pisangnya.
Sedangkan pisang milik si monyet lama kelamaan layu dan akhirnya menjadi busuk. Setelah si monyet melihat pisangnya mulai bertumbangan maka ia ingin melihat kebun kancil, tapi keadaan istrinya tambah parah. Ia tahu sebelum ajal berpantang mati, ia tak boleh perputus asa.
Lagipula, akhir-akhir ini istrinya punya cita-cita.
"Kalau saya sembuh, kita kerjakan bersama-sama kebun pisangnya. Kalau berbuah semua niscaya kita akan makmur. Sekarang cuaca begitu panas, apapun yang ditanam nampaknya tak akan bisa tumbuh. Kalau saya sudah sehat kembali, tak usah engkau, kekasihku, bekerja sekeras itu. Nanti aku manjakan suamiku kembali," sambil diusap-usapnya bulu suaminya dengan lembut. "Tidak! Istriku tidak boleh mati, walaupun aku harus lelah kesana-kemari mencari obat dan keinginannya," batin si monyet.
Tetapi sakit istri monyet rupanya tak dapat diobati lagi. Ketika bulan purnama dan alam demikian sunyi-senyap, istri monyet mati.Tetangganya terkejut mendengar ratap tangis yang datang dari tempat si monyet. Semua segera melayat dan menyabarkan si monyet.
Setelah rasa dukanya agak reda, si monyet ingat akan temannya, kancil. Dengan segera ia berangkat ke sana untuk memberitahu kemalangannya.
Lalu didapatinya rumah kancil yang tak begitu nampak karena tertutupi oleh rimbunnya kebun pisang yang subur. Tampak pula sebatang pisang raja sedang berbuah masak, kuning seperti emas.
Kancil amat senang melihat temannya datang. Si monyet lalu menceritakan nasibnya yang malang. Istrinya meninggal, pisangnya mati semua. Kancil berupaya menentramkan kesedihan temannya dengan perkataan yang lemah-lembut dan mengatakan turut berdukacita.
Sekarang mereka senasib, sama-sama kehilangan istri. Untuk menghibur hati, mereka pergi berjalan-jalan ke kebun pisang itu. Akhirnya mereka sampai di tempat pisang raja yang ranum itu.
"Mengapa pisang ini belum juga dipetik? tanya monyet, "untung tidak dicuri bajing dan burung."
"Saya tak pandai memanjat untuk memetik pisang itu, lagipula alangkah senang hati saya melihat buah seranum itu. Bila memetiknya, akan merusakannya. Sayang, kan."
Monyet mengalir air liurnya.
"Ijinkanlah aku memetiknya!"
Tanpa menanti jawaban kancil, si monyet telah melompat ke batang pisang, memanjat, lalu menggapai buahnya.
Melihat pisang demikian ranum, timbulah nafsu monyetnya. Maka lupalah dia terhadap sopan-santun, teman karibnya. Si monyet memetik sebuah yang termasak, dikupasnya dan dimakannya tergesa-gesa. Alangkah lezat rasanya! Belum habis ditelan, sudah dipetiknya lagi yang lain.
Kancil senang hatinya melihat temannya makan enak dan telah lupa akan kesedihan hatinya. "Kasihan, entah sudah berapa lama ia tidak makan karena merawat istrinya."
Tetapi sesudah monyet makan terus dan acuh saja padanya, ia lalu berkata," Lemparkan sebuah saja padaku, aku juga ingin mencicipi!"
Tetapi monyet tak menjawab. Entah karena tak terdengar atau pura-pura.
"Nah, sekarang itu untuk aku," kata kancil ketika monyet memetik pisang yang ketujuh.
Monyet tidak menjawab. Pisang-pisang seenak ini belum pernah dicecapnya. Dia mencari-cari kesalahan kancil.
"Hai, kancil, kalau hendak makan, panjat dan petiklah sendiri. Selama ini kau terus mengolok-olok orang, sekarang rasakan kebalikannya!"
"Hai, sahabatku, jangan lama berolok-olok! Aku ingin pula merasakan enaknya pisang yang kutanam dan selalu kurawat itu. Bagikan juga padaku!" kata kancil yang mulai curiga.
Monyet seolah-olah tak mendengar kata-kata kancil. Setelah habis sesisir dimulailah yang kedua. Kancil mulai hilang kesabarannya dan berusaha menuntut balas. Diam-diam diangkutnya batang padi kering dan ranting-ranting kering sebanyak-banyaknya ke bawah batang pisang itu lalu dibakarnya.
"Kalau panas katakana dingin, kalau dingin katakana panas, kang monyet!"
"Baik!" sahut monyet tanpa mengindahkan kancil. Ia terus makan dengan lahapnya.
Si kancil makin emosi, ia makin giat menambah ranting dan daun kering, sehingga makin lama api itu makin besar.
"Dingin, dingin!" teriak monyet.
Kancil terus juga menambah daun kering.
"Dingin, dingin," teriak monyet lagi.
Kancil makin cepat lagi mengambil jerami.
Akhirnya api sampai juga ke buah pisang dan bulu monyet bterbakar. Ketika ia hendak lari nampak api sudah demikian besar mengelilinginya.
"Tolong! Tolong!!" teriak monyet ketakutan.
Tetapi kancil hanya tertawa-tawa saja.
"Hai, kang monyet yang tak tahu membalas budi. Engkau sangka aku tak tahu akalmu sejak dari mulai menanam pisang itu. Sekarang rasakanlah hasil niatmu yang tidak baik itu!"
Belum selesai kancil mengata-ngatai si monyet telah jatuh berdebuk di tengah api besar itu. Kancil membiarkan monyet sampai menjadi bara. Akhirnya batang pisang itu rebah dan kancil memakan pisangnya dengan tenang dan tentram.

Kucing

Kucing

Cerpen Han Gagas

Bagi sejumlah orang, mungkin kucing begitu disayangi. Ta­pi aku amat membencinya. Warnanya yang elok tak membuat ku jatuh hati kepadanya. Apalagi ia telah membunuh anakku tepatnya janin dalam rahim isteriku. Hal itu aku ketahui setelah isteriku harus menjalani operasi kuret karena ke­guguran. Dokter memberi penjelas­an virus TORCH sangat mungkin menjadi faktor penyebab janin itu berhenti dari pertumbuhannya.

Kami telah berdiskusi macam-macam dan menarik kesimpulan kucing tetangga yang sering berke­liran di seputar rumahku menjadi penyebar virus itu. Aku berniat membunuhnya. Sayang keberani­anku terenggut keraguan. Kucing itu milik seorang preman kam­pung. Sedang aku, pendatang ba­ru yang belum genap setahun tinggal di perumahan ini. Aku hanya menyimpan niat yang membara di dada itu.

***

Semua berawal ketika aku dan isteriku tinggal di perumahan. Walau rumah kontrakan ini kecil aku sudah amat bersyu­kur. Namanya saja peru­mahan biasa kalau tembok­nya ompong, kayu-jendela dan pintu yang dimakan ra­yap, plafon retak-retak, serta blandar dan reng bagian luar bangunan yang gapuk, itu bia­sa.

Setelah beberapa hari me­nempatinya, aku mulai terusik karena ada seekor kucing yang suka berada di plafon. Aku khawatir, berat badannya tak sanggup disangga plafon retak itu. Apalagi kucing itu sering ribut mengejar tikus.

Tak hanya menaiki plafon, kucing itu juga sering membu­ang kotorannya di halaman. Ta­nah halaman itu dicakari dengan kuku-kukunya hingga membentuk lubang. Lalu tak lama lagl lubang itu menjadi munjung berisi onggo­kan tahi kucing. Aku mulai mem­benci kucing itu.

Untuk mengenyahkan kekesalan­ku, aku sering mengusir kucing itu dengan gagang sapu. Tapi dasar ku­cing, ia tak pernah jera untuk kem­bali terutama pada saat malam tiba. Sering pula bila ia datang, aku sege­ra berlari ke kamar mandi mengam­bil seciduk air lalu dengan cepat menyiramkannya. Dan, hatiku sedi­kit girang melihat kucing itu lari ter­birit-birit. Tapi dasar kucing, setelah lewat hari, ia kembali. Aku geram dibuatnya.

Aku mulai berpikir untuk mem­bunuh kucing itu. Memojokkannya di sudut rumah lalu menggebuknya dengan kayu, menembaknya dengan senapan angin, atau meracuni­nya. Aku memilih cara terakhir ka­rena tampak lebih aman dan gam­pang. Tapi aku tetap tak tega mem­bunuhnya, lagi pula ia milik seo­rang seorang preman. Aku tak mau persoalan ini menjadi runyam. la pasti tak rela kucingnya mati.

Lalu petaka itu datang tiba-tiba. Isteriku mengaduh, dari pangkal pahanya mengalir darah kental. Aku segera menyumbatnya dengan jarik agar darahnya berhenti. Lalu segera naik taksi meluncur ke ru­mah sakit. Namun terlambat, kata dokter jaga, janin itu telah gugur. Aku lemas, isteriku menangis. Peta­ka datang tiba-tiba. Kau tahu, beta­pa sakit kehilangan harapan. Betapa perih kehilangan kasih tercinta.

Dokter memanggilku, kami ber­diskusi. Aku menjelaskan dulu iste­riku pernah keguguran. la menyu­ruh agar istriku melakukan uji lab. Kata dokter, akhir-akhir ini banyak kasus keguguran berulang disebab­kan oleh virus TORCH, khususnya toksoplasma. Virus yang disebar­kan melalui daging dan sayur yang dimasak kurang matang, makanan hampir basi, kotoran kucing, anjing, burung dan lain-lain. Dari berbagai faktor itu, pikiranku langsung mengarah pada kucing te­tangga. Aku makin benci dan berte­kad membunuhnya.

Benar juga, hasil lab positif. Den­dam menuntut. Bunuh balas bunuh.

***

Aku membeli racun tikus. Dosis kubuat lima kali lipat menyesuai­kan tubuh kucing itu yang sekitar lima kalinya tikus. Kebetulan iste­riku pas menggoreng ikan asin. Aku yakin sebentar lagi baunya akan mengundang kucing itu da­tang. Dan betul juga, bunyi me­ong terdengar mendekat. Dadaku bergolak menahan hati yang geram.

Malamnya aku menaruh ikan itu hanya kepalanya saja di keranjang sampah. Tentu racun sudah kutam­bahi lagi dengan memasukkannya ke dalam batok kepala ikan. Dari celah jendela aku mengawasinya. Tak lama kemudian, terdengar sua­ra kemrusak. Mataku memicing, tampak kucing itu mengais sampah. Dan, hatiku girang, ia menggigit ke­pala ikan itu. Dalam tempo singkat, yang digigit tertelan habis masuk ke perutnya. Aku menunggu. Ku­cing itu mengeong pelan, lalu di­am.

Aku segera mendekat. Tubuh­nya kubungkus dengan tas kre­sek, segera aku ke kali yang tak begitu jauh dan membuang­nya. Derasnya aliran air menelan bungkusan tas kresek itu. Aku pulang dengan hati senang seka­ligus bergetar, semoga majikannya tak pernah tahu peristiwa ini. Paginya, pintuku dige­dor. Aku gemetar, isteriku juga. la kusuruh tenang di kamar. Aku keluar dan mendapati preman itu keli­hatan marah. Pisau terlipat di pinggangnya. Aku gen­tar.

"Kucingku hingga kini belum pulang, kau tahu di mana kucingku?"

­Aku diam.

"Hah, kau bisu ya!"

Aku tetap diam.

"Dari semua orang di kampung ini, katanya kau yang benci sama ku­cingku. Temanku, saat mancing semalam melihatmu membuang tas kresek ke kali. Awas jika kau telah membu­nuh dan membuangnya!"

Aku coba tenang.

"Jika kau membunuhnya, aku akan balas membunuhmu!"

Kata-kata itu menyembur mukaku, menghantam dadaku. Memer­cikkan bara.

'Tapi, ia telah membunuh anak­ku," sahutku.

"Apa? Kucing membunuh manu­sia! Mana ada itu."

"Isteriku keguguran dan dari ha­sil uji lab, kata dokter disebabkan oleh virus tokso yang juga disebar­kan melalui kotoran kucing," sahut­ku lebih berani.

"Tapi, apa yang punya kucing itu aku saja?"

"Kucingmu yang sering berkeli­aran di rumahku."

"Mana buktinya kucingku meng­andung virus itu?"

Aku diam.

"Berarti benar kau telah membu­nuh kucingku. Edan kowe!"

la mengambil pisau dan menun­jukkan kilatannya ke mukaku. Ma­taku melihat tajamnya pisau yang baru saja diasah.

Para tetangga mulai berdatangan namun mereka hanya menatap. Je­las mereka hanya menonton, tak be­rani lebih. Huh, semua penakut, tunduk sama preman kampung. Tiba-tiba keberanian membuncah di dadaku. Ditatap banyak orang, ego­ku naik, nyaliku menguat.

"Kau hanya berani berkelahi de­ngan pisau sementara lawanmu ber­tangan kosong."

"Kau menantangku?"

"Kalau kau lelaki, mari kita berke­lahi tanpa senjata."

"Ayo!"

"Jangan Bang!" isteriku keluar ru­mah dan menahan langkahku.

"Biarkan suamimu ini memberi pelajaran pada preman kampung ini. Preman musuh masyarakat. Ki­ta harus berani melawannya!"

Lalu kami mendekat, membuat arena di tengah jalan. Orang-orang hanya merubung, menonton.

"Kalau kau jantan buang dulu pi­saumu!" '

la membuang pisau itu ke tepi ja­lan.

"Aku memang membunuh ku­cing sialan itu!"

Ia mendengus marah. Aku se­nang, kemarahan membuat serang­annya bakal ngawur.

La menyerang dengan cepat, gesit. Aku berkelit. Serangannya membabi­-buta. Dan dengan mudah akhirnya aku menaklukkannya. Serangkaian pukulanku menghantam mukanya dan tendanganku menjerembabkan tubuhnya. Sorot matanya yang ang­kuh, tato tubuhnya, dan cat merah rambutnya ternyata hanya sekadar sok jagoan saja.

la lunglai. Orang-orang tampak tersenyum.

"Ayo bangun!"

Kutarik kerah kaosnya dan sekali lagi tonjokanku menghantam muka­nya. Darah meleleh dari hidung dan bibirnya.

"Ampun Mas."

Aku lepaskan dia. Orang-orang mulai mendekat. Aku diam, mun­dur perlahan lalu berbalik melihat isteriku. Tapi, ia tercekat, wajahnya pucat. Aku tergeragap. Aku berba­lik, namun...

..Jcreesssh...

"Ahggkkh.:." Pisau itu menancap di perutku. Darah mengucur deras. Dunia menjadi gelap. Begitu gelap.

"Bang bangun! Hari sudah siang:"

Aku kaget, isteriku memukul-mu­kul pahaku, ternyata aku bermimpi.

Aku tercenung. Isteriku bertanya, "Ada apa, Bang?"

Aku menggeleng.

Aku bangun dengan malas. Me­nimbang-nimbang untuk pindah ru­mah atau jadi meracuni kucing itu.

Ternyata isteriku sedang meng­goreng ikan asin.

Aku segera pergi membeli racun tikus.


Solo, November 2006




Tentang kami

Komunitas Aryobegal hanya beranggota: Abednego Afriadi dan Han Gagas. Hanya terdiri dari dua anggota saja, bersifat tertutup dalam arti tak menerima anggota baru, hanya dalam kegiatannya bakal mengundang penulis tamu untuk membongkar segala jenis karya. Komunitas ini mencintai segala jenis karya sastra dari cerita anak yang lucu2 dan “ringan” sampai karya sejenis “aryobegal” yang sangar, penuh kekerasan, teror, dan kriminal. Namun, hati kami tetap lembut selembut “Sutra” (yang diedarkan di album itu lho…)




Sabtu, 21 Juni 2008

Tarian Syafaat

Cerpen : Abednego Afriadi
Langit yang semula berwarna merah pelahan luntur hingga memutih. Awan-awan yang semula memisah, kini mulai tersebar dan berkumpul kembali menjadi kawanan domba yang mendamba kesejukan. Setelah sekian tahun menguap di padang gurun yang gersang kerontang. “Maya, engkaukah itu?” tanyaku berseru, mendongak ke atas. Di mana Maya? Tak kutemukan sebesit pun wajahnya di tengah-tengah gumpalan awan itu.
“Maya?”
Angin bertiup sepoi-sepoi. Memaksa rimbun pohon untuk bergoyang di lereng bukit. Kemarau memang telah berlalu, namun mata air di ujung jalan setapak menuju bukit belum juga mengucur. Ah, dahaga benar kurasa. Maya memang tak terlalu bodoh, ia tercipta untukku selama aku masih berada di bawah kolong langit ini. Mungkin ia bersembunyi, mengajakku bermain petak umpat. Namun yang kulihat hanya patung-patung anak-anak kecil bersayap, mengitari pemakaman.
Anjing-anjing hutan yang turun dari atas bukit mengurungkan penyerbuan bagi rombongan pengantar jenasah. Yah, mereka lebih tahu. Mereka lebih merasa menjadi binatang terhina, terakus dan menjijikan. Setara dengan babi-babi yang selalu mengendus-endus kotoran yang keluar dari perut raja-raja kecil di setiap apartement atau perumahan elite.
Maya kau malaikat secantik bidadari yang kutemui di antara para bidadari yang berlenggok di surga-surga imitasi. Mereka tak bisa menyembunyikan taringnya kala bibirnya menebar senyum. Kau lebih ayu dan semilak, ketika air pegunungan itu menyiram. Kau tak perlu bedak! Sebab sudah kau taburkan syafaat setiap pagi. Inilah bidadari yang kukasihi, kepadanyalah aku selalu menyampaikan kekaguman semesta alam. Dia bukanlah utusan yang diturunkan ke dunia, tapi ia adalah bidadari, pelukis dari surga bagi domba-domba yang terpecah dari segala penjuru kolong langit.
Ah, mengertikah engkau tentang ini? Tentang kerinduan lelaki terhadap bidadari dari surga yang sekilas aku bisa melihatnya, tanpa mantera. Ia besyafaat setiap hari untukku. Ia menaruh sebatang lilin untuk kunyalakan, ketika giluta menggeliat, menyekapku dalam lorong-lorong waktu yang tak kuketahui ujungnya. “Sam, di mana kau?”
“Aku di sini menunggumu!”
“Apa kau melihat pemetik kecapi yang baru saja meniupkan bisikan di telingaku?”
“Siapa?”
“Seorang pangeran yang gagah.”
“Di mana kau kenal.”
“Dalam mimpi.”
“Ah kau bercanda.”
“Sumpah, langit dan bumi tak akan kupertaruhkan.”
“Lantas siapa pangeran yang kau cari?” jawabku seraya mendongak mencari di mana ia hinggap. Oh Amboi cantiknya. Maya turun menjadi kupu-kupu. Genit gemulai tangannya melukis gerak tari bayangannya di atas bunga matahari yang mulai menguning. “Di mana Sam? Tahu tidak?”
“Bukankah pangeran-pangeran itu terlalu angkuh? Sudikah engkau di suntingnya?”
“Kau salah Sam. Ia baru saja dinobatkan dan di angkat dari comberan pinggiran jalan.”
“Siapakah ia?”
“Seorang lelaki yang berjubah putih dengan mahkota daun nangka melingkar di kepalanya. Rambutnya sedikit ikal. Badannya tidak terlalu kekar.”
Aku tak bergeming sedikitpun. Tak ada sesuatu yang kudengar lagi. Sedangkan Maya sudah terburu-buru terbang mencari pangeran yang semalam ia impikan.
Langit terbuka. Merpati terbang berputar-putar di atasnya. Angin perlahan berdesir lembut. Cahaya nampak kemilau lebih terang dari matahari. “Inilah anakku yang kukasihi kepadanyalah aku berkenan 1.”
Suara asing kudengar. Kata-kata itu nyaris seperti yang diungkapkan para pendeta dalam kebaktian. “Maya, kau kah itu?”
“Bukan, memang kau dengar apa Sam?”
“Ah, biasa,” jawabku sedikit menyembunyikan ketakutan yang maha dasyat.
Pergilah ke telaga! Aku tunggu kau di sana. Mari kita tengok tubuh-tubuh yang telanjang membersihkan dirinya dari segala macam debu. Mereka adalah perantau. Salah satu dari perantau itu adalah pangeran yang sekarang kucari. Di mana dia?”
“Maya tidakkah kau lupa sering bersyafaat bagiku? Apakah kau dengan seenaknya bersyafaat bagi orang lain? Malaikat, setan, dan segala mahkluk yang belum sama sekali pernah kulihat?” teriakku.
Matahari perlahan merambat ke ufuk barat. Menggeser langit biru hingga kembali memerah. Aku merasa kehilangan Maya. Aku harus bertemu dengannya sebelum matahari bersembunyi di balik gunung. Sebelum tak kulihat lagi kepak sayapnya terbang mengitariku kala aku berteduh di sebuah taman. Maya pernah memberikan tanda salib di keningku. Namun tanda itu musnah tersapu angin, air dan debu-debu yang setiap hari melintas menjadi serigala rakus yang menerkam mangsanya.
“Maya, kau tahu, aku ingin mencarinya bukan?” keluhku.
Aha, lihatlah, wajah Maya berseri-seri, terbang mengitari taman bunga. Kecantikan yang maha dasyat, sapuan kepak sayapnya tak menutupi semilak wajah ayunya, tanpa make up atau cat rambut. Namun barisan bunga yang merekah menangisi kepergiannya. Tangisnya menderu seperti mesin godam penghancur bumi. Karena Maya mulai patah arang, enggan lagi mencari pengeran itu, dan tentu saja juga enggan turun lagi ke bumi.
Anak-anak kecil berlari melambat di antara gumpalan-gumpalan awan dan domba-domba putih. Di tengah pintu langit yang terbuka sore itu, mereka melambai-lambaikan tangannya. Sedangkan Maya semakin bingung, di mana ia bisa menemukan pangeran itu.
“Maya? Kau tak jadi mencarinya di telaga?”
”Mustahil, telaga dan mata air mengering.”
”Oh, iya, siapa tahu ia sedang menuai padi yang menguning sore ini?”
“ya Tuhan, ampunilah!”
Dia berada di sawah-sawah. Sedari pagi sepertinya aku melihat ia mengenakan jubah dan bermahkotakan jerami-jerami dan daun nangka. Ia menenteng kecapi sembari melantunkan Mazmur. Bisakah aku ikut mencarinya? Lihat! para malaikat kecil sudah memanggilnya. Domba-domba yang pulang telah menunggunya. Lihat, langit juga menguning. Bukankah ia terlambat kau panggil pulang? Kau akan tenggelam di lautan jerami. Sayapmu pasti akan robek tersayat tanduk-tanduk belalang.
“Ah tanduk belalang terlalu lunak bagiku,” jawab Maya. Panji dan gada telah kupinjam darinya. Tapi aku harus mengajaknya pulang. Sebab ladang telah menguning. Biarlah ia memetik berkarung-karung buah-buah surga, lantas mengangkutnya. Membagikannya sambil melantunkan nyanyian-nyanyian Daud.
“Maya, cepat kau panggil dia! Aku ikut!” seruku.
Aku mengejar Maya yang terbang menyusuri jalanan setapak. Aku lihat ia nampak lebih cantik dari biasanya. Ia tinggalkan jaring-jaring syafaat ke arah mukaku. Jaring-jaring bercahaya, tak panas dan tak silau. O, jaring-jaring manusia yang dasyat diturunkan di bumi untuk menjemput para pengabdi surga. Menjadi pewaris tunggal yang abadi. Sedangkan leher pangeran itu berkalungkan kecapi. Tak sedikit pun sisa comberan di muka, tubuh dan setiap lekuk tubuhnya. Ia masih mengenakan jubah putih itu. Nampak melebihi raja-raja yang berkuasa dan bertahta di atas bumi. Yah ialah pangeran yang segera dinobatkan, tanpa ijasah dan tinta-tinta palsu.
Aku lihat ladang telah habis tertuai. Pangeran itu terbang dengan kepak sayapnya. Lantas Maya terbang melesat menuju ribuan malaikat kecil berjubah putih yang memanggilnya dari pintu langit.
Oh, langit terbuka, malaikat-malaikat kecil bersorak sorai, tepuk tangannnya riuh terdengar hingga menggoncangkan pondasi-pondasi angkuh barisan istana para setan di segala zaman. Yah, aku harus menyusulnya. Waktunya telah tiba, aku harus kembali menebar benih-benih di ladang itu. Sebab padi cepat kali menguning. Hari sudah menjelang malam. Aku harus kembali istirahat. Pagi kita bekerja lagi. Membajak ladang yang sempit namun subur, sebab semua telah menjadi menara dan berhala bertopeng sangar. Tak ada lagi waktu untuk menangis, merenung dan bermalas-malasan.
Langit kembali tertutup. Sorak-sorai malaikat masih terdengar bergemuruh, menyisakan senyuman tulus dari pilu dan peluh yang menetes. Ufuk barat masih menyisakan sedikit cahaya. Maya dan pangeran itu hanya nampak bayang-bayangnya, kala matahari yang beranjak pulang menyiramkan jingga. Mereka melambaikan tangan kepadaku.
Solo, Juni 2007

Teruntuk Eko Nugroho, salamku kepada Bapa…

dimuat di Majalah GONG Edisi, Agustus 2007

Tarian Syafaat

Cerpen : Abednego Afriadi
Langit yang semula berwarna merah pelahan luntur hingga memutih. Awan-awan yang semula memisah, kini mulai tersebar dan berkumpul kembali menjadi kawanan domba yang mendamba kesejukan. Setelah sekian tahun menguap di padang gurun yang gersang kerontang. “Maya, engkaukah itu?” tanyaku berseru, mendongak ke atas. Di mana Maya? Tak kutemukan sebesit pun wajahnya di tengah-tengah gumpalan awan itu.
“Maya?”
Angin bertiup sepoi-sepoi. Memaksa rimbun pohon untuk bergoyang di lereng bukit. Kemarau memang telah berlalu, namun mata air di ujung jalan setapak menuju bukit belum juga mengucur. Ah, dahaga benar kurasa. Maya memang tak terlalu bodoh, ia tercipta untukku selama aku masih berada di bawah kolong langit ini. Mungkin ia bersembunyi, mengajakku bermain petak umpat. Namun yang kulihat hanya patung-patung anak-anak kecil bersayap, mengitari pemakaman.
Anjing-anjing hutan yang turun dari atas bukit mengurungkan penyerbuan bagi rombongan pengantar jenasah. Yah, mereka lebih tahu. Mereka lebih merasa menjadi binatang terhina, terakus dan menjijikan. Setara dengan babi-babi yang selalu mengendus-endus kotoran yang keluar dari perut raja-raja kecil di setiap apartement atau perumahan elite.
Maya kau malaikat secantik bidadari yang kutemui di antara para bidadari yang berlenggok di surga-surga imitasi. Mereka tak bisa menyembunyikan taringnya kala bibirnya menebar senyum. Kau lebih ayu dan semilak, ketika air pegunungan itu menyiram. Kau tak perlu bedak! Sebab sudah kau taburkan syafaat setiap pagi. Inilah bidadari yang kukasihi, kepadanyalah aku selalu menyampaikan kekaguman semesta alam. Dia bukanlah utusan yang diturunkan ke dunia, tapi ia adalah bidadari, pelukis dari surga bagi domba-domba yang terpecah dari segala penjuru kolong langit.
Ah, mengertikah engkau tentang ini? Tentang kerinduan lelaki terhadap bidadari dari surga yang sekilas aku bisa melihatnya, tanpa mantera. Ia besyafaat setiap hari untukku. Ia menaruh sebatang lilin untuk kunyalakan, ketika giluta menggeliat, menyekapku dalam lorong-lorong waktu yang tak kuketahui ujungnya. “Sam, di mana kau?”
“Aku di sini menunggumu!”
“Apa kau melihat pemetik kecapi yang baru saja meniupkan bisikan di telingaku?”
“Siapa?”
“Seorang pangeran yang gagah.”
“Di mana kau kenal.”
“Dalam mimpi.”
“Ah kau bercanda.”
“Sumpah, langit dan bumi tak akan kupertaruhkan.”
“Lantas siapa pangeran yang kau cari?” jawabku seraya mendongak mencari di mana ia hinggap. Oh Amboi cantiknya. Maya turun menjadi kupu-kupu. Genit gemulai tangannya melukis gerak tari bayangannya di atas bunga matahari yang mulai menguning. “Di mana Sam? Tahu tidak?”
“Bukankah pangeran-pangeran itu terlalu angkuh? Sudikah engkau di suntingnya?”
“Kau salah Sam. Ia baru saja dinobatkan dan di angkat dari comberan pinggiran jalan.”
“Siapakah ia?”
“Seorang lelaki yang berjubah putih dengan mahkota daun nangka melingkar di kepalanya. Rambutnya sedikit ikal. Badannya tidak terlalu kekar.”
Aku tak bergeming sedikitpun. Tak ada sesuatu yang kudengar lagi. Sedangkan Maya sudah terburu-buru terbang mencari pangeran yang semalam ia impikan.
Langit terbuka. Merpati terbang berputar-putar di atasnya. Angin perlahan berdesir lembut. Cahaya nampak kemilau lebih terang dari matahari. “Inilah anakku yang kukasihi kepadanyalah aku berkenan 1.”
Suara asing kudengar. Kata-kata itu nyaris seperti yang diungkapkan para pendeta dalam kebaktian. “Maya, kau kah itu?”
“Bukan, memang kau dengar apa Sam?”
“Ah, biasa,” jawabku sedikit menyembunyikan ketakutan yang maha dasyat.
Pergilah ke telaga! Aku tunggu kau di sana. Mari kita tengok tubuh-tubuh yang telanjang membersihkan dirinya dari segala macam debu. Mereka adalah perantau. Salah satu dari perantau itu adalah pangeran yang sekarang kucari. Di mana dia?”
“Maya tidakkah kau lupa sering bersyafaat bagiku? Apakah kau dengan seenaknya bersyafaat bagi orang lain? Malaikat, setan, dan segala mahkluk yang belum sama sekali pernah kulihat?” teriakku.
Matahari perlahan merambat ke ufuk barat. Menggeser langit biru hingga kembali memerah. Aku merasa kehilangan Maya. Aku harus bertemu dengannya sebelum matahari bersembunyi di balik gunung. Sebelum tak kulihat lagi kepak sayapnya terbang mengitariku kala aku berteduh di sebuah taman. Maya pernah memberikan tanda salib di keningku. Namun tanda itu musnah tersapu angin, air dan debu-debu yang setiap hari melintas menjadi serigala rakus yang menerkam mangsanya.
“Maya, kau tahu, aku ingin mencarinya bukan?” keluhku.
Aha, lihatlah, wajah Maya berseri-seri, terbang mengitari taman bunga. Kecantikan yang maha dasyat, sapuan kepak sayapnya tak menutupi semilak wajah ayunya, tanpa make up atau cat rambut. Namun barisan bunga yang merekah menangisi kepergiannya. Tangisnya menderu seperti mesin godam penghancur bumi. Karena Maya mulai patah arang, enggan lagi mencari pengeran itu, dan tentu saja juga enggan turun lagi ke bumi.
Anak-anak kecil berlari melambat di antara gumpalan-gumpalan awan dan domba-domba putih. Di tengah pintu langit yang terbuka sore itu, mereka melambai-lambaikan tangannya. Sedangkan Maya semakin bingung, di mana ia bisa menemukan pangeran itu.
“Maya? Kau tak jadi mencarinya di telaga?”
”Mustahil, telaga dan mata air mengering.”
”Oh, iya, siapa tahu ia sedang menuai padi yang menguning sore ini?”
“ya Tuhan, ampunilah!”
Dia berada di sawah-sawah. Sedari pagi sepertinya aku melihat ia mengenakan jubah dan bermahkotakan jerami-jerami dan daun nangka. Ia menenteng kecapi sembari melantunkan Mazmur. Bisakah aku ikut mencarinya? Lihat! para malaikat kecil sudah memanggilnya. Domba-domba yang pulang telah menunggunya. Lihat, langit juga menguning. Bukankah ia terlambat kau panggil pulang? Kau akan tenggelam di lautan jerami. Sayapmu pasti akan robek tersayat tanduk-tanduk belalang.
“Ah tanduk belalang terlalu lunak bagiku,” jawab Maya. Panji dan gada telah kupinjam darinya. Tapi aku harus mengajaknya pulang. Sebab ladang telah menguning. Biarlah ia memetik berkarung-karung buah-buah surga, lantas mengangkutnya. Membagikannya sambil melantunkan nyanyian-nyanyian Daud.
“Maya, cepat kau panggil dia! Aku ikut!” seruku.
Aku mengejar Maya yang terbang menyusuri jalanan setapak. Aku lihat ia nampak lebih cantik dari biasanya. Ia tinggalkan jaring-jaring syafaat ke arah mukaku. Jaring-jaring bercahaya, tak panas dan tak silau. O, jaring-jaring manusia yang dasyat diturunkan di bumi untuk menjemput para pengabdi surga. Menjadi pewaris tunggal yang abadi. Sedangkan leher pangeran itu berkalungkan kecapi. Tak sedikit pun sisa comberan di muka, tubuh dan setiap lekuk tubuhnya. Ia masih mengenakan jubah putih itu. Nampak melebihi raja-raja yang berkuasa dan bertahta di atas bumi. Yah ialah pangeran yang segera dinobatkan, tanpa ijasah dan tinta-tinta palsu.
Aku lihat ladang telah habis tertuai. Pangeran itu terbang dengan kepak sayapnya. Lantas Maya terbang melesat menuju ribuan malaikat kecil berjubah putih yang memanggilnya dari pintu langit.
Oh, langit terbuka, malaikat-malaikat kecil bersorak sorai, tepuk tangannnya riuh terdengar hingga menggoncangkan pondasi-pondasi angkuh barisan istana para setan di segala zaman. Yah, aku harus menyusulnya. Waktunya telah tiba, aku harus kembali menebar benih-benih di ladang itu. Sebab padi cepat kali menguning. Hari sudah menjelang malam. Aku harus kembali istirahat. Pagi kita bekerja lagi. Membajak ladang yang sempit namun subur, sebab semua telah menjadi menara dan berhala bertopeng sangar. Tak ada lagi waktu untuk menangis, merenung dan bermalas-malasan.
Langit kembali tertutup. Sorak-sorai malaikat masih terdengar bergemuruh, menyisakan senyuman tulus dari pilu dan peluh yang menetes. Ufuk barat masih menyisakan sedikit cahaya. Maya dan pangeran itu hanya nampak bayang-bayangnya, kala matahari yang beranjak pulang menyiramkan jingga. Mereka melambaikan tangan kepadaku.
Solo, Juni 2007

Teruntuk Eko Nugroho, salamku kepada Bapa…

dimuat di Majalah GONG Edisi 93, Agustus 2007

Jumat, 20 Juni 2008

Posted by Picasa

Cerpen Kebangkitan Mbah Sudrin

Kebangkitan Mbah Sudrun

“Pergi kamu!”
Mbah Sudrun menatap sinis sosok tinggi besar pembawa cambuk di sudut kegelapan, yang merah bola matanya. Mbah Sudrun memaksakan diri untuk berani menantangnya karena tak ingin siksaan itu menimpa dirinya.
Tidak bisa, ini sudah menjadi tugasku!”
”Tugasku juga belum selesai,” sahut Mbah Sudrun, kemudian dengan susah payah mencoba keluar dari gundukan tanah basah yang kurang lebih 12 jam menguburnya. Keringat yang mengaliri tubuhnya terasa asin saat merasuki mulutnya yang keriput. Kain pocong yang masih mengikat tubuhnya membuatnya kesulitan untuk keluar dari liang kubur.
Namun situasi sulit bukan hal yang baru baginya. Semasa masih muda, ia biasa bersembunyi di balik lumpur-lumpur untuk menyerang pasukan Van Bengkok. Bahkan ia sering mengeluarkan jurus ambles bumi untuk menjebak tentara kompeni. Tapi perjuangannya tidak membuahkan penghormatan dan penghargaan, sejak Mbah Sardi memfitnahnya pernah bergabung dengan Barisan Pinggir. Padahal ia tidak tahu menahu tentang kelompok itu.
Gundukan tanah yang berat, basah dan merekat berhasil dibongkarnya. Dua mahasiswa KKN yang sedang asyik di kuburan itu sontak terperanjat. Si mahasiswa terbirit-birit meninggalkan pacarnya sendirian, sedangkan seorang mahasiswi perempuan ketakutan sambil menutupi tubuhnya dengan jas almamater. Kemudian pingsan lantaran melihat Mbah Sudrun yang masih mengenakan kain pocong meloncat-loncat keluar dari permakaman.
Kedatangan Mbah Sudrun tak pelak membuat Kampung Ngasemtenan geger. Pemabuk yang memenuhi pos ronda lari terkencing-kencing, memanjat pohon kelapa, dan pingsan. Bahkan ada yang langsung melepas baju dan celana karena percaya hal tersebut dapat mengusir setan. Hanya seorang yang berani mengajaknya berkelahi. Ia adalah Narto Srampang, salah satu murid Perguruan Beladiri Pernapasan Sayap Cinta Sejati.
”Pergilah ke asalmu!”
”Pergilah sendiri!” sahut Mbah Sudrun.
Mbah Sudrun tak menghiraukan pemuda itu. Kemudian berjalan cepat ke rumahnya, seperti ada sesuatu yang hendak disampaikan. Di rumah Mbah Sudrun, Pak Lurah sudah berada di antara para sesepuh, perangkat desa, RT dan RW. Mereka menghitung satu persatu jasa-jasa Mbah Sudrun terhadap kampung semasa masih hidup.
”Ingat! Mbah Sudrun lah yang mengusulkan nama kampung ini. Nama Ngasemtenan itu karena segala makanan yang ada di kampung ini, asam rasanya. Kebetulan semasa penduduk belum sebanyak ini, masih dijumpai barisan pohon-pohon asam raksasa. Semua warga di kampung ini juga asam bau badannya, meskipun sudah pakai minyak wangi!” kata Pak Lurah.
”Betul, karena itulah banyak turis-turis yang berdatangan ingin merasakan segala yang asam di kampung ini. Warsiyah, Sartiyah, Jumino, dan Kuntadi malah menikah dengan turis bule,” sahut Pak Carik.
”Karena jasa-jasanya itulah kita perlu memberikan penghormatan kepada almarhum!”
Pak RW tiba-tiba menunjukkan jari dan memberi usul. ”Menurut saya, Mbah Sudrun tidak mungkin marah kalau tidak diberi penghormatan, lha wong beliau sudah mati! Mau apa lagi”
”Hus! Lambemu bisa diatur tidak! Dengan orang yang sudah meninggal mbok jangan begitu!”
”Weleh, beliau itu sekarang sedang pusing mikir, apakah dia nanti masuk surga, atau neraka! Kok malah kita yang pusing!”
”Bagaimana kalau kita dirikan monumen Mbah Sudrun, sebagai pahlawan bagi kampung ini! Piye? ini memiliki selera seni yang tinggi!”
”Dan itu didirikan di perempatan gang bernama gang Mbah Sudrun.”
”Cocok sekali!”
”Apanya yang cocok?” sahut Mbah Sudrun tiba-tiba di depan pintu. Tak ayal semua yang rapat malam itu ketakutan. Karena masih mengenakan kain pocong yang kotor oleh tanah, Pak RT kumat jantungnya, lalu tersungkur, Pak RW lari meninggalkan rumah joglo berdinding kayu jati tersebut sambil terkencing-kencing. Pak Carik perutnya langsung sakit dan berlari ke WC.
Namun Pak Lurah, Pak Basri dan Pak Samun tetap tinggal di rumah itu. Bahkan Pak Lurah segera melepas baju dan celananya karena percaya bahwa apa yang dilakukannya dapat mengusir setan.
”Sejak dulu aku tidak pernah diberi gelar pahlawan! Di surga gelar sudah menantiku!” seru Mbah Sudrun. ”Pakai pakaianmu! Lurah kok nggilani!”
Pak Lurah lekas kembali mengenakan celana dan kemeja batiknya.
”Pembicaraan kalian membuat tidurku tidak tenang! Ayo, makamkan aku sekarang!”
Mendengar permintaannya, Pak Lurah, Pak Basri dan Pak Samun saling pandang dan bingung sendiri. Mereka membisu beberapa saat.
”Ayo, tunggu apalagi? Tubuhku keburu busuk!!” bentak Mbah Sudrun.
Akhirnya mereka menuruti permintaannya. Upacara pemberangkatan jenazah dilakukan seadanya. Sementara Kampung Ngasemtenan terasa begitu sunyi, lain dari malam yang sudah-sudah. Gardu perempatan jalan juga ditinggalkan para peronda dan pemabuk. Orang-orang terlelap, hanyut dalam siaran wayang radio yang berjudul Bhisma Gugur. - Cerpen Abednego Afriadi

dimuat di SOLOPOS Edisi : Minggu, 02 Maret 2008 , Hal.V

Selasa, 17 Juni 2008

Cerpen 1

Mata penambang pasir
Oleh : Abednego Afriadi
Pulau di tengah sungai itu rimbun. Lautan daun nampak merapat melambai-lambai ditiup angin. Kira-kira seluas 30 hektar, pulau itu berjarak sekitar 30 meter dari bantaran sungai, tempat kami tinggal sepuluh tahun lalu. Lautan jingga di atap langit menyemburat bagai lukisan hidup yang menaungi tanah tempat kaki berpijak. Adzan Magrib melintas sayup-sayup bersahutan.
Aku menunggu suara Sukro yang kata orang-orang sekitar masih sering tertawa bermain tembak-tembakan. Aku hanya terjerembab dalam kengungunan saat para penambang pasir liar dari desa seberang sungai satu-persatu meninggalkan bantaran pada bulan ini mulai kering. Padas-padas berukirkan rumah binatang air memandang dingin sampah-sampah yang mengalir serta hitam pekatnya warna air sungai.
Seorang penambang pasir lantas menghampiriku setelah mengikat tali rakit di tepi sungai. Dia memandangku dengan ekspresi sinis. Tubuhnya gemuk, kulitnya berwarna hitam seperti bekas sengatan terik siang bolong. Mata kanannya lebih kecil dari mata kirinya. “Ada apa?” ia bertanya, “Apakah tidak ada kerjaan selain berdiri di tepi sungai?”
“Apakah di pulau itu sekarang masih dipakai anak-anak bermain?”
“Jangan tanyakan itu lagi! Pulau itu sudah digusur. Jangan membuka luka lama kami!” serunya, “Suara anak kecil bermain itu karena trauma, jadi kata orang-orang yang pernah tinggal di bantaran ini terbayang-bayang terus bocah yang dulu pernah tewas di pulau itu.”
“Bagaimana dengan bangunan sarang wallet itu Pak?”
Orang itu malah mendorongku, hingga tubuhku terjongkok. Mukanya memerah, keringatnya bercucuran membasahi muka dan kaos putih kumal yang dikenakannya. “Sekali lagi jangan kau paksakan aku mengingat kematian bocah itu, atau tentang pulau yang dipenuhi setan itu! Biar saja digusur! Aku mantan Lurah, dulu memang aku yang meminta digusur! Banyak orang maksiat di pulau itu! Menyusul pembunuhan, judi dan bunuh diri!”
“Lalu bagaimana dengan orang-orang yang digusur?”
“Sebagian masih di sini, sebagian tewas dilindas bencana karena nekad dirikan rumah di pulau itu,” jawab mantan Lurah itu, sembari mendorong dadaku hingga aku terjatuh terkapar di semak-semak,”Sudah, jangan tanya macam-macam, atau aku remukkan kepalamu dengan cangkul ini!”
“Tidak, maksudku aku hanya ingin mencari temanku Sukro! Apakah dia ikut tertimbun di dalam tanah?” ucapku sembari kembali bangkit.
“Sukro?Kau pikir dia masih hidup?” jawab orang itu,”Sukro sudah mati jauh hari sebelum penduduk pulau itu rata oleh tanah! Dia dibunuh karena berebutan sarang walet di bangunan itu!”
Orang itu bergegas meninggalkanku dan berjalan melewati tanggul ke arah timur. “Tidak mungkin, seminggu lalu aku bertemu dengannya di sebuah proyek bangunan, kamu pembohong!” Orang itu lantas berlari ke arahku dengan nafas tersengal,”Kau pasti bertemu hantunya!”
Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tidak mungkin Sukro mati, tidak mungkin. Lantas orang itu berlari seperti enggan lagi bicara denganku dan hilang ditelan kegelapan. Kini aku hanya menatap pulau itu. Pulau yang menurut orang-orang sudah digusur, padahal aku masih melihatnya dengan jelas, pulau itu masih rimbun dipenuhi latuan dedaunan. Di pulau itulah aku dan kakak sulungku selalu melewatkan hari. Kami sering bermain perang-perangan, lantas memetik buah semangka yang menjalar subur. Buah semangka yang segar dan tidak mungkin cukup kami beli dengan recehan sisa uang saku sekolah.
Namun begitu kakakku kelar dari sekolah dasar, aku sudah tidak lagi punya teman bermain perang-perangan, karena kakak-kakakku yang lain lebih asyik bermain pasar-pasaran di tegalan sungai. Seusai lulus SD kakakku sekolah di Yogjakarta menemani paman dan bibiku yang kebetulan tidak punya anak. Meski begitu pulau itu tetap menjadi istanaku. Aku mengajak Sukro, tetangga sekampung yang sebaya dengan kakakku. Sejak saat itulah aku mulai akrab dengan Sukro.
“Kita bermain ACI saja!” seru Sukro, “Kamu jadi pejuang atau Belanda?”
“Aku pejuang, aku punya bambu runcing,” ujarku dengan menenteng sebatang kayu pohon randu yang kuruncingkan dari rumah dengan pisau dapur ibu.
“Baik, aku yang jadi Belanda. Aku tembak kau dengan peluru tank,” begitulah Sukro berteriak sembari menaikki pohon asam yang tumbang karena semalam hujan deras disertai angin kencang. Sukro membidikkan bomnya dengan tangkai-tangkai pohon asam. Tak jarang ia lemparkan geranat tanah liat dengan suara,”ciiiuuuuu glerrrr.”
Kami saling mengincar, bahkan merunduk menghindari peluru yang terlempar. Aku merambat dengan tubuh tertutup tangkai dan dedaunan layaknya gerilyawan perang. Kami saling mengejar, menindih, menendang, dan menggelitik. Tubuh kami berguling-guling, lantas tertawa riang hingga suaranya menembus awan-awan putih yang tersebar memecah di langit biru yang nampak cerah.
Matahari semakin merambat ke arah barat, dan menampakkan jingganya. Sayup-sayup suara memanggil nama Sukro terdengar dari bantaran sungai. Dengan tubuh belepotan lumpur, kami menyeberangi sungai melalui gethek penambang pasir yang kebetulan kami dapat menjalankannya dengan menarik seutas tali yang diikatkan antara pohon bantaran sungai dengan pulau itu. Di bantaran sungai, Ibu Sukro nampak bertolak pinggang. Mukanya memerah dan siap mencubit paha Sukro hingga gosong.
Seperti biasa, Sukro memang selalu dimarahi ibunya jika ketahuan nekad bermain di pulau itu. Orang-orang kampung mengatakan, pulau itu angker dan dihuni hantu bercaping bernama Cing Mau Lau. Orang kampung juga percaya bahwa di pulau itu pernah dijadikan tempat pembantaian massal masa pemberontakan di negeri ini. Maka tak heran jika pulau itu setiap tahunnya diperingati orang-orang kampung dengan memasang sejumlah sesaji di tengah pulau itu. Tepatnya di atas prasasti itu berukirkan tahun masa pemberontakan yang belum ada satupun sejarah berani menulisnya. Sejak saat itulah, tak ada satupun orang tua yang mengijinkan anak-anaknya bermain di pulau itu. Hanya aku, kakakku dan Sukro yang nekad bermain jika ternyata tidak diketahui orangtua.
Suatu malam Sukro datang kerumahku dengan kaki telanjang mengetuk pintu rumahku. Ia bercerita, bahwa dirinya dihajar ibunya karena menghilangkan sendal jepit pemberian ibunya sewaktu Lebaran hingga tidak diperbolehkan tidur di rumah.
“Kamu tidur di sini saja! Kamu sudah makan belum?”
Sukro menggeleleng. Kebetulan malam itu di meja makan rumahku masih ada sayur oseng-oseng, nasi dengan sedikit sambal dan sepotong tahu bacam. Sukro makan dengan lahap, dan perlahan isak tangisnya terhenti. Bahkan tanpa sungkan-sungkan ia menambah sayur dan nasi, karena memang sudah terbiasa makan di rumahku. Ayah dan ibu juga tahu, Sukro adalah orang tak mampu, dan kebetulan dengan adanya Sukro, aku tidak kesepian lagi sejak kakak sulungku sekolah di Yogja. Mereka lebih suka jika aku bermain dengan Sukro daripada bermain dengan teman-teman sebayaku di kampung. kata Ibuku aku nanti ketularan nakal kalau aku nekad bermain dengan orang-orang kampung. Sebab anak-anak yang sebaya denganku rata-rata suka ngutil makanan di warung, padahal mereka anak-anak orang mampu dengan penghasilan yang serba cukup bahkan lebih. Sedangkan Sukro hanyalah anak seorang buruh pengisi tempayan atau bak mandi serta tukang cuci serabutan. Ayahnya pergi tanpa pamit sejak dia masih berumur dua tahun. Maka tak heran jika orang-orang kampung menjauhinya. Selain karena miskin, pembawaan Sukro selalu membuat sial orang-orang kampung. Pakaiannya yang lusuh dan tak pernah ganti, membuat hidung orang-orang tergelitik, ingin mengusirnya.
Sejak tamat SD, Sukro tak lagi melanjutkan sekolah, Ibunya tidak kuat membeayainya, belum dengan dua orang adik perempuannya yang masih kecil-kecil.
Meski demikian, Sukro juga turut membantu Ibunya dengan kerja serabutan. Terkadang menjadi kuli bangunan, bahkan menjadi tukang cat serabutan di rumah tetangga yang memang selalu hobi merubah rumah, meski dengan beaya mahal.
Kampung itu kian tahun dipadati rumah-rumah. Para pendatang dari kota memenuhi tanah-tanah di sekitar tanggul yang sebenarnya milik pemerintah. Papan bertuliskan dilarang membangun hanya menjadi hiasan pelengkap padatnya rumah tanah berkapling itu. Ada beragam tipe rumah, dari yang berlantai dua hingga gubuk reyot. Sepeda motor dengan berbagai merk Jepang nampak berseliweran.
Kampung itu juga sering didatangi orang-orang berpakaian perlente, dan perempuan-perempuan bergincu tebal, molek dan montok. Mereka mondar-mandir berpelukan tanpa menghiraukan orang yang ada di sekelilingnya. Bahkan sebagian ada pula yang berpelukan di bawah pohon-pohon rindang yang setiap malamnya gelap karena memang belum ada penerangan. Para pemabuk bertebaran di setiap perempatan gang. Suara desahan dan erangan terkadang sayup-sayup terdengar jika malam mulai lengang.
Karena itulah ayah memutuskan pindah rumah. Dan sejak saat itu aku tidak lagu bertemu dengan Sukro. Tak lagi melihat wajahnya yang bulat hitam dan berhidung pesek.
Terakhir sebelum pindah rumah, aku pernah melihat Sukro membayar tagihan hutang tukang kredit sembari mengajak makan ibu dan kedua adiknya di sebuah warung makan. Depalan tahun berlalu aku melihatnya terbaring lemah di ranjang kayu beralaskan tikar. Tubuhnya nampak kurus. Hampir setiap menit, ia terbatuk-batuk mengeluarkan darah lantas meludahkannya di sebuah cangkir logam.
“Kamu tidak periksa ke dokter?”
Ia menggeleng sembari menggesekkan jari telunjuk dengan ibu jarinya. Dahinya berkernyit.
“Kamu sakit apa sih? Kalau kamu tidak lekas periksa ke dokter, nanti akan bertambah parah! Biar aku yang beayai.!”
Dia masih menggeleng. Dengan suara serak dan berat, ia menjawab,
”Kamu jangan beritahu siap-siapa ya! Seminggu yang lalu aku mencari sarang walet di pulau itu. Aku bertemu dengan tiga orang berpakaian batik turun dari mobil, yang kebetulan sedang mencari sarang walet pula di rumah tua peninggalan Belanda itu. waktu itu aku dapat lebih banyak karena aku datang lebih awal. Jam empat pagi aku sudah ke sana. Kami sempat bertengkar. Lantas mereka mengeroyokku dan menjatuhkan sebongkah batu di dadaku.”
“Kamu tak lapor polisi.”
“Kalau lapor polisi, pasti nanti aku njuga kena karena kita sama-sama mencuri, sarang wallet itu milik seorang pengusaha.”
“Kau tahu nomor polisinya, biar aku carikan tukang pukul!”
“Biar aku balas dengan caraku sendiri,” bisiknya sembari menghela nafas panjang dan berat.
***
Sejak saat itu, aku belum bertemu lagi dengan Sukro. Kali ini aku berniat datang ke rumah Sukro, karena aku ingin menawarkan pekerjaan di pabrik teman ayahku. Aku pikir pekerjaan itu lebih layak dan halal dari pada mencuri sarang walet milik orang lain.
Malam segera datang. Kampung yang sekarang rata dengan semak belukar itu semakin singup. Binatang malam mulai mengambil suara sebelum berpadu dalam sebuah nyanyian. Sedangkan pohon-pohon pulau di tengah sungai itu masih terlihat rindang. Semak belukar menjulang hingga setinggi dua meter. Mungkin saat ini aku harus meninggalkan bantaran sungai ini. Namun sebelumnya, aku lihat dari balik pohon pisang, dua orang anak tertawa riang sembari membawa tangkai pohon asam yang baru saja tumbang. Dua orang anak itu yang satunya kurus yang satunya gemuk. Lalu aku dengar sayup-sayup seorang ibu memanggil nama Sukro.
Langit makin hitam, angin mendesir dingin. Agaknya hujan akan segera turun. Mungkin aku harus bergegas meninggalkan tempat ini sebelum hujan mengguyur deras. Lagi pula aku tidak membawa manthel hujan. Sedangkan tawa cekikian dua orang anak tadi masih terdengar sayup-sayup di telingaku, yang satunya aku hafal betul, itu suara Sukro…suara Sukro..
Keesokan harinya aku baca di lembar surat kabar, Sukro mati tertembak polisi dalam sebuah aksi perampokan. Dalam berita itu tertulis, Sukro adalah buronan kelas wahid.
Solo, Desember 2005
Catatan : - ACI (Aku Cinta Indonseia) : judul Film di TVRI yang bercerita tentang perjuangan para pahlawan melawan penjajah, sekitar tahun 80-an Film itu jadi film favorit anak-anak.
Singup : Sepi mencekam/ terkesan angker