Kamis, 20 Agustus 2009

Jendela Sunyi

Di kedalaman matamu, aku lihat hamparan pasir lautan menyerap buih-buih riak gelombang. Di kilau parasmu berjuta cahaya memecah, membutir-butir di pekatnya langit. Desau angin mengusapmu dengan ingatan-ingatan tentang kisah kita.
Kau berdiri bersedekap, merindu pelukan. Seperti berpuluh-puluh pasang anak manusia yang saling mendekap, melumat, dan berguling-guling di pantai, tanpa pedulikan kesedihanmu. Mungkin juga kesedihan suami, istri, pacar, mertua, anak, saudara yang menunggu mereka di rumah. Lantas kau biarkan bening telaga sunyi tertumpah di kelopak matamu. Hangat merasuk bibir.
Kau tetap berdiri membiarkan syal yang terikat di leher jenjangmu melambai-lambai, sesekali berhenti semampir di pundakmu. Ah, ada saja yang membuatmu teringat aku. Lagu itu. Lagu yang dilantunkan pengamen berwajah negro, berambut gimbal itu, menggetarkan ingatan. Petikan gitarnya sebening danau matamu. Lagu lama itu sering kita lantunkan di pantai ini, jika jingga menoreh senja, dan deru ombak mengiring pulangnya para nelayan.
Arini, kau tak mengira. Dari jendela penginapan, ada seraut wajah penuh sesal menghadap, menembus hingga ke pantai, di mana kau berdiri. Tapi tiba-tiba dari belakang sosok lelaki mendekatinya, mendekap paksa. Kemudian malam menjadi jahanam baginya. Badcover telah kusut oleh pemberontakan, dan darah mengucur mengakhiri nafasnya. Lelaki itu lantas pergi ke sebuah kota yang jauh dari pantai ini.
....Perempuan tanpa identitas ditemukan mati misterius. Pembunuh tidak meninggalkan jejak. Diduga pembunuh adalah pacar korban...., berita untukmu.
***
¨Yok, dari rekaman suara ini, dipastikan korban dibunuh! Mustahil kalau bunuhdiri!”seru Pak Kepala Satuan Reskrim tempat di mana ku bertugas. Semua itu hanya untuk mengelabuhi kita, bahwa pelaku adalah pacar korban!¨
¨Maaf, Pak saya harus cuti!¨
¨Jangan dulu! Ambil cuti lain kali saja! Ini sangat urgen! Bayangkan sudah tiga tahun kasus ini belum terungkap. Pelaku lebih lihai dari para teroris yang berhasil kita tangkap!¨
Hari ini juga aku harus SMS isteriku, bahwa rencana piknik ulang tahun anakku batal. Segala risiko harus kutanggung. Omelan istri, protes anak biarkan saban hari kudengar, kubaca, dan mengorok kotoran telinga.
¨Hanya dengan jendela kantor aku berbicara dalam imajinasi sunyi. Tapi sering kali aku terganggu saat dari gerbang halaman masuk seorang perempuan secantik Arini yang ditemukan mati telanjang. Tapi kali ini tangannya diborgol. Oh, pagi yang cerah....
***
Pembunuh itu juga tidak mungkin ketemu. Aku begitu yakin sebab tak ada lagi jendela sunyi. Semua riuh. Banyak orang-orang bergegas, terbunuh, dibunuh, diburu, menerocos, merayu, membujuk, merangsang, berbaju malaikat, telanjang, fitnah, bencana, keringat, airmata, kota, hutan, pesisir, bantaran kali, lereng gunung, lautan lumpur, seruan perang..ahhh..mungkin ia bersembunyi di antara keriuhan itu?
Jendela sunyi hanya kutemukan ketika aku terdiam di ruangan pengap ini. Dengan tangan yang diborgol, dengan jeruji besi yang menghadang. Di jendela sunyi inlah, aku bisa melihat Rastri, dan Lintang, anakku menunggu di pintu rumah, menyambutku gembira, dengan secangkir kopi susu hangat, sepiring nasi goreng telur udang, dan burung perkutut teras rumah yang sejuk meniupkan merdu.
Dan di jendela sunyi itulah, aku melihat Romo Smith memimpin misa paskah, di antara lilin perkabungan yang menusuk seribu sesal dosa, raut sedih Isa di kayu penghakiman, dan berseru..Eloiiii..Eloiii.....
Sipir menghampiriku. Ia membuka kunci pintu, lantas membawaku ke luar dengan kondisi masih terborgol. Ternyata di ruang besuk, Frater Sapto, teman sekelas semasa SMAku menjenguk.
¨Semoga Tuhan mengampunimu! Kenapa kau bunuh mereka? Apa salah mereka?¨
Saya linglung.
¨Tidak mungkin!!!Tidak mungkin!!!¨
¨Anak, istri Anda sendiri...Anda tega?¨ tanyanya lagi dengan halus, membuatku sungkan dan menganggapnya sudah bukan lagi teman sekelas yang saling mencaci maki. Melainkan calon pastur karismatik yang disegani.
¨Anda sadar tidak?¨
¨Tidak mungkin!!!!¨ berat aku mengatakannya. ¨Tangan saya..ohh..oh..bergerak sendiri...eh..bukan...maksud saya...saya seperti pingsan...jendela itu terlalu riuh, bising, menakutkan, berahi, dan ...
¨Mintalah ampun dalam doa kita, mari!!!¨ ajaknya.
Selebihnya gelap. Frater Sapto, Suster Rebeca, Romo Smith, Patung Isa, Bunda Maria, Kidung Liturgi, Nyanyian Sekolah Minggu, mengajakku menari dalam dunia yang semakin jauh kugapai semula, ketika jendela masih sunyi. Ketika hymne perkabungan Kristus mengusap jidatku pelan-pelan.
Selebihnya lagi, dooor...dorrr.dorrrr..desingan peluru menghantarkanku pada ruangan gelap berjendela sunyi. Aku lihat di sekitar liang kubur sudah dipenuhi para wartawan, dan teman-temanku di markas. Namaku tertulis dalam salib kayu putih penanda kuburan. Bungai..bunga mawar menyelimuti.
Selebihnya jendela sunyi
Entah sampai kapan?
Mrican, 24 Maret 2009

Jumat, 27 Maret 2009

Karakter Rakyat Wonogiri

KARAKTERISTIK ORANG WONOGIRI
KARAKTERISTIK ORANG WONOGIRI
Seperti diketahui dalam data sejarah, Mangkunegara I dalam mengendalikan kerajaanya membagi sifat penduduk daerah Wonogiri menjadi 5 daerah karakter. Meliputi antara lain sebagai berikut :

· Daerah NGLAROH [ wilayah Wonogiri bagian utara, diantaranya mencakup wilayah kecamatan Selogiri ], memiliki karakteristik BANDOL NGROMPOL. Artinya sifat masyarakat di Nglaroh ini pada umumnya kuat rokhani dan jasmani, memiliki sifat bergerombol. Sifat mereka ini sangat positif dalam kaitan menggalang kesatuan dan persatuan. Mereka juga bersifat pemberani , suka berkelahi, membuat keributan yang jika mampu memanfaatkan potensi masyarakat Nglaroh ini, akan menjadi semacam kekuatan dasar yang kuat demi perjuangan.
· Daerah SEMBUYAN. Meliputi daerah Wonogiri bagian selatan [ sebagian daerah ini telah tenggelam ke dalam genangan waduk gajah mungkur ]. Masyarakat Sembuyan ini memiliki karakter sebagai KUTUK KALUNG KENDHO. Masyarakat di Sembuyan ini, lebih bersifat penurut, mudah diperintah pimpinan atau bersifat masyarakat PATERNALISTIK. Karena itu, ketika pemerintah Orde Baru membangun waduk gajah mungkur seluas 8.800 ha yang menenggelamkan 51 desa di 7 wilayah kecamatan serta harus memindahkan 60 ribu jiwa penduduknya, hampir tak menemui kendala yang cukup berarti.
· Daerah WIROKO. Wilayah ini meliputi kali wiroko dan sekitanya atau berada di bagian tenggara wilayah Kabupaten Wonogiri atau tepatnya di wilayah kecamatan Tirttomoyo dan sekitarnya. Masyarakat Wiroko ini memiliki karakteristik sebagai KETHEK SERANGGON. Seperti layaknya kera, suka hidpu bergerombol. Tapi memiliki sfat sulit diatur, mudah tersinggung dan agak longgar dalam tata krama sopan santun. Jika didekati mereka adakalany bersifat kurang mau menghargai, tetapi jika dijauhi mereka sakit hati. Orang jawa mengatakan mereka itu lebih bersifat masyarakat yang gampang-gampang angel [gampang-gampang sulit].
· Daerah KEDUWANG. Meliputi daerah Wonogiri bagian timur. Karakter masyarakatnya dikenal sebagai LEMAH BANG GINEBLEGAN. Yakni bagai tanah liat yang bisa menjadi padat jika ditepuk-tepuk. Masyarakat ini suka berfoya-fffoya, boros dan agak sulit untuk diperintah. Tapi bagi pemimpin yang mampu memahmi sifat dan karakteristik mereka, ibarat mampu menepuk-nepuk layaknya sifat tanah liat, sebenarnya mereka akan menjadi mudah diarahkan demi tujuan positif.
· Daerah HONGGOBAYAN. Mencakup wilayah Wonogiri bagian timur laut, yang sebagian diantaranya kini telah masuk wilayah kabupaten Karanganyar, masyarakat Honggobayan memiliki sifat layaknya ASU GALAK ORA NYATHEK. Ibarat anjing galak [ suka menggonggong ] tapi tidak menggigit. Sepintas dilihat dari tutur kata dan bahasanya, masyarakat Honggobayan memang kasar dan keras bahkan menampakkan sifat sombong dan congkak serta tinggi hati, sehingga ada kesan , mereka sepintas memang menakutkan. Namun demikian sebenarnya mereka baik hati. Perintah apapun dari pemimpinannya akan dikerjakan dengan baik.

HUJAN KUTUK DI JAWA

PANEMBAHAN SENOPATI
Danang Sutawijaya/ Panembahan Senopati adalah pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601, bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Tokoh ini dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram. Riwayat hidupnya banyak digali dari kisah-kisah tradisional, misalnya naskah-naskah babad karangan para pujangga zaman berikutnya.
Danang Sutawijaya adalah putra sulung pasangan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah. Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga. Hal ini seolah-olah menunjukkan adanya upaya para pujangga untuk mengkultuskan raja-raja Kesultanan Mataram sebagai keturunan orang-orang istimewa.
Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang kemudian diangkat sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam mengatur strategi menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.
Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang sebagai pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai anak. Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar sehingga ia pun terkenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar.
Peran Awal
Sayembara menumpas Arya Penangsang tahun 1549 merupakan pengalaman perang pertama bagi Sutawijaya. Ia diajak ayahnya ikut serta dalam rombongan pasukan supaya Hadiwijaya merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala bantuan. Saat itu Sutawijaya masih berusia belasan tahun.
Arya Penangsang adalah Bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto raja terakhir Kesultanan Demak. Ia sendiri akhirnya tewas di tangan Sutawijaya. Akan tetapi sengaja disusun laporan palsu bahwa kematian Arya Penangsang akibat dikeroyok Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi, karena jika Sultan Hadiwijaya sampai mengetahui kisah yang sebenarnya (bahwa pembunuh Bupati Jipang Panolan adalah anak angkatnya sendiri), dikhawatirkan ia akan lupa memberikan hadiah.
Memberontak Terhadap Pajang
Usai sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan menjadi bupati di sana sejak tahun 1549, sedangkan Ki Ageng Pamanahan baru mendapatkan tanah Mataram sejak tahun 1556. Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan tahun 1575, Sutawijaya menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin Mataram, bergelar Senapati Ingalaga (yang artinya “panglima di medan perang”).
Pada tahun 1576 Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil dari Pajang tiba untuk menanyakan kesetiaan Mataram, mengingat Senapati sudah lebih dari setahun tidak menghadap Sultan Hadiwijaya. Senapati saat itu sibuk berkuda di desa Lipura, seolah tidak peduli dengan kedatangan kedua utusan tersebut. Namun kedua pejabat senior itu pandai menjaga perasaan Sultan Hadiwijaya melalui laporan yang mereka susun.
Senapati memang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka. Ia sibuk mengadakan persiapan, baik yang bersifat material ataupun spiritual, misalnya membangun benteng, melatih tentara, sampai menghubungi penguasa Laut Kidul dan Gunung Merapi. Senapati juga berani membelokkan para mantri pamajegan dari Kedu dan Bagelen yang hendak menyetor pajak ke Pajang. Para mantri itu bahkan berhasil dibujuknya sehingga menyatakan sumpah setia kepada Senapati.
Sultan Hadiwijaya resah mendengar kemajuan anak angkatnya. Ia pun mengirim utusan menyelidiki perkembangan Mataram. Yang diutus adalah Arya Pamalad Tuban, Pangeran Benawa, dan Patih Mancanegara. Semuanya dijamu dengan pesta oleh Senapati. Hanya saja sempat terjadi perselisihan antara Raden Rangga (putra sulung Senapati) dengan Arya Pamalad.
Memerdekakan Mataram
Pada tahun 1582 Sultan Hadiwijaya menghukum buang Tumenggung Mayang ke Semarang karena membantu anaknya yang bernama Raden Pabelan, menyusup ke dalam keputrian menggoda Ratu Sekar Kedaton, putri bungsu Sultan. Raden Pabelan sendiri dihukum mati dan mayatnya dibuang ke Sungai Laweyan.
Ibu Pabelan adalah adik Senapati. Maka Senapati pun mengirim para mantri pamajegan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya.
Perbuatan Senapati ini membuat Sultan Hadiwijaya murka. Sultan pun berangkat sendiri memimpin pasukan Pajang menyerbu Mataram. Perang terjadi. Pasukan Pajang dapat dipukul mundur meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak.
Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dalam perjalanan pulang ke Pajang. Ia akhirnya meninggal dunia namun sebelumnya sempat berwasiat agar anak-anaknya jangan ada yang membenci Senapati serta harus tetap memperlakukannya sebagai kakak sulung. Senapati sendiri ikut hadir dalam pemakaman ayah angkatnya itu.
Menjadi Raja
Arya Pangiri adalah menantu Sultan Hadiwijaya yang menjadi adipati Demak. Ia didukung Panembahan Kudus berhasil merebut takhta Pajang pada tahun 1583 dan menyingkirkan Pangeran Benawa menjadi adipati Jipang.
Pangeran Benawa kemudian bersekutu dengan Senapati pada tahun 1586 karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai sangat merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri tertangkap dan dikembalikan ke Demak.
Pangeran Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak. Senapati hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram.
Pangeran Benawa pun diangkat menjadi raja Pajang sampai tahun 1587. Sepeninggalnya, ia berwasiat agar Pajang digabungkan dengan Mataram. Senapati dimintanya menjadi raja. Pajang sendiri kemudian menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Pangeran Gagak Baning, adik Senapati.
Maka sejak itu, Senapati menjadi raja pertama Mataram bergelar Panembahan. Ia tidak mau memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana pemerintahannya terletak di Kotagede.
Memperluas Kekuasaan Mataram
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, daerah-daerah bawahan di Jawa Timur banyak yang melepaskan diri. Persekutuan adipati Jawa Timur tetap dipimpin Surabaya sebagai negeri terkuat. Pasukan mereka berperang melawan pasukan Mataram di Mojokerto namun dapat dipisah utusan Giri Kedaton.
Selain Pajang dan Demak yang sudah dikuasai Mataram, daerah Pati juga sudah tunduk secara damai. Pati saat itu dipimpin Adipati Pragola putra Ki Panjawi. Kakak perempuannya (Ratu Waskitajawi) menjadi permaisuri utama di Mataram. Hal itu membuat Pragola menaruh harapan bahwa Mataram kelak akan dipimpin keturunan kakaknya itu.
Pada tahun 1590 gabungan pasukan Mataram, Pati, Demak, dan Pajang bergerak menyerang Madiun. Adipati Madiun adalah Rangga Jemuna (putra bungsu Sultan Trenggana) yang telah mempersiapkan pasukan besar menghadang penyerangnya. Melalui tipu muslihat cerdik, Madiun berhasil direbut. Rangga Jemuna melarikan diri ke Surabaya, sedangkan putrinya yang bernama Retno Dumilah diambil sebagai istri Senapati.
Pada tahun 1591 terjadi perebutan takhta di Kediri sepeninggal bupatinya. Putra adipati sebelumnya yang bernama Raden Senapati Kediri diusir oleh adipati baru bernama Ratujalu hasil pilihan Surabaya.
Senapati Kediri kemudian diambil sebagai anak angkat Panembahan Senapati Mataram dan dibantu merebut kembali takhta Kediri. Perang berakhir dengan kematian bersama Senapati Kediri melawan Adipati Pesagi (pamannya).
Pada tahun 1595 adipati Pasuruhan berniat tunduk secara damai pada Mataram namun dihalang-halangi panglimanya, yang bernama Rangga Kaniten. Rangga Kaniten dapat dikalahkan Panembahan Senapati dalam sebuah perang tanding. Ia kemudian dibunuh sendiri oleh adipati Pasuruhan, yang kemudian menyatakan tunduk kepada Mataram.
Pada tahun 1600 terjadi pemberontakan Adipati Pragola dari Pati. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Retno Dumilah putri Madiun sebagai permaisuri kedua Senapati. Pasukan Pati berhasil merebut beberapa wilayah sebelah utara Mataram. Perang kemudian terjadi dekat Sungai Dengkeng di mana pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Senapati sendiri berhasil menghancurkan pasukan Pati.
Akhir Pemerintahan
Panembahan Senapati alias Danang Sutawijaya meninggal dunia pada tahun 1601 saat berada di desa Kajenar. Ia kemudian dimakamkan di Kotagede. Putra yang ditunjuk sebagai raja selanjutnya adalah yang lahir dari putri Pati, bernama Mas Jolang.
Kepustakaan
Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu


PERPECAHAN DI JAWA
Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Jawa yang didirikan oleh Sutawijaya, keturunan dari Ki Ageng Pemanahan yang mendapat hadiah sebidang tanah dari raja Pajang, Hadiwijaya, atas jasanya. Kerajaan Mataram pada masa keemasannya dapat menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya termasuk Madura serta meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti wilayah Matraman di Jakarta dan sistem persawahan di Karawang.
Masa Awal
Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton (tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang.
Sultan Agung
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Kerta (Jw. "kertå", maka muncul sebutan pula "Mataram Kerta"). Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I).
Terpecahnya Mataram
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Pleret Bantul (1647), tidak jauh dari Kerta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.
Peristiwa Penting
1558 - Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang.
1577 - Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
1584 - Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar "Ngabehi Loring Pasar" (karena rumahnya di utara pasar).
1587 - Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat.
1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar "Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu (jawa: krapyak).
1613 - Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang. Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman"
1645 - Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
1645 - 1677 - Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang dimanfaatkan oleh VOC.
1677 - Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
1680 - Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura.
1681 - Pangeran Puger diturunkan dari tahta Pleret.
1703 - Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III.
1704 - Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.
1708 - Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai wafatnya pada 1734.
1719 - Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta II (1719-1723).
1726 - Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II.
1742 - Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam pengasingan.
1743 - Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.
1745 - Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton.
1746 - Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta III yang berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
1749 - 11 Desember Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada 1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
1752 - Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
1754 - Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
1755 - 13 Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
1757 - Perpecahan kembali melanda Mataram. R.M. Said diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".
1788 - Susuhunan Paku Buwono III mangkat.
1792 - Sultan Hamengku Buwono I wafat.
1795 - KGPAA Mangku Nagara I meninggal.
1813 - Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
1830 - Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta dan Surakarta dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto dan de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.


WONOGIRI DAN RM SAID
Tanggal 19 Mei 1741 merupakan hari penting bagi Raden Mas Said yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Sambernyawa. Sebab, pada hari itu beliau telah mendirikan pemerintahan sederhana di dusun Nglaroh, Pule, Selogiri. Hari itu tepat pada hari Rabu Kliwon, tanggal 3 Raiul Awal tahun 1666 dengan candra sengkala Roso Retu Ngoyeg Jagad atau bertepatan dengan tanggal 19 Mei 1741 dengan Surya Sangkala Kahutaman Sumebering Giri Linuwih. Pemerintahan di Nglaroh tersebut titik pagkal perjuangan panjang Raden Mas Said melawan pemerintahan kolonial Belanda sampai akhirnya berhasil mendirikan Praja Mangkunegaran dan menjadi Adipati dengan bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Aria Mangkunegoro I.
Pada saat mendirikan pemerintahan bersama para pengikutnya, Pangeran Sambernyawa duduk di atas sebuah batu. Bersama para pengikutnya, Pangeran Sambernyawa mengucapkan ikrar sehidup semati yang terkenal dengan sumpah ’Kawula Gusti’ atau ’Pamoring Kawula Gusti’, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Ikrar tersebut berbunyi ’Tiji Tibeh’, artinya Mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh. Sedangkan pemerintahan bersemboyan pada Tri Darma, yaitu : mulat sarira hangrasa wani, rumangsa melu handarbeni, wajib melu hangkrungkebi.
Pada hari-hari selanjutnya, setiap mengadakan pertemuan dan perundingan dengan para pengikutnya, pangeran Sambernyawa selalu diatas batu terebut. Tempat untuk berunding tersebut nama Ngelar Roh, yang artinya memperluas wilayah dan jiwa (penduduk).
Kata ngelar roh lama-kelamaan berubah menjadi Nglaroh dan sampai sekarang tempat itu dikenal dengan nama dusun Nglaroh. Sedangkan batu tempat Pangeran Sambernyawa duduk itu disebut sebagai watu gilang.
Watu gilang, tersebut dipastikan sebagai titik pangkal perjuangan Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said dan sekaligus titik awal lahirnya pemerintahan Wonogiri. Di tempat tersebut kini didirikan sebuah prasasti yang selain dimaksudkan untuk melestarikan makna sejarah tempat tersebut juga dimaksudkan sebagai penghormatan masyarakat Wonogiri kepada KGPAA Mangkunegoro I atas kepahlawannya dalam usaha melawan ketidak adilan.
Kabupaten Wonogiri yang terkenal dengan sebutan Kota Gaplek, merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang pembentukannya ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah–daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah.
Wonogiri kaya akan wisata ritual, karena menurut sejarahnya wonogiri didirikan oleh RM. Said (Pangeran Sambernyowo/Mangkunegoro I)
Salah satu petilasan RM.Said adalah Dlepih/Khayangan yang terletak di Kecamatan Tirtomoyo kurang lebih 25 Km arak ke selatan Kota Wonogiri, sebagai wisata ritual banyak dikunjungi orang untuk meditasi dan ngalab berkah pada malam Selasa Kliwon dan Jum’at Kliwon. Salah satu petilasan RM. Said adalah Momumen Watu Gilang di Nglaroh Selogiri, sendang Siwani terletak di Kecamatan Selogiri Kurang lebih 5 km arah ke utara kota Wonogiri dan masih banyak petilasan yang lain, sebagai Wisata ritual banyak dikunjungi orang untuk meditasi dan meditasi dan ngalab berkah pada malah Selasa kliwon dan Jum’at Kliwon..

Wisata Ritual lainnya adalah :
- Pemakaman Gunung Giri
- Tempat Pusaka Mangkunegaran
- Sendang Siwani

Banyak keindahan alam yang dimiliki Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri. Selain terkenal dengan wisata spiritual Kahyangan, berbagai potensi ekonomi banyak ditemukan di kecamatan ini. Kecamatan Tirtomoyo menjadi salah satu wilayah berpotensi di Wonogiri. Keadaan alam yang dikelilingi bukit tersebut seakan-akan terbelah menjadi dua. Hal ini karena di tengah-tengah wilayah seluas 9. 301.08 hektare (ha) itu mengalir Sungai Wiroko. Sungai terbesar di daerah tersebut dan menjadi sungai penghidupan masyarakat. Potensi kerajinan yang cukup banyak di wilayah ini menjadi salah satu potensi yang perlu digarap. Keberadaan obyek wisata spiritual Kahyangan, menambah kekayaan potensi di kecamatan ini. Lokasi tersebut selalu disinggahi oleh petinggi daerah dan setiap Bulan Sura digelar wayang kulit semalam suntuk. Guna menarik wisatawan, pengelola obyek wisata di Bulan Sura membuat obor sepanjang jalan masuk. Menurut penuturan beberapa warga stempat, lokasi wisata Kahyangan merupakan tempat bertapa Panembahan Senapati, salah satu leluhur Kerajaan Mataram. Bahkan, menurut kepercayaan masyarakat, air di lokasi tersebut membawa berkah dan menjadi sumber kecantikan atau awet muda saat dibasuhkan ke muka. Lokasi wisata tersebut, boleh dibilang belum optimal difungsikan. Belum banyak wisatawan yang mampir ke lokasi tersebut. Bagi masyarakat sekitar Surakarta, Kahyangan sudah sangat terkenal.
Sejarah berdirinya Kabupaten Wonogiri dimulai dari embriao”kerajaan kecil” di bumi Nglaroh Desa Pule kecamatan Selogiri Di daerah inilah dimulainya penyusunan bentuk organisasi pemerintahan yang masih sangat terbatas dan sangat sederhana, dan dikemudian hari menjadi simbol semangat pemersatu perjuangan rakyat. inisiatif untuk menjadi Wonogiri (Nglaroh) sebagai basis perjuangan Raden Mas Said,adalah dari Rakyat Wonogiri sendiri (Wiradiwangsa) yang kemudian didukung oleh penduduk wonogiri pada saat itu.
Mulai saat itu Nglaroh (Wonogiri)menjadi daerah yang sangat penting, yang melahirkan peristiwa - peristiwa bersejarah di kemudian hari.Tepatnya pada hari rabu kliwon tanggal 3 Rabi’ul awal (Mulud) Tahun Jumakir, Windu Senggoro : 19 Mei 1741 ( Kahutaman Sumbaring Giri Linuwih ), Nglaroh telah menjadi kerajaan kecil yang dikuatkan dengan dibentuknya kepala punggawa dan patih sebagai perlengkap (institusi pemerintah) suatu kerajaan walaupun masih sangat sederhana. Masyarakat Wonogiri dengan pimpinan dengan pemimpin Raden Mas Said selama penjajahan Belanda telah pula menunjukan reaksinya menantang kolonial.
Jerih payah Pangeran Samber Nyowo (Raden Mas Said) ini berakhir dengan hasil sukses terbukti beliau dapat menjadi Adipati di Mangkunegaran dan bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPA) MangkunegoroI. Peristiwa tersebut diteladani hingga sekarang karena berkat sikap dan sifat kahutaman (keberanian dan keluhuran budi ) perjuangan pemimpin, pemuka masyarakat yang selalu didukung semangat kerja sama seluruh rakyat di Wilayah Kabupaten Wonogiri.
Diketemukannya hari jadi Wonogiri pada tanggal 19 mei 1741 akan merupakan sumber kebanggaan sabagai pendorong kemajuan dan pembangunan daerah Wonogiri. Hari jadi itu sendiri sebenarnya merupakan jati diri akan menjadi titik tolak untuk melihat ke masa depan dengan pembangunan yang berkesinambungan dengan berpedoman dapat Stabilitas Undang - undang Koordinasi sasaran Evaluasi dan senmangat juang ( SUKSES ) .

Kutipan Ramalan “Sabdo Palon & Noyo Genggong”
Suatu hari, Darmo Gandhul bertanya kepada Ki Kalamwadi demikian, “Awal mulanya bagaimana sehingga orang Jawa meninggalkan agama Buddha dan masuk agama Islam ?” Ki Kalamwadi lantas bercerita, “Hal ini perlu diketahui, supaya orang yang tidak tahu bisa mengerti.” Pada jaman dahulu negara Majapahit itu namanya negara Majalengka. Adapun nama Majapahit itu, hanya untuk pasemon, tetapi yang belum tahu riwayatnya menganggap bahwa nama Majapahit itu memang sudah namanya sejak semula. Raja Majalengka yang terakhir bernama Prabu Brawijaya.
Waktu itu sang Prabu sedang susah hati. Sang Prabu kawin dengan Putri Cempa, padahal Putri Cempa tadi beragama Islam. Kalau sedang berkasih-kasihan, ia selalu bercerita kepada sang raja tentang keluhuran agama Islam. Setiap bertemu selalu memuji agama Islam sehingga menyebabkan Sang Prabu terpikat dengan agama Islam. Sang Prabu Brawijaya memiliki seorang putra dari istrinya Putri Cina, anak tersebut lahir di di Palembang dan diberi nama Raden Patah. Menurut aturan leluhur dari ayahandanya yang beragama Jawa Buddha, putra raja yang lahir si gunung, namanya adalah Bambang. Jika menurut alur ibu, sesebutannya adalah Kaotiang. Adapun jika orang Arab sebutannya adalah Sayid atau Sarib. Lalu sang Prabu meminta pertimbang sang Patih, menurut sang Patih maka putra sang Prabu tersebut dinamai Bambang, akan tetapi karena ibunya Cina, lebih baik disebut Babah artinya lahir di negara lain.
Negeri Majalengka, pada suatu hari Prabu Brawijaya sedang dihadap Patih serta para madya bala. Patih memberi laporan bahwa baru saja menerima surat dari Tumenggung Kertasana. Isi surat memberi tahu bahwa negeri Kertasan sungainya kering. Sungai yang dari Kediri alirannya menyimpang ke timur. Sebagian surat tadi bunyinya begini, “Disebelah barat laut Kediri, beberapa dusun-dusun rusak. Semua itu terkena sabda ulama dari Arab, namanya Sunan Bonang. Mendengar kata Patih tersebut, Sang Prabu sangat marah. Patih kemudian diutus ke Kertasana, memeriksa keadaan senuanya, penduduk dan hasil bumi yang diterjang air bah ? Serta diperintahkan memanggil Sunan Bonang. Sang Prabu kemudian memerintahkan kepada Patih, orang Arab yang di tanah Jawa diusir pergi, karena membuat kerepotan negara, hanya di Demak dan Ampelgading yang boleh melestarikan agamanya. Selain dua tempat diperintahkan kembali ke negerinya. Jika tidak mau pergi diperintahkan untuk dibunuh, jawab Patih, ” Gusti ! benar perintah Paduka itu, karena ulama Giripura sudah tiga tahun juga tidak menghadap dan tidak mengirim upetti. Mungkin maksudnya hendak menjadi raja sendiri, tidak merasa makan minum di tanah Jawa. Berarti santri Giri hendak melebihi wibawa Paduka. Namanya Sunan Ainul Yakin, itu nama dalam bahasa Arab, artinya Sunan itu budi, Ainal itu makrifat, Yakin itu tahu sendiri. Jadi maknanya tahu dengan pasti. Dalam bahasa Jawa sama dengan kata Prabu Satmata. Itu nama luhur yang hanya dimiliki Yang Maha Kuasa, maha melihat. Di dunia tidak ada duanya nama Prabu Satmata, kecuali hanya Batara Wisnu ketika bertahta di negeri Medang Kasapta.
Mendengar kata Patih, kemudian Sang Prabu memerintahkan untuk memerangi Giri. Orang di Giri geger, tidak kuat menanggulangi amukan prajurit Majapahit. Sunan Giri lari ke Bonang, mencari bantuan kekuatan. Setelah mendapat bantuan , kemudian perang lagi musuh orang Majalengka. Perang ramai sekali, waktu itu tanah Jawa sudah hampir separo yang masuk agama Islam, orang-orang pesisir utara sudah beragama Islam. Adapun yang di selatan masih tetap memakai agama Buddha.
Sunan Bonang sudah mengakui kesalahanya, tidak menghadap ke Majalengka. Maka kemudian pergi dengan Sunan Giri ke Demak. Sesampainya di Demak, kemudian memanggil Adipati Demak, diajak menyerang Majalengka. Kata Sunan Bonang kepada Adipati Demak, ” Ketahuilah, sekarang sudah saatnya Kraton Majalengka hancur, umurnya sudah seratus tiga tahun”. Dari penglihatan gaibku yang kuat menjadi raja tanah Jawa, menggantikan tahta raja hanya kamu. Karena itu hancurkan Kraton Majalengka, tetapi dengan cara halus, jangan sampai kelihatan. Menghadaplah besok Garebeg Maulud, tetapi siapkan senjata perang, nanti kalau semua sudah berkumpul, para sunan dan para bupati dan prajuritnya yang sudah Islam, pasti menurut kepada kamu. Adipati Demak berkata, “Saya takut menyerang negeri Majalengka, karena memusuhi ayah dan rajaku. Apa balasan saya kecuali kesetiaan. Sunan Bonang berkata lagi, “Meskipun musuh ayah dan raja, tidak ada jeleknya, karena itu orang kafir. Kalau membunuh orang kafir Buda kawak, kamu akan mendapatkan ganjaran surga. Sunan Bonang yang sudah dipuji orang sealam semesta, keturunan rasul pemimpin orang Islam semua. Kamu musuh ayah raja, meskipun dosa sekali, hanya dengan satu orang, lagi pula raja kafir. Tetapi bila ayahmu kalah, orang setanah Jawa Islam semua. Yang demikian itu, seberapa pahalamu nanti di hadapan Allah, lipat berkali-kali. Sebenarnya ayahmu itu sia-sia kepada kamu. Buktinya kamu diberi nama Babah, tahu artinya Babah ? Babah itu artinya jorok sekali yaitu saja mati saja hidup, benih Jawa dibawa putri Cina, maka ibumu diberikan kepada Arya Damar, Bupati Palembang, manusia keturunan raksasa. Itu memutuskan tali kasih namanya. Ayahandamu pikirnya tetap tidak baik, maka kuanjurkan balaslah dengan halus, artinya jangan sampai ketahuan. Dalam bathin Sunan Bonang berkata, “Sesaplah darahnya, remuklah tulangnya.”
Singkat cerita, tidak lama kemudian para Sunan dan para Bupati sudah berdatangan semua. Kemudian mereka bermusyawarah untuk memperbesar masjid. Setelah jadi, kemudian mereka melakukan shalat berjamaah di Masjid. Setelah selesai shalat kemudian mereka menutup pintu. Semua orang diberitahu oleh Sunan Bonang, bahwa adipati Demak akan menjadi raja Jawa. Untuk itu Majapahit harus ditaklukkan. Mereka semua terbujuk oleh Sunan Bonang yang sangat piawai berbicara itu. Para sunan dan para Bupati sudah mufakat semua, hanya satu yang tidak sepakat, yaitu Seh Siti Jenar, Sunan Bonang marah, maka Seh Siti Jenar dibunuh. Adapun yang diperintahkan membunuh adalah Sunan Giri. Seh Siti Jenar dipenggal kepalanya hingga tewas. Sebelum Seh Siti Jenar tewas, ia meninggalkan suara, “Ingat-ingat ulama Giri, kamu tidak kubalas di akhirat, tetapi kubalas di dunia saja. Kelak apabila ada raja Jawa bersama orang tua, saat itulah lehermu akan kupenggal.”
Sang Prabu Brawijaya mendengar laporan Patih sangat terkejut, berdiri mematung seperti tugu. Mengapa putranya dan para ulama datang hendak merusak negara. Sang patih juga tidak habis mengerti, karena tidak masuk akal orang diberi kebaikan kok membalas kejahatan. Semestinya mereka membalas kebaikan juga, Ki patih tak habis berpikir.
Singkat cerita, setelah pasukan Majapahit dipukul mundur oleh pasukan yang dipimpin adipati Demak Raden Patah yang juga Putra Prabu Brawijaya, para ulama dan para bupati, kemudian perjalanan Prabu Brawijaya sampai di Blambangan, karena merasa lelah kemudian berhenti dipinggir mata air. Waktu itu pikiran Sang Prabu benar-benar gelap. Yang dihadapannya hanya dua abdi dalem, yaitu Noyo Genggong dan Sabdo Palon. Kedua abdi tadi tidak pernah bercanda, dan memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi. Sabdo Palon ? Sabda artinya kata-kata, Palon kayu pengancing kandang. Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi bicara hamba itu, bisa untuk pedoman orang tanah Jawa, langgeng selamanya.
Tidak lama kemudian Sunan Kalijaga berhasil ketemu dengan sang Prabu diperjalanan, lalu Sunan Kalijaga bersujud menyembah di kaki Sang Prabu. Sang Prabu kemudian bertanya kepada Sunan Kalijaga, “Sahid ! Kamu datang ada apa ? Apa perlunya mengikuti aku ?” Sunan Kalijaga berkata, “Hamba diutus paduka untuk mencari dan menghaturkan sembah sujud kepada paduka di manapun bertemu. Beliau memohon ampun atas kekhilafannya sampai lancang berani merebut tahta paduka, karena terlena oleh darah mudanya yang tidak tahu tata krama ingin menduduki tahta memerintahkan negeri, disembah para bupati. Sang Prabu Brawijaya bersabda, ” Aku sudah dengar kata-katamu, sahid ! Tetapi tidak aku gagas ! Aku sudah muak bicara dengan santri ! Mereka bicara dngan mata tujuh, lamis semua, maka blero matanya ! Menunduk di muka tetapi memukul di belakang. Kata-katanya hanya manis di bibir, batinnya meraup pasir ditaburkan ke mata, agar buta mataku ini. Setelah mendengar sabda Prabu demikian, Sunan Kalijaga merasa bersalah karena ikut menyerang Majapahit. Ia menarik nafas dalam dan sangat menyesal. Sang Prabu Brawijaya berkata, “Sekarang aku akan ke pulau Bali, bertemu dengan yayi Prabu Dewa Agung di Klungkung. Aku akan beri tahu tingkah Si Raden Patah, menyia-nyiakan orang tua tanpa dosa, dan hendak kuminta menggalang para raja sekitar Jawa untuk mengambil kembali tahta Majapahit. Sunan Kalijaga sangat prihatin, ia berkata dalam hati, “Tidak salah dengan dugaan Nyai Ageng Ampelgading, bahwa Eyang Bungkuk masih gagah mengangkangi negara, tidak tahu diri, kulit kisut punggung wungkuk. Jika beliau dibiarkan sampai menyeberang ke Pulau Bali, pasti akan ada perang besar dan pasukan Demak pasti tidakkalah karena dalam posisi salah, memusuhi raja dan bapa, ketiga pemberi anugrah. Sudah pasti orang Jawa yang belum Islam akan membela raja tua, bersiaga mengangkat senjata. Pasti akan kalah orang islam tertumpas dalam peperangan. Mendengar kemarahan sang Prabu yang tak tertahankan, Sunan Kalijaga merasa tidak bisa meredakan lagi, maka kemudian beliau menyembah kaki sang Prabu sambil menyerahkan senjata kerisnya dengan berkata, apabila sang Prabu tidak bersedia mengikuti sarannya, maka ia mohon agar dibunuh saja, karena akan malu mengetahui peristiwa menjijikan ini. Sang Prabu mengeluh kepada Sunan Kalijaga, “Coba pikirkan Sahid ! Alangkah sedih hatiku, orang sudah tua renta, lemah tak berdaya kok akan direndam dalam air”. Suanan Kalijaga memendam senyum dan berkata, “Mustahil jika demikian, besok hamba yang tanggung, hamba yakin tidak akan tega putra paduka memperlakukan sia-sia kepada paduka. Akan halnya masalah agama hanya terserah sekehendak paduka, namun lebih baik jika paduka berkenan berganti syariat Rasul, dan mengucapkan asma Allah. Akan tetapi jika paduka tidak berkenan itu tidak masalah, toh hanya soal agama. Pedoman orang Islam itu syahadat, meskipun salat dingklak-dingkluk jika belum paham syahadat itu juga tetap kafir namanya.
Akhirnya setelah Sunan Kalijaga berkata banyak-banyak sampai Prabu Brawijaya berkenan pindah agama Islam, setelah itu minta potong rambut kepada Sunan Kalijaga, akan tetapi rambutnya tidak mempan dipotong, Sunan Kalijaga lantas berkata, Sang Prabu dimohon Islam Lahir bathin, karena apabila hanya lahir saja, rambutnya tidak mempan digunting. Sang Prabu kemudian berkata kalau sudah lahir bathin, maka rambutnya bisa dipotong. Sang Prabu setelah potong rambut kemudian berkata kepada Sabdo Palon dan Noyo Genggong, “Kamu berdua keberi tahu mulai hari ini aku meninggalkan agama Buddha dan memeluk agama Islam. Aku sudah menyebut nama Allah yang sejati. Kalau kalian mau, kalian berdua kuajak pindah agama Rasul dan meninggalkan agama Buddha. Lalu Sado Palon berkata sedih, ” Hamba ini Ratu Dang Hyang yang menjaga tanah Jawa, siapa yang bertahta, mejdi asuhan hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, terun-temurun sampai sekarang. Hamba mengasuh penurun raja-raja Jawa. Hamba jika tidur sampai 200 tahun. Selama hamba tidur selalu ada peperangan saudara musuh saudara, yang nakal membunuh manusia bangsanya sendiri. Sampai sekarang ini umur hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, sejak pertama menepati agama Buddha. Baru paduka yang berani meninggalkan pedoman luhur Jawa. Kalau hanya ikut-ikutan akan membuat celaka muksa paduka kelak, kata Wikuutama disambut halilintar bersahutan. Prabu Brawijaya disindir oleh Dewata karena mau masuk agama Islam, yaitu dengan perwujudan keadaan di dunia ditambah tiga hal : (1) rumput Jawan, (2) padi Randanunut, dan (3) padi Mriyi. Sang Prabu bertanya, “Bagaimana niatmu, mau apa tidak meninggalkan agama Buddha masuk agama Rasul, lalu menyebut Nabi Muhammad Rasulallah dan nama Allah yang sejati !”. Sabdo Palon berkata sedih, ” Paduka masukllah sendiri, hamba tidak tega melihat watak sia-sia, seperti manusia Arab itu, menginjak-nginjak hukum, menginjak-nginjak tatanan. Jika hamba pindah agama, pasti akan celaka muksa hamba kelak. Yang mengatakan mulia itu kan orang Arab dan orang Islam semua, memuji diri sendiri. Kalau hamba mengatakan kurang ajar, memuji kebaikan tetangga mencelakai diri sendiri. Hamba suka agama lama menyebutkan Dewa Yang Maha Lebih. Sang Prabu berkata lagi, “Aku akan kembali kepada yang suwung, kekosongan ketika aku belum maujud apa-apa, demikianlah tujuan kematianku kelak”. “Itu matinya manusia tak berguna, tidak punya iman dan ilmu, ketika hidup seperti hewan, hanya makan minum dan tidur. Demikian itu hanya bisa gemuk kaya daging. Penting minum dan kencing saja, hilang makna hidup dalam mati”. Sang prabu berkata,”Aku akan muksa dengan ragaku”. Sabdo Palon tersenyum, ” Kalau orang Islam terang tidak bisa muksa, tidak mampu meringkas makan badannya, gemuk kebanyakkan daging. Manusia mati muksa itu celaka, karena mati tetapi tidak meninggalkan jasad. Sang Prabu, ” Keinginanku kembali ke akhirat, masuk surga menghadap Yang Maha Kuasa”. Sabdo Palon berkata, “Akhirat, surga, sudah paduka bawa kemana-mana, dunia manusia itu sudah menguasai alam kecil dalam besar. Paduka akan pergi ke akhirat mana, nanti tersesat lho ! Bila mau hamba ingatkan jangan sampai paduka mendapatkan kemelaratan seperti pengalidan negara. Jika salah menjawab tentu dihukum, ditangkap, dipaksa kerja berat dan tanpa menerima upah. Masuk akhirat Nusa Srenggi. Nusa artinya Manusia, Sreng artinya berat sekali, Enggi artinya kerja. Jadi maknanya manusia dipaksa bekerja untuk Ratu Nusa Srenggi, Apa tidak celaka ! Paduka jangan sampai pulang akhirat, jangan sampai masuk surga, malah tersesat, banyak binatang mengganggu, semua tidur berselimut tanah, hidupnya bekerja dengan paksaan, paduka jangan sampai menghadap Gusti Allah, karena Gusti Allah itu tidak berwujud tidak berbentuk. Wujudnya hanya asma, meliputi dunia dan akhirat, paduka belum kenal, kenalnya hanya seperti kenalnya cahaya bintang dan rembulan. Saya tidak tahan dekat apalagi paduka, Kangjeng Nabi musa toh tidak tahan melihat Gusti Allah, maka Allah tidak kelihatan hanya Dzatnya yang meliputi semua mahluk. Paduka bibit ruhani bukan malaikat, manusia raganya berasal dari nutfah menghadap Hyang Lata wal Hujwa, jika sudah lama minta yang baru tidak bolak-balik, itulah hidup-mati.
Sang Prabu bertanya, “Dimana Tuhan yang Sejati ?”. Sabdo Palon berkata, “Tidak jauh tidak dekat, Paduka bayangannya, paduka wujud sifat suksma, sejatinya tunggal budi, hawa, dan badan. Tiga-tiganya itu satu, tidak terpisahkan, tetapi juga tidak berkumpul. Paduka itu raja mulia tentu tidak akan khilaf kepada kata-kata hamba ini”. “Apa kamu tidak mau masuk agama Islam ?” Sabdo Palon berkata sedih, “Ikut agama lama, kepada agama baru tidak !! Kenapa Paduka berganti agama tidak bertanya hamba ? Apakah Paduka lupa nama hamba Sabdo Palon ! “Bagimana ini, aku sudah terlanjur masuk agama Islam, sudah disaksikan Sahid, aku tidak boleh kembali kepada agama Buddha lagi, aku malu apabila ditertawakan bumi dan langit “. “Iya sudah, silakan Paduka jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikutan, kata Sabdo Palon kepada Prabu Brawijaya.
Sang Prabu mendengar kata-kata Sabdo Palon dalam batin merasa sangat menyesal karena telah memeluk agama Islam dan meninggalkan agama Buddha. Lama beliau tidak berkata, kemudian ia menjelaskan bahwa masuknya agama Islam itu karena terpikat kata Putri Cempa, yang mengatakan bahwa agama Islam itu kelak apabila mati, masuk surga yang melebihi surganya orang kafir. Sado Palon berkata sambil meludah, ” Sejak jaman kuno,bila laki-laki menurut perempuan, pasti sengsara, karena perempuan itu utamanya wadah, tidak berwewenang memulai kehendak”. Sabdo Palon banyak-banyak mencaci kepada Sang Prabu. Sabdo Palon berkata bahwa dirinya akan memisahkan diri dengan beliau. Ketika ditanya perginya akan kemana ? Ia menjawab tidak pergi, tetapi tidak berada disitu, hanya menepati yang namanya Semar, artinya meliputi sekalian wujud, anglela kalingan padang. Sang Prabu bersumpah, besok apabila ada orang Jawa tua berpengetahuan, yaitulah yang akan diasuh Sabdo Palon. Orang Jawa akan diajari tahu benar salah. Sang Prabu hendak merangkul Sabdo Palon dan Noyo Genggong, tetapi dua orang tadi kemudian musnah.
Sang Prabu menyesal dan meneteskan air matanya, kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga, “Besuk negara Blambangan gantilah dengan nama negara Banyuwangi agar menjadi pertanda kembalinya Sabdi Palon ke Tanah Jawa membawa asuhannya. Adapun kini Sabdo Palon masih dalam alam gaib.
Sejak jaman kuno belum pernah ada kerajaan besar seperti Majapahit hancur dengan disengat tawon serta digerogotin tikus saja, dan bubarkan orang sekerejaan hanya dengan karena disantet demit. Hancurnya Majapahit suaranya menggelegar, terdengar sampai ke negara mana-mana. Kehancurannya tersebut karena diserang oleh anaknya sendiri dibantu yaitu wali delapan atau sunan delapan yang disujudi orang Jawa. Sembilannya Adipati Demak, mereka semua memberontak dengan licik.
Ramalan Sabdo Palon & Noyo Genggong
1.
Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad tentang negara Mojopahit. Waktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh Punakawannya yang bernama Sabda Palon Naya Genggong.
2.
Prabu Brawijaya berkata lemah lembut kepada punakawannya: “Sabda Palon sekarang saya sudah menjadi Islam. Bagaimanakah kamu? Lebih baik ikut Islam sekali, sebuah agama suci dan baik.”
3.
Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.
4.
Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Budha lagi (maksudnya Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah Jawa.
5.
Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.
6.
Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widhi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.
7.
Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.
8.
Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.
9.
Bermacam-macam bahaya yang membuat tanah Jawa rusak. Orang yang bekerja hasilnya tidak mencukupi. Para priyayi banyak yang susah hatinya. Saudagar selalu menderita rugi. Orang bekerja hasilnya tidak seberapa. Orang tanipun demikian juga. Penghasilannya banyak yang hilang di hutan.
10.
Bumi sudah berkurang hasilnya. Banyak hama yang menyerang. Kayupun banyak yang hilang dicuri. Timbullah kerusakan hebat sebab orang berebutan. Benar-benar rusak moral manusia. Bila hujan gerimis banyak maling tapi siang hari banyak begal.
11.
Manusia bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan. Mereka tidak mengingat aturan negara sebab tidak tahan menahan keroncongannya perut. Hal tersebut berjalan disusul datangnya musibah pagebluk yang luar biasa. Penyakit tersebar merata di tanah Jawa. Bagaikan pagi sakit sorenya telah meninggal dunia.
12.
Bahaya penyakit luar biasa. Di sana-sini banyak orang mati. Hujan tidak tepat waktunya. Angin besar menerjang sehingga pohon-pohon roboh semuanya. Sungai meluap banjir sehingga bila dilihat persis lautan pasang.
13.
Seperti lautan meluap airnya naik ke daratan. Merusakkan kanan kiri. Kayu-kayu banyak yang hanyut. Yang hidup di pinggir sungai terbawa sampai ke laut. Batu-batu besarpun terhanyut dengan gemuruh suaranya.
14.
Gunung-gunung besar bergelegar menakutkan. Lahar meluap ke kanan serta ke kiri sehingga menghancurkan desa dan hutan. Manusia banyak yang meninggal sedangkan kerbau dan sapi habis sama sekali. Hancur lebur tidak ada yang tertinggal sedikitpun.
15.
Gempa bumi tujuh kali sehari, sehingga membuat susahnya manusia. Tanahpun menganga. Muncullah brekasakan yang menyeret manusia ke dalam tanah. Manusia-manusia mengaduh di sana-sini, banyak yang sakit. Penyakitpun rupa-rupa. Banyak yang tidak dapat sembuh. Kebanyakan mereka meninggal dunia.
16.Demikianlah kata-kata Sabda Palon yang segera menghilang sebentar tidak tampak lagi diriya. Kembali ke alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak. Sama sekali tidak dapat berbicara. Hatinya kecewa sekali dan merasa salah. Namun bagaimana lagi, segala itu sudah menjadi kodrat yang tidak mungkin diubahnya lagi.

Rabu, 04 Maret 2009

Berita terakhir "Han Gagas"

Novel Han Gagas alias Rudy Hantoro dalam proses diterbitkan oleh Penerbit LKiS Jogja. Mohon doanya. Kini, penulis yang pernah menjadi pewawancara Buletin Pawonsastra ini sedang mengumpulkan bahan untuk karya berikutnya. Bahan itu adalah tulisan-tulisan tentang ritual pengasihan, pesugihan, pokoknya yang ghaib dan mistik. Ayo siapa punya, tolong kontak dan pinjami, nanti akan mendapat imbalan sepantasnya. O, ya yang pernah diwawancarai untuk dijadikan profil Buletin Pawonsastra antara lain: Dwicipta, Abidah el Khalieqy, Sanie B Kuncoro, dan Evi Idawati. Begitu.

Rabu, 21 Januari 2009

Han dalam selintas cerpen Abed

Saya telah hampir setengah tahun tidak berkumpul dengan teman-teman penulis muda Solo termasuk dengan Abed, seorang teman yang "aku" cocok dengan "diri"nya. Kau tahu, tiba-tiba ketika melihat blog ini setelah hampir setengah tahun tak melihatnya ada kangen yang membuncah. Tapi kami bukan homo kawan, kami hanya romantis tentu pada istri kami masing-masing.
Abed meluncur seperti biasa, selalu ajeg. Cerpennya kembali dimuat Koran Sindo yang banyak penulis (termasuk Dwicipta, penulis bersahaja itu) menyatakan bahwa sulit menembus Sindo untuk kedua kalinya. Dan Abed mampu melakukannya, Gile Je...
Aku sendiri baru sekali, dan entah kapan bisa melakukannya lagi.

Aku rasa dari segi tutur, Abed lebih mengalir dari sebelumnya, di beberapa titik menderas, jadi enak dibaca. Itu gayanya. Cerita Kidung Liturgi menekankan pada narasi dan seolah sengaja tanpa konflik, hanya sedikit muncul pada waktu muncul berita tentang kondisi Iskak. Konflik yang pelan, menanjak, menguat, memuncak,tak kutemui pada cerita Abed? Cerita ini baik pada tataran narasi, pembayangannya bagus tapi tak menegangkan, tak menyisakan pertanyaan bagi saya. Selesai ya sudah. Kesan, sedikit, tapi tak mengendap. Namun lepas dari itu, selama membaca cukup enak untuk dinikmati.

cerpen yang lain, selalu ada yang khas pada diri Abed, nama-nama tokoh yang bikin keki, lucu di hati menjadi kekuatan utamanya selain alur yang lancar. Abed tak pelak, tinggal mendetilkan deskriptif lebih total lagi, "mematungkan" pembaca dengan pertanyaan melintas, dan menjadikan cerpennya seperti donat: bulat, utuh padu, melingkar dan saling berpaut-bertemu jadi tak ada satu katapun yang sia-sia, tiap kata adalah pilihan paling pas dan ringkas.

Han Gagas

Sabtu, 03 Januari 2009

Kidung Liturgi

Cerpen : Abednego Afriadi
Listrik padam. Gulita yang menyekap mata memaksaku panik mencari korek api, lampu sentolop atau LCD handphone. Zefanya, anakku malah menangis ketakutan. Kerlip pohon terang tak lagi menggiring khayalanku tentang Sinterklas yang turun membagi-bagikan hadiah.
Tinggal sebatang lilin kupegang untuk mencari handphone. Setelah ketemu, kubiarkan saja tergeletak di atas meja tulis. Menyusul kemudian dering tanda pesan masuk berulangkali. Semua pesan tertulis Selamat Natal dan Tahun Baru. Kubiarkan saja dering itu berulang-ulang, karena aku harus membantu Raras, isteriku menenangkan Zefanya yang terus menangis dalam gendongannya. Perlahan tangisnya seperti dibungkam remang cahaya lilin. Matanya kulihat sebening butiran hujan yang jatuh di atas bunga-bunga halaman rumah. Aroma minyak penghangat bayi di tubuhnya menahanku untuk tidak meninggalkannya berdua bersama Raras. Tapi redaktur menyuruhku memotret Misa Malam Natal ini untuk stock foto feature edisi akhir tahun.
“Ajak sebentar, Mas! Seharian ia mencarimu terus!” tukas Raras begitu tahu aku menutup kancing jaket. “Mungkin ingin melihat hujan?”
Kugendong lagi Zefanya hanya untuk melihat hujan dari jendela yang masih terbuka kordennya. Barisan butiran air yang terbias beberapa cahaya lilin yang kami pasang di rumah serupa kristal yang terjun menghias malam.
***
Sejak menikah, aku tak pernah mengikuti Misa Malam Natal. Sudah dua kali ini, setiap akhir Desember, Natal memaksaku untuk tidak berkumpul bersama keluarga. Natal adalah upacaraku bersetubuh dengan hujan, peristiwa dan kamera. Namun malam ini aku harus menyisakan waktuku, barang sebentar saja untuk menatap hujan. Jika tahun lalu pohon terang berhiaskan kerlap-kerlip lampu seperti memaksaku untuk tetap tinggal di rumah, tapi malam ini giliran delapan batang lilin enggan meredupkan nyalanya untukku.
Satu jam lagi misa berlangsung, aku lekas berangkat, namun telepon berdering. Raras buru-buru mengangkatnya.
“Ada telepon dari Bibi!” kata Raras.
“Ada apa?”
“Bibi tidak ada yang mengantar ke gereja, Iskak tak bisa pulang malam ini. Rumahnya kebanjiran! Banyak pesawat batal berangkat, cuaca buruk.”
“Jadi?”
Dengan mengendarai mobil tua peninggalan ayah, kami pergi ke rumah Bibi.
Jalan-jalan basah. Traficlight perempatan Warungpelem menyalakan merah. Anak-anak kecil menyiramkan air berbusa dari botol minuman bekas ke kaca mobil, lalu mengelapnya dengan kain gombal. Begitu lampu hijau menyala, kuberi mereka lima ratus rupiah. Hujan mulai reda. Zefanya berbinar matanya menatap pijaran lampu-lampu di sepanjang jalan yang serupa butiran emas kekuning-kuningan yang jatuh dari langit.
***
Sejak Iskak menikah, Bibi selalu melewatkan Natal sendiri. Suaminya sudah lama meninggal, sedangkan Iskak tinggal di Jakarta bersama isterinya. Karir dan pekerjannya tidak bisa dipaksakan untuk hidup serumah dengan Bibi di Solo. Malam ini Bibi tak berani berangkat sendiri. Semakin bertambah umur, rasa takut itu serupa hantu gentayangan dalam tempurung kepalanya. Jika berangkat sendiri naik taksi, takut dirampok, kecelakaan, atau ditipu dengan argo tarif yang melambung. Jika berangkat naik ojek, takut dirampok tukang ojek. Jika naik bus, angkutan kota, tak ada yang beroperasi malam-malam begini.
Seingatku Bibi memang sering bertengkar dengan ibu. Bibi kerap kali membuat ibu menangis karena sering curang dalam bisnis keluarga. Dan Bibi baru menyesali semua yang dilakukannya, saat ibu meninggal dunia. Sejak ibu meninggal, Bibi juga sudah tidak lagi memelihara seorang lelaki muda yang tak jelas asal-usulnya ; yang sering meminta uang saku untuk berjudi dengan hasil pembagian warisan almarhum kakek.
Kata paman-pamanku pula, semasa muda Bibi selalu memilih laki-laki yang kurang tepat, seperti buronan, pecandu narkoba, pengangguran, anak agen perjudian, pemalsu minuman impor, anggota organisasi terlarang. Ah ada saja status laki-laki pilihannya yang membuat seluruh keluarga terbelalak begitu mendengarnya. Kini ada perubahan drastis pada diri Bibi. Mungkin semua itu dilakukan untuk membalas kesalahannya kepada Ibu. Mungkin juga semua itu dilakukan karena sadar akan kehidupan yang sementara. Sekarang ia aktif dalam perkumpulan kaum wanita di gereja. Sudah ada kemajuan, pikirku. Bahkan ingin membalas kesalahannya kepada Iskak yang pergi dari rumah lantaran malu dengan Bibi yang sering memelihara lelaki muda, dan terlalu banyak hutang.
Aku mengetahui itu semua juga dari Iskak sendiri yang sempat bererita kepadaku.
”Di mana kusembunyikan mukaku? Tetangga, teman-temanku, pacarku tahu semua tentang Ibu,” katanya. Nafasnya berhembus cepat, menahan emosi. ”Perlu kamu tahu, Bapak terkena stroke, lalu meninggal karena tahu hutang ibu yang menumpuk begitu besar, dan kiosnya di Pasar Klewer harus dijual untuk menutup semua hutang-hutangnya. Sejak saat itu kami hanya mengandalkan pensiunan Bapak. Jadi kalian jangan hanya menyalahkan aku jika Ibu selalu menangis.”
Alasan Iskak cukup kuat menahanku nasehatku agar membatalkan niatnya memenuhi panggilan kerjanya ke Jakarta. Namun aku sedikit tidak terima lantaran kesalahan Bibi di masalalunya dijadikan alasan untuk tidak memberinya perhatian setelah menikah. Menurutku, Bibi tidak hanya butuh uang kiriman perbulan. Bagaimana pun, Bibi adalah orang tua kami satu-satunya. Ayah menyusul kepergian ibu setahun kemudian. Sedangkan kedua mertuaku juga belum pernah aku temui sejak awal perkenalanku dengan Raras. Mungkin saat ini mereka duduk berjajar di kereta awan-awan bersama para malaikat menebarkan rintikan hujan.
Malam ini kuajak Bibi misa bersama Raras, dan Zefanya. Meski hujan kian berahi dengan malam, membasah kuyup Gereja Santo Antionius yang dijejali jemaat. Sekalian kutekan tombol-tombol camera merekam segala lukisan syahdu di antara lantunan kidung yang menyayap langit malam itu.
Irama Malam Kudus, Alam Raya, Gloria, dan Dari Pulau dan Benua meliris segurat kenangan masa kecil. Kutemui di antara silau bias lilin pada lensa, ayah, dan ibu kusuk menerima kumini. Ingatanku serasa diputar ulang menuju lorong masa dua puluh tahun lalu. Bersama ayah dan ibu, setiap Minggu kami mengikuti liturgi yang dipimpin oleh Romo Smith. Setelah ingatanku kembali, kedua sosok yang malam ini kurindukan, hilang dalam satu kedipan mata. Sunyi kian mengguyur malam. Hanya kerut serupa anak sungai wajah Bibi yang sepertinya ingin mencabut kebenciannya kepada Iskak dan menantu yang bukan pilihannya. Kepada Raras Bibi sering mengaku cemburu karena merasa Iskak lebih mementingkan isterinya.
Dengan tinggal masih sekota dengan Bibi, setidaknya menjadikannya sebagai pengganti ibuku. Demikian pula aku menjadi pengganti Iskak. Namun Bibi masih tidak mau tinggal serumah dengan kami. Bibi merasa lebih damai dan bahagia bersama para janda di kampungnya yang mengajaknya aktif di paroki wilayah.
Hujan belum juga berhenti menyepuh rindu malam-malam yang maha sunyi. Menjelma barisan butir-butir air yang terus memburu mesbah-mesbah doa dalam batinku. Mata-mata terpejam. Handphone bergetar dikantong celana bagian kanan. Aku terpaksa keluar dari gedung gereja, lalu berteduh di bawah pohon kamboja untuk mendengarkan panggilan. Kulihat di layar LCD, nomor telepon berkode area Jakarta memanggil
”Halo...............”
................
Aku diam sejenak setelah isteri Iskak menutup pembicaraan. Kecipak air jatuh seirama dengan detak jantungku yang kian memburu. Kucoba menengok Bibi yang tetap terpejam sembari mengulum senyum dalam setiap liturgi doa-doa. Terlalu kejam jika aku memecahkan senyumnya malam ini. Terlalu keji jika aku siram kabar sedih di mesbah doanya yang hening.
Mungkin malam ini aku harus segera ke Jakarta setelah file foto aku kirim ke alamat redaksi lewat email. Raras hanya mengangguk pelan saat kubisiki telinganya tentang kabar ini. Setitik hujan meleleh dari kelopak matanya yang perlahan terpejam menggendong Zefanya yang pulas tertidur. Kemudian air mata itu jatuh membasahi selembar kidung liturgi. Dadaku berdesir, hal yang kutakutkan malah terjadi. Bibi sempat menoleh ke arah Raras.
”Ada apa? Kamu menangis?”
Raras menggelengkan kepala, lalu pura-pura menguap.
”Ngantuk, Bi,” jawabnya.
”Permen?”
Raras seperti terpaksa menerimanya, supaya tidak curiga.
Liturgi pun berjalan mengalir. Kupikir sudah saatnya aku harus meninggalkan ibadah sebab Bibi sudah konsentrasi lagi dengan kidung-kidung pujian yang menghanyutkan. Sekali lagi, aku tak ingin senyum Bibi dirusak oleh kabar ini. Iskak kritis karena lemah jantungnya. Di Jakarta, isterinya tidak sanggup merawatnya sendirian. Mungkin setelah kesehatan Iskak pulih, aku harus kembali ke Solo, kemudian memberi tahu Bibi, dan mengajaknya ke Jakarta. Semoga setiba di Jakarta lain hari, Bibi bisa rukun kembali dengan menantunya, dan Iskak memaafkan segala kesalahan di masa lalunya.
Tahun ini, kali ketiga aku tidak mengikuti Misa Natal. Kali ketiga ini aku tidak kuyup dalam liturgi gereja. Biarkan sampai pagi kuikuti saja liturgi hujan dari bingkai jendela gerbong kereta dari Stasiun Balapan sampai Gambir. Semoga melalui jendela kereta ini, beberapa malaikat memberi kabar padaku, bahwa Iskak segera sembuh.
Nyanyian Malam Kudus, dan Betlehem Kota Kecil sayup-sayup masih terngiang tanpa henti.
Dengarlah di Efrata malaikat memuji.....
Nyanyian itu, lembut, memecah bising deru roda kereta yang menggilas rel tanpa henti. Hujan masih turun.
Jakarta-Solo,September 2007
dimuat di Koran Seputar Indonesia, 28 Desember 2008

Inisial NR


Cerpen : Abednego Afriadi
“Maminya si pecandu tuh!”
“Mungkin maminya juga pecandu.”
“Pecandu balsem kali,”
“Kecanduan pijit kerik, ken…”
“PKK?”
Tawa bersahutan.
Jantung Bu Siti tiba-tiba berdetak kencang. Nafasnya berembus tak teratur. Mukanya merah berampur malu, mendengar celetuk salah satu tukang ojek di Pos Ojek sebrang rumahnya. Kontan dari balik jendela Bu Siti bertanya ketus.
“Siapa?”
Mendengar suara Bu Siti yang sedikit ngebas, puluhan pemuda tersebut sontak terkatup mulutnya. Tak satu pun berani melontarkan celetuk itu lagi.
“Pengecut!” bentak Bu Siti, sembari membanting daun pintu. Braaakkk..
“Biar aku laporkan polisi para pemabuk itu!”
Mereka saling tengok kemudian pergi satu persatu mengendarai sepeda motor modifikasi yang kerap dipakai untuk balapan liar. Pos Ojek itu pun mendadak sepi. Hanya beberapa botol bir, vodka yang dibelinya dari Warung Kruseknya Mak Cawet.
***
“Sudah berapa kali mama bilang pada Norma, Pa? Jangan ikut-ikutan mengecat rambut dengan warna macam-macam, seperti teman-temannya itu. Yang merah, hijau, biru, cokelat, kuning, ah…bikin mama malu !” kata Bu Siti lewat HP.
“Memang Norma mencat rambutnya dengan warna apa?”
“Putih!”
“Hah, putih? Rambutku yang putih saja pengen dicat merah!”
“Harus dengan cara apa, Mama arahkan supaya Norma tidak semakin liar begitu!”
“Lalu?”
“Sebaiknya Papa pulang! Mama sudah tidak sanggup lagi!”
“Lho, bukankah kita mau cerai?”
“Belum sah!”
“Tapi, aku harus menyiapkan segala sesuatu untuk perceraian kita! Aku ingin segera melupakan pantai, gunung, kolam renang, film porno, dan semua yang membangkitkan kenangan-kenangan itu! Aku butuh latihan bercerai!”
“Bukankah kau minta kita cerai baik-baik?”
“Iya, tapi?”
“Pokoknya Papa harus ke sini segera!”
“Jangan kau sebut Papa lagi, tapi Bekti, namaku!” bentak Pak Bekti tanpa menyadari Bu Siti telah memutuskan pembicaraan. Thulalit..thulalit..thulalit…
***
Sudah seminggu ini Bu Siti uring-uringan. Sejak pertemuan PKK seminggu lalu, Ibu Siti mulai enggan keluar rumah. Betapa ingin ia menutup mukanya dengan topeng punokawan, buto cakil, atau topeng-topeng lain yang kiranya dapat menyembunyikan mukanya dari orang-orang yang hadir dalam rapat PKK. Mata mereka dirasakannya serupa anak panah yang tanpa tedheng aling-aling menancap dan mencoreng-coreng mukanya dengan tinta permanen.
Masih diingatnya ketika Bu Sastro, wali kelas Norma tiba-tiba memberitahu bahwa Norma baru saja ditangkap polisi.
“Ibu tidak salah?”
“Tidak mungkin, saya melihatnya di televisi. Salah satu pelajar puteri berinisial NR!”
“Ah, mana mungkin? NR bisa diartikan banyak, Bu! Bisa Nurdin, Nur Royani, Nurlaila Raras, Nana Ria, Nita Riana, Rano Narno dan sebagainya! Yang jelas inisial NR, bukan berarti anak saya, bukan berarti Norma!”
“Lho, saya tahu ciri-cirinya Norma. Tidak bisa ditipu, rambutnya yang dicat putih itu?”
Bu Siti membisu, keringat dingin mengucur di pipinya yang tembem. Membasahi polesan make upnya yang tebal. Mukanya memerah menahan malu. Betapa tidak malu, sepuluh menit sebelum Bu Sastro datang, Bu Siti dengan bangga menceritakan bahwa Norma menjadi seorang artis yang sedang naik daun. Bahkan Norma juga dikatakannya sebagai anak penurut, sopan dalam berpakaian, tidak suka berfoya-foya, membolos, rajin menabung, mengerjakan PR, selalu bangun pagi, tidur dibawah jam sembilan malam.
Bu Siti mendekati Bu Sastro.
“Bu, harusnya jangan keras-keras dong!” bisiknya.
“Oh, iya, maaf.”
“Terus, bagaimana supaya keluar dari tahanan?”
“Wah, mohon maaf, itu akan kami lakukan jika dalam berita-berita di koran disebutkan bahwa Norma adalah siswi kami!”
“Aduh!”
“Bahkan saya dengar dari kepala sekolah, Norma terpaksa dikeluarkan dari sekolah!”
Bu Siti mencoba mencari kebenaran berita itu karena sudah hampir magrib Norma tidak pulang juga. Padahal selambat-lambatnya pulang latihan pramuka, tari, chearleaders, teater, paduan suara, atau beladiri pernapasan, Norma biasa pulang sebelum magrib. Ia mencoba melihat berita di televisi. Di layar kaca itu, seorang penyiar cantik dan bersuara ngebas nan serak-serak basah tengah membacakan berita.
Selamat siang pemirsa, seorang siswa salah satu SMA di Jakarta yang belakangan dinobatkan sebagai artis yang sedang naik daun ditangkap petugas satuan narkoba saat sedang menggelar pesta obat kadaluarsa. Dari keterangan teman korban, artis muda belia berinisial NR ini memang kerap kejang-kejang jika tidak menenggak obat kadaluarsa tersebut……
Belum usai berita dibacakan, Bu Siti buru-buru mematikan televisi. Namun pikirannya tiba-tiba berubah lagi. Kembali dihidupkannya televisi itu. Ditambahnya volume untuk mendengar lebih teliti.
Siswi yang diketahui bernama NR ini ditangkap berdasarkan laporan warga sekitar rumah kontrakan teman sesama artis tersangka NR. Warga mengeluh lantaran…..
Dan benar, pelajar perempuan yang menutup mukanya dengan tasnya itu tak lain adalah Norma. Sekilas kecolongan juga. Maka nampaklah putih perak rambutnya, kawat gigi, dan tahi lalat pojok kanan bawah bibirnya seperti Rano Karno.
“Benar! Benar! Benar! Itu pasti Norma! Tidak bisa dicuri! Ya Tuhan! Tuhan!!!” tukasnya dengan nada gusar.
***
“Aku malu, Pa! Malu! Malu! Harusnya Norma mengerti! Dia itu publik figure! Dia itu seorang artis! Harusnya jadi panutan! Tunjukkan karyanya! Prestasinya!”
“Aku juga malu! Ini pasti gara-gara kamu! Tidak pecus menjaga anak!” bentak Pak Bekti.
“Ini juga gara-gara kamu! Kamu tidak pernah pulang, sudah hampir setengah tahun ini!”
“Karena kita akan cerai, aku perlu latihan dulu!”
“Latihan apa?”
“Latihan cerai! Lagi pula, aku tetap mengiriminya uang!”
“Bukan hanya uang, Norma perlu kamu!”
“Ah, dia sudah besar, dia baik-baik saja bukan?”
“Bah, Kamu sendiri yang tidak pernah tahu!” jawab Bu Siti sinis. “Norma ditangkap polisi!”
“Hah, tidak mungkin! Ini semua karena salahmu! Karena salahmu. Kau tidak bisa…”
“Kau yang tidak bisa?”
“Siapa bilang? Saya masih bisa?” jawab Pak Bekti sembari menjorokkan perutnya ke depan. Ia sedikit tersinggung. “Ini semua karena kamu! Ini semua karena kamu!” teriak Pak Bekti mendorong tubuh Bu Siti hingga terpojok di tembok ruang tamu. Bu Siti pun menangis mengiba-iba.
“Apa kesalahanku? Apa???” teriaknya.
“Kamu cantik, Ma,” jawab Pak Bekti lirih sambil mengecup keningnya. Suasana hening seketika. Bu Siti pun tersipu. Perlahan mereka saling mendekat, lalu berpelukan.
“Kenapa Norma ditangkap polisi?” bisik Pak Bekti
“Dia ketahuan pesta obat-obatan kadaluwarsa!”
“Norma satu-satunya anak kita. Mari kita sayangi! Kita terlalu sibuk dengan rencana perpisahan kita, hingga tak sempat memikirkan Norma.”
“Baik, Pa! Memangnya Papa masih sayang sama Mama? Belum ada wanita lain?”
Pak Bekti tersenyum tanpa sekecap pun memberi jawaban. Bu Siti mencibut pingganya.
“Aauuu..” pekiknya.
Jam dinding berdentang sepuluh kali. Malam belum begitu larut tapi lampu dalam rumah itu sudah mati. Di balik sprey tempat mereka bertemu menghempaskan lautan rindu, lembaran uang puluhan juta tertata.
Sementara di ruang tahanan kantor kepolisian sektor, Norma tak bisa memejamkan matanya. Nyamuk-nyamuk kian beringas menghisap darahnya. Isak tangisnya menggema di antara dengkur tahanan lainnya. Seirama dengan ratap seorang pencuri kerupuk yang babak belur dihajar massa sebelum ditangkap polisi. Norma kian khawatir. Apakah nasibnya akan sama jika Papanya tidak berusaha membayar untuk mengeluarkannya dari kurungan penjara.
***
Sebulan keluar dari penjara, wajah Norma kembali terlihat di layar-layar kaca. Dalam sinetron, infotainment. Ketika diminta wawancara dia menjawab,
“Oh, course, ini semua cobaan. Dan ada hikmah yang dapat saya petik pelajarannya!“
Begitu. Hampir semua stasiun televisi menayangkannya berulang-ulang. Kembali Norma menjadi pujaan hati para penggemarnya. Kembali pula ia masuk penjara. Keluar lagi. Masuk lagi. Keluar lagi. Capek?
“Tidak, “ jawabnya. “Semua ada hikmahnya.“
Wajahnya nampak begitu tenang. Namun sorot matanya menyala. Penuh nafsu dan ambisi.
“Semua ada hikmahnya.“

Jogja-Solo, Oktober 2008
dimuat di Pawon Sastra edisi 22/ akhir 2008