Sabtu, 26 Juli 2008

Sabtu, 12 Juli 2008

Mata Penambang Pasir

Mata penambang pasir

Oleh : Abednego Afriadi

Pulau di tengah sungai itu rimbun. Lautan daun nampak merapat melambai-lambai ditiup angin. Kira-kira seluas 30 hektar, pulau itu berjarak sekitar 30 meter dari bantaran sungai, tempat kami tinggal sepuluh tahun lalu. Lautan jingga di atap langit menyemburat bagai lukisan hidup yang menaungi tanah tempat kaki berpijak. Adzan Magrib melintas sayup-sayup bersahutan.

Aku menunggu suara Sukro yang kata orang-orang sekitar masih sering tertawa bermain tembak-tembakan. Aku hanya terjerembab dalam kengungunan saat para penambang pasir liar dari desa seberang sungai satu-persatu meninggalkan bantaran pada bulan ini mulai kering. Padas-padas berukirkan rumah binatang air memandang dingin sampah-sampah yang mengalir serta hitam pekatnya warna air sungai.

Seorang penambang pasir lantas menghampiriku setelah mengikat tali rakit di tepi sungai. Dia memandangku dengan ekspresi sinis. Tubuhnya gemuk, kulitnya berwarna hitam seperti bekas sengatan terik siang bolong. Mata kanannya lebih kecil dari mata kirinya. “Ada apa?” ia bertanya, “Apakah tidak ada kerjaan selain berdiri di tepi sungai?”

“Apakah di pulau itu sekarang masih dipakai anak-anak bermain?”

“Jangan tanyakan itu lagi! Pulau itu sudah digusur. Jangan membuka luka lama kami!” serunya, “Suara anak kecil bermain itu karena trauma, jadi kata orang-orang yang pernah tinggal di bantaran ini terbayang-bayang terus bocah yang dulu pernah tewas di pulau itu.”

“Bagaimana dengan bangunan sarang wallet itu Pak?”

Orang itu malah mendorongku, hingga tubuhku terjongkok. Mukanya memerah, keringatnya bercucuran membasahi muka dan kaos putih kumal yang dikenakannya. “Sekali lagi jangan kau paksakan aku mengingat kematian bocah itu, atau tentang pulau yang dipenuhi setan itu! Biar saja digusur! Aku mantan Lurah, dulu memang aku yang meminta digusur! Banyak orang maksiat di pulau itu! Menyusul pembunuhan, judi dan bunuh diri!”

“Lalu bagaimana dengan orang-orang yang digusur?”

“Sebagian masih di sini, sebagian tewas dilindas bencana karena nekad dirikan rumah di pulau itu,” jawab mantan Lurah itu, sembari mendorong dadaku hingga aku terjatuh terkapar di semak-semak,”Sudah, jangan tanya macam-macam, atau aku remukkan kepalamu dengan cangkul ini!”

“Tidak, maksudku aku hanya ingin mencari temanku Sukro! Apakah dia ikut tertimbun di dalam tanah?” ucapku sembari kembali bangkit.

“Sukro?Kau pikir dia masih hidup?” jawab orang itu,”Sukro sudah mati jauh hari sebelum penduduk pulau itu rata oleh tanah! Dia dibunuh karena berebutan sarang walet di bangunan itu!”

Orang itu bergegas meninggalkanku dan berjalan melewati tanggul ke arah timur. “Tidak mungkin, seminggu lalu aku bertemu dengannya di sebuah proyek bangunan, kamu pembohong!” Orang itu lantas berlari ke arahku dengan nafas tersengal,”Kau pasti bertemu hantunya!”

Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tidak mungkin Sukro mati, tidak mungkin. Lantas orang itu berlari seperti enggan lagi bicara denganku dan hilang ditelan kegelapan. Kini aku hanya menatap pulau itu. Pulau yang menurut orang-orang sudah digusur, padahal aku masih melihatnya dengan jelas, pulau itu masih rimbun dipenuhi latuan dedaunan. Di pulau itulah aku dan kakak sulungku selalu melewatkan hari. Kami sering bermain perang-perangan, lantas memetik buah semangka yang menjalar subur. Buah semangka yang segar dan tidak mungkin cukup kami beli dengan recehan sisa uang saku sekolah.

Namun begitu kakakku kelar dari sekolah dasar, aku sudah tidak lagi punya teman bermain perang-perangan, karena kakak-kakakku yang lain lebih asyik bermain pasar-pasaran di tegalan sungai. Seusai lulus SD kakakku sekolah di Yogjakarta menemani paman dan bibiku yang kebetulan tidak punya anak. Meski begitu pulau itu tetap menjadi istanaku. Aku mengajak Sukro, tetangga sekampung yang sebaya dengan kakakku. Sejak saat itulah aku mulai akrab dengan Sukro.

“Kita bermain ACI saja!” seru Sukro, “Kamu jadi pejuang atau Belanda?”

“Aku pejuang, aku punya bambu runcing,” ujarku dengan menenteng sebatang kayu pohon randu yang kuruncingkan dari rumah dengan pisau dapur ibu.

“Baik, aku yang jadi Belanda. Aku tembak kau dengan peluru tank,” begitulah Sukro berteriak sembari menaikki pohon asam yang tumbang karena semalam hujan deras disertai angin kencang. Sukro membidikkan bomnya dengan tangkai-tangkai pohon asam. Tak jarang ia lemparkan geranat tanah liat dengan suara,”ciiiuuuuu glerrrr.”

Kami saling mengincar, bahkan merunduk menghindari peluru yang terlempar. Aku merambat dengan tubuh tertutup tangkai dan dedaunan layaknya gerilyawan perang. Kami saling mengejar, menindih, menendang, dan menggelitik. Tubuh kami berguling-guling, lantas tertawa riang hingga suaranya menembus awan-awan putih yang tersebar memecah di langit biru yang nampak cerah.

Matahari semakin merambat ke arah barat, dan menampakkan jingganya. Sayup-sayup suara memanggil nama Sukro terdengar dari bantaran sungai. Dengan tubuh belepotan lumpur, kami menyeberangi sungai melalui gethek penambang pasir yang kebetulan kami dapat menjalankannya dengan menarik seutas tali yang diikatkan antara pohon bantaran sungai dengan pulau itu. Di bantaran sungai, Ibu Sukro nampak bertolak pinggang. Mukanya memerah dan siap mencubit paha Sukro hingga gosong.

Seperti biasa, Sukro memang selalu dimarahi ibunya jika ketahuan nekad bermain di pulau itu. Orang-orang kampung mengatakan, pulau itu angker dan dihuni hantu bercaping bernama Cing Mau Lau. Orang kampung juga percaya bahwa di pulau itu pernah dijadikan tempat pembantaian massal masa pemberontakan di negeri ini. Maka tak heran jika pulau itu setiap tahunnya diperingati orang-orang kampung dengan memasang sejumlah sesaji di tengah pulau itu. Tepatnya di atas prasasti itu berukirkan tahun masa pemberontakan yang belum ada satupun sejarah berani menulisnya. Sejak saat itulah, tak ada satupun orang tua yang mengijinkan anak-anaknya bermain di pulau itu. Hanya aku, kakakku dan Sukro yang nekad bermain jika ternyata tidak diketahui orangtua.

Suatu malam Sukro datang kerumahku dengan kaki telanjang mengetuk pintu rumahku. Ia bercerita, bahwa dirinya dihajar ibunya karena menghilangkan sendal jepit pemberian ibunya sewaktu Lebaran hingga tidak diperbolehkan tidur di rumah.

“Kamu tidur di sini saja! Kamu sudah makan belum?”

Sukro menggeleleng. Kebetulan malam itu di meja makan rumahku masih ada sayur oseng-oseng, nasi dengan sedikit sambal dan sepotong tahu bacam. Sukro makan dengan lahap, dan perlahan isak tangisnya terhenti. Bahkan tanpa sungkan-sungkan ia menambah sayur dan nasi, karena memang sudah terbiasa makan di rumahku. Ayah dan ibu juga tahu, Sukro adalah orang tak mampu, dan kebetulan dengan adanya Sukro, aku tidak kesepian lagi sejak kakak sulungku sekolah di Yogja. Mereka lebih suka jika aku bermain dengan Sukro daripada bermain dengan teman-teman sebayaku di kampung. kata Ibuku aku nanti ketularan nakal kalau aku nekad bermain dengan orang-orang kampung. Sebab anak-anak yang sebaya denganku rata-rata suka ngutil makanan di warung, padahal mereka anak-anak orang mampu dengan penghasilan yang serba cukup bahkan lebih. Sedangkan Sukro hanyalah anak seorang buruh pengisi tempayan atau bak mandi serta tukang cuci serabutan. Ayahnya pergi tanpa pamit sejak dia masih berumur dua tahun. Maka tak heran jika orang-orang kampung menjauhinya. Selain karena miskin, pembawaan Sukro selalu membuat sial orang-orang kampung. Pakaiannya yang lusuh dan tak pernah ganti, membuat hidung orang-orang tergelitik, ingin mengusirnya.

Sejak tamat SD, Sukro tak lagi melanjutkan sekolah, Ibunya tidak kuat membeayainya, belum dengan dua orang adik perempuannya yang masih kecil-kecil.

Meski demikian, Sukro juga turut membantu Ibunya dengan kerja serabutan. Terkadang menjadi kuli bangunan, bahkan menjadi tukang cat serabutan di rumah tetangga yang memang selalu hobi merubah rumah, meski dengan beaya mahal.

Kampung itu kian tahun dipadati rumah-rumah. Para pendatang dari kota memenuhi tanah-tanah di sekitar tanggul yang sebenarnya milik pemerintah. Papan bertuliskan dilarang membangun hanya menjadi hiasan pelengkap padatnya rumah tanah berkapling itu. Ada beragam tipe rumah, dari yang berlantai dua hingga gubuk reyot. Sepeda motor dengan berbagai merk Jepang nampak berseliweran.

Kampung itu juga sering didatangi orang-orang berpakaian perlente, dan perempuan-perempuan bergincu tebal, molek dan montok. Mereka mondar-mandir berpelukan tanpa menghiraukan orang yang ada di sekelilingnya. Bahkan sebagian ada pula yang berpelukan di bawah pohon-pohon rindang yang setiap malamnya gelap karena memang belum ada penerangan. Para pemabuk bertebaran di setiap perempatan gang. Suara desahan dan erangan terkadang sayup-sayup terdengar jika malam mulai lengang.

Karena itulah ayah memutuskan pindah rumah. Dan sejak saat itu aku tidak lagu bertemu dengan Sukro. Tak lagi melihat wajahnya yang bulat hitam dan berhidung pesek.

Terakhir sebelum pindah rumah, aku pernah melihat Sukro membayar tagihan hutang tukang kredit sembari mengajak makan ibu dan kedua adiknya di sebuah warung makan. Depalan tahun berlalu aku melihatnya terbaring lemah di ranjang kayu beralaskan tikar. Tubuhnya nampak kurus. Hampir setiap menit, ia terbatuk-batuk mengeluarkan darah lantas meludahkannya di sebuah cangkir logam.

“Kamu tidak periksa ke dokter?”

Ia menggeleng sembari menggesekkan jari telunjuk dengan ibu jarinya. Dahinya berkernyit.

“Kamu sakit apa sih? Kalau kamu tidak lekas periksa ke dokter, nanti akan bertambah parah! Biar aku yang beayai.!”

Dia masih menggeleng. Dengan suara serak dan berat, ia menjawab,

”Kamu jangan beritahu siap-siapa ya! Seminggu yang lalu aku mencari sarang walet di pulau itu. Aku bertemu dengan tiga orang berpakaian batik turun dari mobil, yang kebetulan sedang mencari sarang walet pula di rumah tua peninggalan Belanda itu. waktu itu aku dapat lebih banyak karena aku datang lebih awal. Jam empat pagi aku sudah ke sana. Kami sempat bertengkar. Lantas mereka mengeroyokku dan menjatuhkan sebongkah batu di dadaku.”

“Kamu tak lapor polisi.”

“Kalau lapor polisi, pasti nanti aku njuga kena karena kita sama-sama mencuri, sarang wallet itu milik seorang pengusaha.”

“Kau tahu nomor polisinya, biar aku carikan tukang pukul!”

“Biar aku balas dengan caraku sendiri,” bisiknya sembari menghela nafas panjang dan berat.

***

Sejak saat itu, aku belum bertemu lagi dengan Sukro. Kali ini aku berniat datang ke rumah Sukro, karena aku ingin menawarkan pekerjaan di pabrik teman ayahku. Aku pikir pekerjaan itu lebih layak dan halal dari pada mencuri sarang walet milik orang lain.

Malam segera datang. Kampung yang sekarang rata dengan semak belukar itu semakin singup. Binatang malam mulai mengambil suara sebelum berpadu dalam sebuah nyanyian. Sedangkan pohon-pohon pulau di tengah sungai itu masih terlihat rindang. Semak belukar menjulang hingga setinggi dua meter. Mungkin saat ini aku harus meninggalkan bantaran sungai ini. Namun sebelumnya, aku lihat dari balik pohon pisang, dua orang anak tertawa riang sembari membawa tangkai pohon asam yang baru saja tumbang. Dua orang anak itu yang satunya kurus yang satunya gemuk. Lalu aku dengar sayup-sayup seorang ibu memanggil nama Sukro.

Langit makin hitam, angin mendesir dingin. Agaknya hujan akan segera turun. Mungkin aku harus bergegas meninggalkan tempat ini sebelum hujan mengguyur deras. Lagi pula aku tidak membawa manthel hujan. Sedangkan tawa cekikian dua orang anak tadi masih terdengar sayup-sayup di telingaku, yang satunya aku hafal betul, itu suara Sukro…suara Sukro..

Keesokan harinya aku baca di lembar surat kabar, Sukro mati tertembak polisi dalam sebuah aksi perampokan. Dalam berita itu tertulis, Sukro adalah buronan kelas wahid.

Solo, Desember 2005

Catatan : - ACI (Aku Cinta Indonseia) : judul Film di TVRI yang bercerita tentang perjuangan para pahlawan melawan penjajah, sekitar tahun 80-an Film itu jadi film favorit anak-anak.

Singup : Sepi mencekam/ terkesan angker

Dimuat di Koran Sindo, 14 Juli 2006

Minggu, 06 Juli 2008

Kamis, 03 Juli 2008

Biodata Abednego Afriadi

Abednego Afriadi adalah lelaki berwajah sinis, namun hati romantis. Bahkan sosok ini adalah sosok yang selalu malu-malu kucing jika ditraktir makan-makan. Pernah aktif di Teater Salib SMA Kanisius Petang Surakarta (sekarang IG Slamet Riyadi), Teater Lentera Alam, Teater TERA Yunior, Teater TErAS Univet Bantara Sukoharjo. Cerpen2 nya pernah dimuat di Solopos, Koran Sindo, Majalah GONG, Pawon Sastra, Pendar, Antologi Joglo 2, Ceritanet, dan Kolomkita.com. Kini Penulis tinggal bersama isteri, anak, ortu, dan nenek di Mojosongo-Jebres-Solo. Bekerja sebagai presenter, dubber, reporter, camera person, & additional editor di TATV Solo.