Kamis, 20 Agustus 2009

Jendela Sunyi

Di kedalaman matamu, aku lihat hamparan pasir lautan menyerap buih-buih riak gelombang. Di kilau parasmu berjuta cahaya memecah, membutir-butir di pekatnya langit. Desau angin mengusapmu dengan ingatan-ingatan tentang kisah kita.
Kau berdiri bersedekap, merindu pelukan. Seperti berpuluh-puluh pasang anak manusia yang saling mendekap, melumat, dan berguling-guling di pantai, tanpa pedulikan kesedihanmu. Mungkin juga kesedihan suami, istri, pacar, mertua, anak, saudara yang menunggu mereka di rumah. Lantas kau biarkan bening telaga sunyi tertumpah di kelopak matamu. Hangat merasuk bibir.
Kau tetap berdiri membiarkan syal yang terikat di leher jenjangmu melambai-lambai, sesekali berhenti semampir di pundakmu. Ah, ada saja yang membuatmu teringat aku. Lagu itu. Lagu yang dilantunkan pengamen berwajah negro, berambut gimbal itu, menggetarkan ingatan. Petikan gitarnya sebening danau matamu. Lagu lama itu sering kita lantunkan di pantai ini, jika jingga menoreh senja, dan deru ombak mengiring pulangnya para nelayan.
Arini, kau tak mengira. Dari jendela penginapan, ada seraut wajah penuh sesal menghadap, menembus hingga ke pantai, di mana kau berdiri. Tapi tiba-tiba dari belakang sosok lelaki mendekatinya, mendekap paksa. Kemudian malam menjadi jahanam baginya. Badcover telah kusut oleh pemberontakan, dan darah mengucur mengakhiri nafasnya. Lelaki itu lantas pergi ke sebuah kota yang jauh dari pantai ini.
....Perempuan tanpa identitas ditemukan mati misterius. Pembunuh tidak meninggalkan jejak. Diduga pembunuh adalah pacar korban...., berita untukmu.
***
¨Yok, dari rekaman suara ini, dipastikan korban dibunuh! Mustahil kalau bunuhdiri!”seru Pak Kepala Satuan Reskrim tempat di mana ku bertugas. Semua itu hanya untuk mengelabuhi kita, bahwa pelaku adalah pacar korban!¨
¨Maaf, Pak saya harus cuti!¨
¨Jangan dulu! Ambil cuti lain kali saja! Ini sangat urgen! Bayangkan sudah tiga tahun kasus ini belum terungkap. Pelaku lebih lihai dari para teroris yang berhasil kita tangkap!¨
Hari ini juga aku harus SMS isteriku, bahwa rencana piknik ulang tahun anakku batal. Segala risiko harus kutanggung. Omelan istri, protes anak biarkan saban hari kudengar, kubaca, dan mengorok kotoran telinga.
¨Hanya dengan jendela kantor aku berbicara dalam imajinasi sunyi. Tapi sering kali aku terganggu saat dari gerbang halaman masuk seorang perempuan secantik Arini yang ditemukan mati telanjang. Tapi kali ini tangannya diborgol. Oh, pagi yang cerah....
***
Pembunuh itu juga tidak mungkin ketemu. Aku begitu yakin sebab tak ada lagi jendela sunyi. Semua riuh. Banyak orang-orang bergegas, terbunuh, dibunuh, diburu, menerocos, merayu, membujuk, merangsang, berbaju malaikat, telanjang, fitnah, bencana, keringat, airmata, kota, hutan, pesisir, bantaran kali, lereng gunung, lautan lumpur, seruan perang..ahhh..mungkin ia bersembunyi di antara keriuhan itu?
Jendela sunyi hanya kutemukan ketika aku terdiam di ruangan pengap ini. Dengan tangan yang diborgol, dengan jeruji besi yang menghadang. Di jendela sunyi inlah, aku bisa melihat Rastri, dan Lintang, anakku menunggu di pintu rumah, menyambutku gembira, dengan secangkir kopi susu hangat, sepiring nasi goreng telur udang, dan burung perkutut teras rumah yang sejuk meniupkan merdu.
Dan di jendela sunyi itulah, aku melihat Romo Smith memimpin misa paskah, di antara lilin perkabungan yang menusuk seribu sesal dosa, raut sedih Isa di kayu penghakiman, dan berseru..Eloiiii..Eloiii.....
Sipir menghampiriku. Ia membuka kunci pintu, lantas membawaku ke luar dengan kondisi masih terborgol. Ternyata di ruang besuk, Frater Sapto, teman sekelas semasa SMAku menjenguk.
¨Semoga Tuhan mengampunimu! Kenapa kau bunuh mereka? Apa salah mereka?¨
Saya linglung.
¨Tidak mungkin!!!Tidak mungkin!!!¨
¨Anak, istri Anda sendiri...Anda tega?¨ tanyanya lagi dengan halus, membuatku sungkan dan menganggapnya sudah bukan lagi teman sekelas yang saling mencaci maki. Melainkan calon pastur karismatik yang disegani.
¨Anda sadar tidak?¨
¨Tidak mungkin!!!!¨ berat aku mengatakannya. ¨Tangan saya..ohh..oh..bergerak sendiri...eh..bukan...maksud saya...saya seperti pingsan...jendela itu terlalu riuh, bising, menakutkan, berahi, dan ...
¨Mintalah ampun dalam doa kita, mari!!!¨ ajaknya.
Selebihnya gelap. Frater Sapto, Suster Rebeca, Romo Smith, Patung Isa, Bunda Maria, Kidung Liturgi, Nyanyian Sekolah Minggu, mengajakku menari dalam dunia yang semakin jauh kugapai semula, ketika jendela masih sunyi. Ketika hymne perkabungan Kristus mengusap jidatku pelan-pelan.
Selebihnya lagi, dooor...dorrr.dorrrr..desingan peluru menghantarkanku pada ruangan gelap berjendela sunyi. Aku lihat di sekitar liang kubur sudah dipenuhi para wartawan, dan teman-temanku di markas. Namaku tertulis dalam salib kayu putih penanda kuburan. Bungai..bunga mawar menyelimuti.
Selebihnya jendela sunyi
Entah sampai kapan?
Mrican, 24 Maret 2009