Rabu, 21 Januari 2009

Han dalam selintas cerpen Abed

Saya telah hampir setengah tahun tidak berkumpul dengan teman-teman penulis muda Solo termasuk dengan Abed, seorang teman yang "aku" cocok dengan "diri"nya. Kau tahu, tiba-tiba ketika melihat blog ini setelah hampir setengah tahun tak melihatnya ada kangen yang membuncah. Tapi kami bukan homo kawan, kami hanya romantis tentu pada istri kami masing-masing.
Abed meluncur seperti biasa, selalu ajeg. Cerpennya kembali dimuat Koran Sindo yang banyak penulis (termasuk Dwicipta, penulis bersahaja itu) menyatakan bahwa sulit menembus Sindo untuk kedua kalinya. Dan Abed mampu melakukannya, Gile Je...
Aku sendiri baru sekali, dan entah kapan bisa melakukannya lagi.

Aku rasa dari segi tutur, Abed lebih mengalir dari sebelumnya, di beberapa titik menderas, jadi enak dibaca. Itu gayanya. Cerita Kidung Liturgi menekankan pada narasi dan seolah sengaja tanpa konflik, hanya sedikit muncul pada waktu muncul berita tentang kondisi Iskak. Konflik yang pelan, menanjak, menguat, memuncak,tak kutemui pada cerita Abed? Cerita ini baik pada tataran narasi, pembayangannya bagus tapi tak menegangkan, tak menyisakan pertanyaan bagi saya. Selesai ya sudah. Kesan, sedikit, tapi tak mengendap. Namun lepas dari itu, selama membaca cukup enak untuk dinikmati.

cerpen yang lain, selalu ada yang khas pada diri Abed, nama-nama tokoh yang bikin keki, lucu di hati menjadi kekuatan utamanya selain alur yang lancar. Abed tak pelak, tinggal mendetilkan deskriptif lebih total lagi, "mematungkan" pembaca dengan pertanyaan melintas, dan menjadikan cerpennya seperti donat: bulat, utuh padu, melingkar dan saling berpaut-bertemu jadi tak ada satu katapun yang sia-sia, tiap kata adalah pilihan paling pas dan ringkas.

Han Gagas

Sabtu, 03 Januari 2009

Kidung Liturgi

Cerpen : Abednego Afriadi
Listrik padam. Gulita yang menyekap mata memaksaku panik mencari korek api, lampu sentolop atau LCD handphone. Zefanya, anakku malah menangis ketakutan. Kerlip pohon terang tak lagi menggiring khayalanku tentang Sinterklas yang turun membagi-bagikan hadiah.
Tinggal sebatang lilin kupegang untuk mencari handphone. Setelah ketemu, kubiarkan saja tergeletak di atas meja tulis. Menyusul kemudian dering tanda pesan masuk berulangkali. Semua pesan tertulis Selamat Natal dan Tahun Baru. Kubiarkan saja dering itu berulang-ulang, karena aku harus membantu Raras, isteriku menenangkan Zefanya yang terus menangis dalam gendongannya. Perlahan tangisnya seperti dibungkam remang cahaya lilin. Matanya kulihat sebening butiran hujan yang jatuh di atas bunga-bunga halaman rumah. Aroma minyak penghangat bayi di tubuhnya menahanku untuk tidak meninggalkannya berdua bersama Raras. Tapi redaktur menyuruhku memotret Misa Malam Natal ini untuk stock foto feature edisi akhir tahun.
“Ajak sebentar, Mas! Seharian ia mencarimu terus!” tukas Raras begitu tahu aku menutup kancing jaket. “Mungkin ingin melihat hujan?”
Kugendong lagi Zefanya hanya untuk melihat hujan dari jendela yang masih terbuka kordennya. Barisan butiran air yang terbias beberapa cahaya lilin yang kami pasang di rumah serupa kristal yang terjun menghias malam.
***
Sejak menikah, aku tak pernah mengikuti Misa Malam Natal. Sudah dua kali ini, setiap akhir Desember, Natal memaksaku untuk tidak berkumpul bersama keluarga. Natal adalah upacaraku bersetubuh dengan hujan, peristiwa dan kamera. Namun malam ini aku harus menyisakan waktuku, barang sebentar saja untuk menatap hujan. Jika tahun lalu pohon terang berhiaskan kerlap-kerlip lampu seperti memaksaku untuk tetap tinggal di rumah, tapi malam ini giliran delapan batang lilin enggan meredupkan nyalanya untukku.
Satu jam lagi misa berlangsung, aku lekas berangkat, namun telepon berdering. Raras buru-buru mengangkatnya.
“Ada telepon dari Bibi!” kata Raras.
“Ada apa?”
“Bibi tidak ada yang mengantar ke gereja, Iskak tak bisa pulang malam ini. Rumahnya kebanjiran! Banyak pesawat batal berangkat, cuaca buruk.”
“Jadi?”
Dengan mengendarai mobil tua peninggalan ayah, kami pergi ke rumah Bibi.
Jalan-jalan basah. Traficlight perempatan Warungpelem menyalakan merah. Anak-anak kecil menyiramkan air berbusa dari botol minuman bekas ke kaca mobil, lalu mengelapnya dengan kain gombal. Begitu lampu hijau menyala, kuberi mereka lima ratus rupiah. Hujan mulai reda. Zefanya berbinar matanya menatap pijaran lampu-lampu di sepanjang jalan yang serupa butiran emas kekuning-kuningan yang jatuh dari langit.
***
Sejak Iskak menikah, Bibi selalu melewatkan Natal sendiri. Suaminya sudah lama meninggal, sedangkan Iskak tinggal di Jakarta bersama isterinya. Karir dan pekerjannya tidak bisa dipaksakan untuk hidup serumah dengan Bibi di Solo. Malam ini Bibi tak berani berangkat sendiri. Semakin bertambah umur, rasa takut itu serupa hantu gentayangan dalam tempurung kepalanya. Jika berangkat sendiri naik taksi, takut dirampok, kecelakaan, atau ditipu dengan argo tarif yang melambung. Jika berangkat naik ojek, takut dirampok tukang ojek. Jika naik bus, angkutan kota, tak ada yang beroperasi malam-malam begini.
Seingatku Bibi memang sering bertengkar dengan ibu. Bibi kerap kali membuat ibu menangis karena sering curang dalam bisnis keluarga. Dan Bibi baru menyesali semua yang dilakukannya, saat ibu meninggal dunia. Sejak ibu meninggal, Bibi juga sudah tidak lagi memelihara seorang lelaki muda yang tak jelas asal-usulnya ; yang sering meminta uang saku untuk berjudi dengan hasil pembagian warisan almarhum kakek.
Kata paman-pamanku pula, semasa muda Bibi selalu memilih laki-laki yang kurang tepat, seperti buronan, pecandu narkoba, pengangguran, anak agen perjudian, pemalsu minuman impor, anggota organisasi terlarang. Ah ada saja status laki-laki pilihannya yang membuat seluruh keluarga terbelalak begitu mendengarnya. Kini ada perubahan drastis pada diri Bibi. Mungkin semua itu dilakukan untuk membalas kesalahannya kepada Ibu. Mungkin juga semua itu dilakukan karena sadar akan kehidupan yang sementara. Sekarang ia aktif dalam perkumpulan kaum wanita di gereja. Sudah ada kemajuan, pikirku. Bahkan ingin membalas kesalahannya kepada Iskak yang pergi dari rumah lantaran malu dengan Bibi yang sering memelihara lelaki muda, dan terlalu banyak hutang.
Aku mengetahui itu semua juga dari Iskak sendiri yang sempat bererita kepadaku.
”Di mana kusembunyikan mukaku? Tetangga, teman-temanku, pacarku tahu semua tentang Ibu,” katanya. Nafasnya berhembus cepat, menahan emosi. ”Perlu kamu tahu, Bapak terkena stroke, lalu meninggal karena tahu hutang ibu yang menumpuk begitu besar, dan kiosnya di Pasar Klewer harus dijual untuk menutup semua hutang-hutangnya. Sejak saat itu kami hanya mengandalkan pensiunan Bapak. Jadi kalian jangan hanya menyalahkan aku jika Ibu selalu menangis.”
Alasan Iskak cukup kuat menahanku nasehatku agar membatalkan niatnya memenuhi panggilan kerjanya ke Jakarta. Namun aku sedikit tidak terima lantaran kesalahan Bibi di masalalunya dijadikan alasan untuk tidak memberinya perhatian setelah menikah. Menurutku, Bibi tidak hanya butuh uang kiriman perbulan. Bagaimana pun, Bibi adalah orang tua kami satu-satunya. Ayah menyusul kepergian ibu setahun kemudian. Sedangkan kedua mertuaku juga belum pernah aku temui sejak awal perkenalanku dengan Raras. Mungkin saat ini mereka duduk berjajar di kereta awan-awan bersama para malaikat menebarkan rintikan hujan.
Malam ini kuajak Bibi misa bersama Raras, dan Zefanya. Meski hujan kian berahi dengan malam, membasah kuyup Gereja Santo Antionius yang dijejali jemaat. Sekalian kutekan tombol-tombol camera merekam segala lukisan syahdu di antara lantunan kidung yang menyayap langit malam itu.
Irama Malam Kudus, Alam Raya, Gloria, dan Dari Pulau dan Benua meliris segurat kenangan masa kecil. Kutemui di antara silau bias lilin pada lensa, ayah, dan ibu kusuk menerima kumini. Ingatanku serasa diputar ulang menuju lorong masa dua puluh tahun lalu. Bersama ayah dan ibu, setiap Minggu kami mengikuti liturgi yang dipimpin oleh Romo Smith. Setelah ingatanku kembali, kedua sosok yang malam ini kurindukan, hilang dalam satu kedipan mata. Sunyi kian mengguyur malam. Hanya kerut serupa anak sungai wajah Bibi yang sepertinya ingin mencabut kebenciannya kepada Iskak dan menantu yang bukan pilihannya. Kepada Raras Bibi sering mengaku cemburu karena merasa Iskak lebih mementingkan isterinya.
Dengan tinggal masih sekota dengan Bibi, setidaknya menjadikannya sebagai pengganti ibuku. Demikian pula aku menjadi pengganti Iskak. Namun Bibi masih tidak mau tinggal serumah dengan kami. Bibi merasa lebih damai dan bahagia bersama para janda di kampungnya yang mengajaknya aktif di paroki wilayah.
Hujan belum juga berhenti menyepuh rindu malam-malam yang maha sunyi. Menjelma barisan butir-butir air yang terus memburu mesbah-mesbah doa dalam batinku. Mata-mata terpejam. Handphone bergetar dikantong celana bagian kanan. Aku terpaksa keluar dari gedung gereja, lalu berteduh di bawah pohon kamboja untuk mendengarkan panggilan. Kulihat di layar LCD, nomor telepon berkode area Jakarta memanggil
”Halo...............”
................
Aku diam sejenak setelah isteri Iskak menutup pembicaraan. Kecipak air jatuh seirama dengan detak jantungku yang kian memburu. Kucoba menengok Bibi yang tetap terpejam sembari mengulum senyum dalam setiap liturgi doa-doa. Terlalu kejam jika aku memecahkan senyumnya malam ini. Terlalu keji jika aku siram kabar sedih di mesbah doanya yang hening.
Mungkin malam ini aku harus segera ke Jakarta setelah file foto aku kirim ke alamat redaksi lewat email. Raras hanya mengangguk pelan saat kubisiki telinganya tentang kabar ini. Setitik hujan meleleh dari kelopak matanya yang perlahan terpejam menggendong Zefanya yang pulas tertidur. Kemudian air mata itu jatuh membasahi selembar kidung liturgi. Dadaku berdesir, hal yang kutakutkan malah terjadi. Bibi sempat menoleh ke arah Raras.
”Ada apa? Kamu menangis?”
Raras menggelengkan kepala, lalu pura-pura menguap.
”Ngantuk, Bi,” jawabnya.
”Permen?”
Raras seperti terpaksa menerimanya, supaya tidak curiga.
Liturgi pun berjalan mengalir. Kupikir sudah saatnya aku harus meninggalkan ibadah sebab Bibi sudah konsentrasi lagi dengan kidung-kidung pujian yang menghanyutkan. Sekali lagi, aku tak ingin senyum Bibi dirusak oleh kabar ini. Iskak kritis karena lemah jantungnya. Di Jakarta, isterinya tidak sanggup merawatnya sendirian. Mungkin setelah kesehatan Iskak pulih, aku harus kembali ke Solo, kemudian memberi tahu Bibi, dan mengajaknya ke Jakarta. Semoga setiba di Jakarta lain hari, Bibi bisa rukun kembali dengan menantunya, dan Iskak memaafkan segala kesalahan di masa lalunya.
Tahun ini, kali ketiga aku tidak mengikuti Misa Natal. Kali ketiga ini aku tidak kuyup dalam liturgi gereja. Biarkan sampai pagi kuikuti saja liturgi hujan dari bingkai jendela gerbong kereta dari Stasiun Balapan sampai Gambir. Semoga melalui jendela kereta ini, beberapa malaikat memberi kabar padaku, bahwa Iskak segera sembuh.
Nyanyian Malam Kudus, dan Betlehem Kota Kecil sayup-sayup masih terngiang tanpa henti.
Dengarlah di Efrata malaikat memuji.....
Nyanyian itu, lembut, memecah bising deru roda kereta yang menggilas rel tanpa henti. Hujan masih turun.
Jakarta-Solo,September 2007
dimuat di Koran Seputar Indonesia, 28 Desember 2008

Inisial NR


Cerpen : Abednego Afriadi
“Maminya si pecandu tuh!”
“Mungkin maminya juga pecandu.”
“Pecandu balsem kali,”
“Kecanduan pijit kerik, ken…”
“PKK?”
Tawa bersahutan.
Jantung Bu Siti tiba-tiba berdetak kencang. Nafasnya berembus tak teratur. Mukanya merah berampur malu, mendengar celetuk salah satu tukang ojek di Pos Ojek sebrang rumahnya. Kontan dari balik jendela Bu Siti bertanya ketus.
“Siapa?”
Mendengar suara Bu Siti yang sedikit ngebas, puluhan pemuda tersebut sontak terkatup mulutnya. Tak satu pun berani melontarkan celetuk itu lagi.
“Pengecut!” bentak Bu Siti, sembari membanting daun pintu. Braaakkk..
“Biar aku laporkan polisi para pemabuk itu!”
Mereka saling tengok kemudian pergi satu persatu mengendarai sepeda motor modifikasi yang kerap dipakai untuk balapan liar. Pos Ojek itu pun mendadak sepi. Hanya beberapa botol bir, vodka yang dibelinya dari Warung Kruseknya Mak Cawet.
***
“Sudah berapa kali mama bilang pada Norma, Pa? Jangan ikut-ikutan mengecat rambut dengan warna macam-macam, seperti teman-temannya itu. Yang merah, hijau, biru, cokelat, kuning, ah…bikin mama malu !” kata Bu Siti lewat HP.
“Memang Norma mencat rambutnya dengan warna apa?”
“Putih!”
“Hah, putih? Rambutku yang putih saja pengen dicat merah!”
“Harus dengan cara apa, Mama arahkan supaya Norma tidak semakin liar begitu!”
“Lalu?”
“Sebaiknya Papa pulang! Mama sudah tidak sanggup lagi!”
“Lho, bukankah kita mau cerai?”
“Belum sah!”
“Tapi, aku harus menyiapkan segala sesuatu untuk perceraian kita! Aku ingin segera melupakan pantai, gunung, kolam renang, film porno, dan semua yang membangkitkan kenangan-kenangan itu! Aku butuh latihan bercerai!”
“Bukankah kau minta kita cerai baik-baik?”
“Iya, tapi?”
“Pokoknya Papa harus ke sini segera!”
“Jangan kau sebut Papa lagi, tapi Bekti, namaku!” bentak Pak Bekti tanpa menyadari Bu Siti telah memutuskan pembicaraan. Thulalit..thulalit..thulalit…
***
Sudah seminggu ini Bu Siti uring-uringan. Sejak pertemuan PKK seminggu lalu, Ibu Siti mulai enggan keluar rumah. Betapa ingin ia menutup mukanya dengan topeng punokawan, buto cakil, atau topeng-topeng lain yang kiranya dapat menyembunyikan mukanya dari orang-orang yang hadir dalam rapat PKK. Mata mereka dirasakannya serupa anak panah yang tanpa tedheng aling-aling menancap dan mencoreng-coreng mukanya dengan tinta permanen.
Masih diingatnya ketika Bu Sastro, wali kelas Norma tiba-tiba memberitahu bahwa Norma baru saja ditangkap polisi.
“Ibu tidak salah?”
“Tidak mungkin, saya melihatnya di televisi. Salah satu pelajar puteri berinisial NR!”
“Ah, mana mungkin? NR bisa diartikan banyak, Bu! Bisa Nurdin, Nur Royani, Nurlaila Raras, Nana Ria, Nita Riana, Rano Narno dan sebagainya! Yang jelas inisial NR, bukan berarti anak saya, bukan berarti Norma!”
“Lho, saya tahu ciri-cirinya Norma. Tidak bisa ditipu, rambutnya yang dicat putih itu?”
Bu Siti membisu, keringat dingin mengucur di pipinya yang tembem. Membasahi polesan make upnya yang tebal. Mukanya memerah menahan malu. Betapa tidak malu, sepuluh menit sebelum Bu Sastro datang, Bu Siti dengan bangga menceritakan bahwa Norma menjadi seorang artis yang sedang naik daun. Bahkan Norma juga dikatakannya sebagai anak penurut, sopan dalam berpakaian, tidak suka berfoya-foya, membolos, rajin menabung, mengerjakan PR, selalu bangun pagi, tidur dibawah jam sembilan malam.
Bu Siti mendekati Bu Sastro.
“Bu, harusnya jangan keras-keras dong!” bisiknya.
“Oh, iya, maaf.”
“Terus, bagaimana supaya keluar dari tahanan?”
“Wah, mohon maaf, itu akan kami lakukan jika dalam berita-berita di koran disebutkan bahwa Norma adalah siswi kami!”
“Aduh!”
“Bahkan saya dengar dari kepala sekolah, Norma terpaksa dikeluarkan dari sekolah!”
Bu Siti mencoba mencari kebenaran berita itu karena sudah hampir magrib Norma tidak pulang juga. Padahal selambat-lambatnya pulang latihan pramuka, tari, chearleaders, teater, paduan suara, atau beladiri pernapasan, Norma biasa pulang sebelum magrib. Ia mencoba melihat berita di televisi. Di layar kaca itu, seorang penyiar cantik dan bersuara ngebas nan serak-serak basah tengah membacakan berita.
Selamat siang pemirsa, seorang siswa salah satu SMA di Jakarta yang belakangan dinobatkan sebagai artis yang sedang naik daun ditangkap petugas satuan narkoba saat sedang menggelar pesta obat kadaluarsa. Dari keterangan teman korban, artis muda belia berinisial NR ini memang kerap kejang-kejang jika tidak menenggak obat kadaluarsa tersebut……
Belum usai berita dibacakan, Bu Siti buru-buru mematikan televisi. Namun pikirannya tiba-tiba berubah lagi. Kembali dihidupkannya televisi itu. Ditambahnya volume untuk mendengar lebih teliti.
Siswi yang diketahui bernama NR ini ditangkap berdasarkan laporan warga sekitar rumah kontrakan teman sesama artis tersangka NR. Warga mengeluh lantaran…..
Dan benar, pelajar perempuan yang menutup mukanya dengan tasnya itu tak lain adalah Norma. Sekilas kecolongan juga. Maka nampaklah putih perak rambutnya, kawat gigi, dan tahi lalat pojok kanan bawah bibirnya seperti Rano Karno.
“Benar! Benar! Benar! Itu pasti Norma! Tidak bisa dicuri! Ya Tuhan! Tuhan!!!” tukasnya dengan nada gusar.
***
“Aku malu, Pa! Malu! Malu! Harusnya Norma mengerti! Dia itu publik figure! Dia itu seorang artis! Harusnya jadi panutan! Tunjukkan karyanya! Prestasinya!”
“Aku juga malu! Ini pasti gara-gara kamu! Tidak pecus menjaga anak!” bentak Pak Bekti.
“Ini juga gara-gara kamu! Kamu tidak pernah pulang, sudah hampir setengah tahun ini!”
“Karena kita akan cerai, aku perlu latihan dulu!”
“Latihan apa?”
“Latihan cerai! Lagi pula, aku tetap mengiriminya uang!”
“Bukan hanya uang, Norma perlu kamu!”
“Ah, dia sudah besar, dia baik-baik saja bukan?”
“Bah, Kamu sendiri yang tidak pernah tahu!” jawab Bu Siti sinis. “Norma ditangkap polisi!”
“Hah, tidak mungkin! Ini semua karena salahmu! Karena salahmu. Kau tidak bisa…”
“Kau yang tidak bisa?”
“Siapa bilang? Saya masih bisa?” jawab Pak Bekti sembari menjorokkan perutnya ke depan. Ia sedikit tersinggung. “Ini semua karena kamu! Ini semua karena kamu!” teriak Pak Bekti mendorong tubuh Bu Siti hingga terpojok di tembok ruang tamu. Bu Siti pun menangis mengiba-iba.
“Apa kesalahanku? Apa???” teriaknya.
“Kamu cantik, Ma,” jawab Pak Bekti lirih sambil mengecup keningnya. Suasana hening seketika. Bu Siti pun tersipu. Perlahan mereka saling mendekat, lalu berpelukan.
“Kenapa Norma ditangkap polisi?” bisik Pak Bekti
“Dia ketahuan pesta obat-obatan kadaluwarsa!”
“Norma satu-satunya anak kita. Mari kita sayangi! Kita terlalu sibuk dengan rencana perpisahan kita, hingga tak sempat memikirkan Norma.”
“Baik, Pa! Memangnya Papa masih sayang sama Mama? Belum ada wanita lain?”
Pak Bekti tersenyum tanpa sekecap pun memberi jawaban. Bu Siti mencibut pingganya.
“Aauuu..” pekiknya.
Jam dinding berdentang sepuluh kali. Malam belum begitu larut tapi lampu dalam rumah itu sudah mati. Di balik sprey tempat mereka bertemu menghempaskan lautan rindu, lembaran uang puluhan juta tertata.
Sementara di ruang tahanan kantor kepolisian sektor, Norma tak bisa memejamkan matanya. Nyamuk-nyamuk kian beringas menghisap darahnya. Isak tangisnya menggema di antara dengkur tahanan lainnya. Seirama dengan ratap seorang pencuri kerupuk yang babak belur dihajar massa sebelum ditangkap polisi. Norma kian khawatir. Apakah nasibnya akan sama jika Papanya tidak berusaha membayar untuk mengeluarkannya dari kurungan penjara.
***
Sebulan keluar dari penjara, wajah Norma kembali terlihat di layar-layar kaca. Dalam sinetron, infotainment. Ketika diminta wawancara dia menjawab,
“Oh, course, ini semua cobaan. Dan ada hikmah yang dapat saya petik pelajarannya!“
Begitu. Hampir semua stasiun televisi menayangkannya berulang-ulang. Kembali Norma menjadi pujaan hati para penggemarnya. Kembali pula ia masuk penjara. Keluar lagi. Masuk lagi. Keluar lagi. Capek?
“Tidak, “ jawabnya. “Semua ada hikmahnya.“
Wajahnya nampak begitu tenang. Namun sorot matanya menyala. Penuh nafsu dan ambisi.
“Semua ada hikmahnya.“

Jogja-Solo, Oktober 2008
dimuat di Pawon Sastra edisi 22/ akhir 2008