Selasa, 23 Maret 2010

Cerpen Ritual

Ritual
Cerpen Han Gagas

Selama tiga malam di petilasan, angin gunung mendesau dingin, menggigit tulang, mendesirkan kulit, tapi tetap saja tak membuatnya beringsut. Lelaki itu setia bersila, samadi. Wajahnya beku, matanya terpejam, mulut mengatup, dengan napas pelan teratur dan tangan terjuntai di lutut. Baginya, ini malam terakhir, ia harus menuntaskan semua perintah gurunya kalau ingin cita-citanya terkabul.
Kata gurunya, di petilasan ini bersemayam roh Pangeran Lohdaya bersama kekasihnya. Mereka menyatu dalam sebuah lubang kubur. Cinta terlarang tak memisahkan keduanya. Sang kekasih adalah perempuan kaya yang ternyata ibu dari pangeran itu sendiri. Ia berharap dengan berbagai ritual yang dijalani, sang pangeran dan kekasihnya akan memenuhi permintaannya: kaya-raya. Dan itu berarti modalnya untuk menjadi lurah.
Ia mengenang hidupnya yang begitu berat sejak kegagalan usahanya yang beruntun. Harapannya musnah, dan cibiran tetangga berdatangan. Rumah tangganya yang semula baik-baik saja walau tanpa anak, juga hancur. Istrinya minggat, menyempurnakan nestapa hatinya. Hidup dalam kecamuk begitu rupa membuatnya bertekad menyudahinya.
Ia bertekad merubah nasib dengan cara apapun. Termasuk menjalani puasa ngebleng tujuh hari tujuh malam, laku mlampah sampai ke petilasan ini, dan tiga malam laku tapa. Sekarang, sesuai pesan gurunya, ia tinggal menunggu wangsit di malam ketiga, lalu tinggal menyelesaikan perintah wangsit itu.
Malam merambat perlahan. Gerumbulan mendung yang menutupi bulan bergeser ditiup angin. Membiarkan cahayanya sedikit lebih terang. Desau angin makin dingin. Tiba-tiba saja angin gunung menderu, memusar, menerbangkan debu pasir di atas petilasan. “Ini pertanda, Pangeran Lohdaya akan memberikan wangsit,” batinnya. Lalu sekonyong-konyong suara mendengung berpusing di kepalanya.
Ia merasa dilempar ke tempat suwung lalu suara berat mendentum dadanya. Perintah menyusup dan menebalkan gendang telinganya. Wangsit datang dari sudut yang gelap.
Perintah itu benar-benar memusingkan kepalanya. Ia belum tahu bagaimana caranya bisa mendapatkan perempuan. Pun ia merasa bersalah. Seumur hidup, belum pernah berhubungan badan selain dengan istrinya. Namun, demi cita-cita, semua syarat harus ia penuhi. Tidak bisa tidak!
Lalu ia segera turun gunung.
Malam masih saja gelap begitu ia tiba di desa terdekat. Langkahnya menyusuri bulak dan membelah jalan perkampungan. Otaknya bekerja keras. Kelelahan, kantuk, dan lapar tak dihiraukannya. Ritual terakhir itu harus ia tuntaskan, dan bayangan kaya dan menjadi lurah mengobarkan semangatnya. Bagai obor yang menyuluh nasib gelapnya.
***
Belukar tersibak pelan-pelan. Seraut wajah dengan sorot mata tajam mengawasi dari balik dedaunan. Ia merunduk seperti harimau yang hendak menerkam mangsa. Malam masih saja didesau angin dengan rembulan yang dikerubuti mendung tebal membuat malam terasa makin mencekam. Di seberangnya, seorang perempuan membuka engsel pintu belakang. Deritnya mengoyak kesunyian.
“Kutemani, Bune!” Suara serak laki-laki terdengar dari arah dalam rumah.
“Tidak usah Pakne, aku cuma sebentar,” sahutnya sambil menjinjing ember air di tangan kanan, dan lampu ting yang diacungkan tinggi-tinggi oleh tangan kirinya. Pekat malam terobek oleh berkas sinar lampu itu.
“Ya sudah, hati-hati Bune,” suara berat kembali menyahut.
“Ya Pakne...” Balasan yang terdengar mulai menjauh. Angin malam menggoyang lampu ting membuat sinarnya bergerak ke kanan-kiri.
Belukar kembali tersibak dan sepasang mata mulai berkilatan. “Ini kesempatan bagiku,” pikir lelaki itu. Gelap malam membuat keberaniannya membulat. Rasa gamang menyirna.
Ia mengintai, kepalanya celingukan mengawasi sekeliling. “Syukurlah Dewa Bayu melindungiku, angin selaksa diam, tak menggeser gerumbulan mendung yang menutupi rembulan,” batin lelaki. Ia menyiapkan batu sekepal tangannya. Matanya memicing seperti mata kucing. Perempuan itu berjalan tergesa karena hasrat yang tak tertahan. Ia bergegas ke kakus.
Namun… sebuah bayangan melesat cepat menimpuk tengkuknya. Dughh! lalu tubuhnya berdebum roboh.
“Kanjeng Pangeran Lohdaya, sesuai perintahmu, perempuan inilah yang akan aku setubuhi malam ini,” ucap si lelaki. Ia panggul tubuh lunglai itu dan bergegas pergi. Melesat di balik rumpun bambu lalu menikung menuju jalan setapak ke puncak gunung.
“Bune... Bune!” Malam mendesirkan dingin tanpa sahutan lagi.
***
Kentong bertalu-talu. Gerombolan obor bergerak menyatu.
“Ada apa sedulur-sedulur?” tanya Pamong Desa.
“Anu Pak... istri saya hilang.”
“Hilang bagaimana?!”
“Tadi dia buang hajat, saya khawatir lalu menyusulnya tapi dia lenyap begitu saja. Hanya lampu ting ini yang tertinggal, tergeletak di kebun.”
“Ayo kita cari!” sahut Pamong Desa sambil mengarahkan agar orang-orang berpencar. Orang-orang memecah diri, bergerak berkelompok. Gelap terobek-robek obor yang menyebar ke segala penjuru. Tapi tak lama kemudian, kentong kembali bertalu-talu. Obor-obor kembali menyatu menciptakan gerumbulan kuning seperti api yang membakar sekam di gelap malam.
“Kami lihat jejak ke arah jalan setapak ke puncak gunung, ranting belukar banyak yang patah, dan rerumputan seperti baru diinjak manusia. Sedulur-sedulur, agaknya ia diculik dan dibawa ke puncak gunung, mungkin ke petilasan. Ayo ke sana!”
“Ayo...” sahut Pamong Desa.
“Ayo, ayo!” Orang-orang bergerak cepat. Gerombolan obor merangsek maju, mengibas angin yang menderu. Api obor nampak berekor, berlarian melaju ke atas.
***
Sesosok bayangan berjalan memanggul perempuan yang terkulai. Pelan-pelan merambat naik. Angin makin menderu, menggerisikkan daun di sepanjang jalannya. Daun-daun rontok dan ranting tua terpelanting, sebagian mengenai tubuhnya. Menaiki gunung yang menjulang sambil memanggul perempuan itu, membuat tubuh lelahnya serasa dirajam.
Ia istirahat sebentar tapi ketika melihat gerombolan obor merambat ke arahnya, ia kembali bergegas. Hatinya berdesir. Angin gunung menggeser gerumbulan awan, membuat bulan tak punya halangan lagi menyinari bumi. Ia mendongak, menatap bulan yang tampak kemerahan di matanya. Hatinya tambah berdesir, batinnya berdetak, “Bulan berwarna merah… ini malam yang aneh.”
Angin berlipat menderu, menampar-nampar wajahnya. Bunyi ‘kuhkk... kuhkk’ burung hantu membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Dari tempat agak jauh, anjing hutan melolong mendayu-dayu. Hatinya bergetar, tapi ia tak peduli. Ia terus bergerak, memanggul perempuan itu, merambat depa demi depa. Tekadnya sudah bulat, terhadap orang-orang desa ia tak takut. Kepada binatang hutan yang ganas, pun memedi yang coba menakut-nakutinya, ia tak gentar.
Ia menoleh lagi, obor-obor itu mirip kunang-kunang yang berbaris menuju arahnya. Ia rebahkan perempuan itu lalu duduk bersila, mulutnya komat-kamit merapal mantra. ”Eyang Guru, tolonglah muridmu ini, sesatkanlah jalan orang-orang desa itu, dan pagarilah anakmu ini dari bahaya binatang buas dan para memedi.”
Badannya terasa hangat seperti teraliri Tuak Tuban, ia yakin Eyang Guru telah memagari tubuhnya. Dan sekarang, ia melihat gerombolan obor itu bergerak tak karuan seperti kunang-kunang yang dikibas badai. Hatinya kembali tenang.
Malam terus naik mendekati puncaknya. Perjalanannya pun mulai merambati titik akhir. Ia mengira-ngira waktunya bakal pas. Tepat di tengah malam, ia akan sampai di petilasan. Dan, tinggal menyetubuhi perempuan itu lalu cita-citanya menjadi kenyataan: orang paling kaya dan menjadi lurah. Ia tersenyum, hatinya girang.
Akhirnya sampai juga ia di puncak, langsung direbahkannya tubuh perempuan itu di atas petilasan. Matanya memandang sekitar, angin menyerupai badai kecil yang meliukkan pepohonan, menggoyang dahan, dan merontokkan daun dan ranting. Bunyi ‘kuhkk... kuhkk’ makin kerap terdengar. Lolongan anjing hutan melengking bersahutan, terdengar dalam jarak yang makin dekat, mendekat, terus mendekat seperti hendak melihat apa yang bakal terjadi. Membuat hatinya kembali bergetar, jauh lebih keras dibanding sebelumnya.
Ia memompa nyali, menyingkirkan segala takut yang mengepung lalu segera membakar dupa dan bersila di depan petilasan. Mulutnya berkomat-kamit. “Wahai Pangeran Lohdaya, sekarang kupenuhi syarat terakhirmu. Ritual persetubuhan ini akan segera aku lakukan. Pangeran Lohdaya, ijinkan cucumu menyudahi laku ini.”
Angin memusar menerbangkan debu pasir di atas petilasan.
Ia berpikir Pangeran Lohdaya memberi restu padanya. Segera ia lorotkan celananya juga melolosi semua yang menempel pada tubuh perempuan yang nampak pulas itu.
Malam yang buta, di puncak gunung, dua sosok manusia menempel erat. Di atas petilasan, ia setubuhi perempuan yang dikiranya pingsan. Ia tak tahu bahwa perempuan itu telah menjadi mayat. Dan ia juga tak tahu, bahwa Pangeran Lohdaya memintanya menyetubuhi perempuan yang hidup.
Lalu terdengar erangan membahana…
Subuh. Orang-orang berobor terkejut, menemukan dua sosok manusia di atas petilasan tua, menyatu tak bisa dipisahkan...


Tentang penulis:
Han Gagas, buku kumpulan cerpennya Jejak Sunyi, 2008.
Novelnya Tembang Tolak Bala dan bukunya Sang Penjelajah Dunia
sedang dalam proses diterbitkan.

Tidak ada komentar: